Senin, 29 Maret 2010

i
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Bp. J DENGAN GANGGUAN
KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SENA
RUMAH SAKIT JIWA SURAKARTA
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapat Gelar
Ahli Madya Keperawatan
Disusun Oleh:
RUSNIATI
J 200 050 081
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini diperkirakan ada 450 juta penderita gangguan jiwa di seluruh
dunia. Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa sangat besar. Hasil studi
Bank Dunia tahun 2000 menunjukkan, global burden of disease akibat
masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari tuberklosis
(7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), atau malaria
(2,6 persen).
Hasil survey Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2000
menyatakan tingkat gangguan kesehatan jiwa orang di Indonesia tinggi dan di
atas rata-rata gangguan kesehatan jiwa didunia. Ini ditunjukkan dengan data
yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI: (1) Rata-rata 40 dari
100.000 orang di Indonesia melakukan bunuh diri, sementara rata-rata dunia
menunjukkan 15,1 dari 100.000 orang; (2) Rata-rata orang bunuh diri di
Indonesia adalah 136 orang per-hari atau 48.000 orang bunuh diri per tahun;
(3) Satu dari empat orang di Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa;
(4) Penderita gangguan jiwa di Indonesia, hanya 0,5 % saja yang dirawat di
RS Jiwa.
1
2
Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya,
interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia
lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik
mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengam ansietas
yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Sedangkan
harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan
resiko terjadi harga diri rendah dan skizofrenia.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self
evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat di ekspresikan secara
langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata).
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan
yang sehat, baik fisik maupun psikologi salah satunya di dukung oleh konsep
diri yang baik dan stabil. Konsep diri adalah hal-hal yang berkaitan dengan
ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh
individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu
dalam membina hubungan interpersonal.
Meskipun konsep diri tidak langsung ada, begitu individu di lahirkan,
tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
individu, konsep diri akan terbentuk karena pengaruh ligkungannya. selain itu
3
konsep diri juga akan di pelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman
dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut.
Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan
penilaian persepsinya terhadap pengalaman akan situasi tertentu.
Gambaran penilaian tentang konsep diri dapat di ketahui melalui
rentang respon dari adaptif sampai dengan maladaptif. Konsep diri itu sendiri
terdiri dari beberapa bagian, yaitu : gambaran diri (body Image), ideal diri,
harga diri, peran dan identitas.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 di Indonesia
didapatkan prevalensi gangguan jiwa 264 per 1.000 anggota rumah tangga.
Rinciannya, psikosis tiga per 1.000, demensia (pikun) empat per 1.000,
retardasi mental lima per 1.000, gangguan mental emosional pada anak dan
remaja (4-15 tahun) 104 per 1.000, gangguan mental emosional pada dewasa
(di atas15 tahun) 140 per 1.000, dan gangguan jiwa lain lima per 1.000.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia yang juga Direktur Rumah Sakit Jiwa Lawang, Jawa Timur, dr
Pandu Setiawan SpKJ mengungkapkan, saat ini hanya ada 430 dokter spesialis
kedokteran jiwa/psikiater untuk lebih dari 200 juta penduduk, atau satu
psikiater untuk 500.000 penduduk. Jumlah ini sangat kurang, dan
penyebarannya tidak merata karena menumpuk di Jawa. Di sisi lain,
kemampuan institusi pendidikan dokter jiwa untuk mencetak dokter baru
menurun akibat pensiunnya tenaga pengajar serta kebijakan zero growth
pegawai negeri.
4
Menyikapi kondisi ini, Kepala Perwakilan WHO Indonesia Dr Georg
Petersen menyatakan, WHO akan mendukung sepenuhnya upaya pemerintah,
dalam hal ini Departemen Kesehatan, untuk meningkatkan kesehatan mental
masyarakat. Salah satunya adalah membantu menyusun Kebijakan Nasional
Pembangunan Kesehatan Jiwa 2001-2005.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang dan judul karya tulis yang telah di jabarkan di atas
maka terdapat banyak masalah yang muncul terutama dalam perawatan pasien
gangguan jiwa dengan harga diri rendah. Dalam hali ini klien merasa harga
dirinya hilang, merasa kecewa, adanya kegagalan dan ketidak berdayaan.
C. Tujuan Umum dan Khusus
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Tujuan Umum
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
jiwa sebagai suatu milik masyarakat yang berharga.
2. Membantu masyarakat agar mampu memprakarsai atau berupaya
dalam kegiatan kesehatan jiwa baik secara perorangan maupun
berkelompok.
3. Meningkatkan penggunaan sarana pelayanan kesehatan jiwa yang
tersedia.
5
b. Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pengetahuan klien tentang berbagai gangguan dan
penyakit jiwa dalam klien.
2. Mendorong partisipasi aktif klien dalam perencanaan dan
pelaksanaan program kesehatan jiwa.
3. Menciptakan nilai dan norma sosial yang menunjang upaya untuk
meningkatkan kondisi dan kegiatan kesehatan jiwa.
D. Manfaat Penulisan Ilmiah
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi wahana
perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan
psikologi sosial terutama yang berhubungan gangguan jiwa dengan harga
diri rendah
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dapat menambah pengetahuan orangtua, pendidik, dan
remaja mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan jiwa dengan
harga diri rendah. Bila penelitian ini terbukti maka hasil penelitian ini juga
dapat digunakan untuk preventif terhadap kenakalan remaja dengan
meningkatkan keharmonisan dalam keluarga dan menumbuhkan konsep
diri yang positif pada gangguan jiwa dengan harga diri rendah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkah laku seseorang dipelajari sepanjang proses kehidupannya ketika menghadapi krisis dan kecemasan akibat stressor. Menurut teori keperawatan, sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentangan yang sangat dinamis dari kehidupan seseorang.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka dimana sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Menyiapkan diri menjadi dewasa, karena menjadi dewasa adalah sebuah pilihan, maka tentunya harus direkayasa atau disiapkan. Tidak bisa dibiarkan alami. Karena memang menjadi dewasa dalam cara berpikir itu bukan kebetulan, tapi merupakan pilihan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Jiwa”.
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Masa Dewasa.
3. Untuk lebih memahami tentang Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Masa Dewasa..
C. Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, ruang lingkup pembahasannya adalah “Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Masa Dewasa”.

D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode deskriptif dan disesuaikan dengan literatur yang digunakan.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis terdiri dari 3 bab yaitu sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis, yang terdiri dari pengertian, masalah-masalah kesehatan pada masa dewasa, masalah psikososial
BAB III : Asuhan keperawatan psikososial pada masa dewasa yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi
BAB IV : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.











BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengetian
Masa ini sering disebut adult, masa dewasa, masa dimana usia sudah berkisar ke angka di atas 21 tahun. Masa dewasa merupakan periode yang penuh tantangan, penghargaan dan krisis. Selain itu masa dimana mempersiapkan masa depan, penentu karier dan masa usia memasuki dunia pekerjaan dan masa dunia perkarieran, masa mempersiapkan punya keturunan dan masa usia matang, masa penentuan kehidupan, dan prestasi kerja di masyarakat, masa merasa kuat dalam hal fisik, masa energik, masa kebal, masa jaya dan masa merasakan hasil perjuangan .
Masa dewasa ditandai kemampuan produktif dan kemandirian. Menurut Prof. Dr. A.E Sinolungan (1997), masa dewasa dapat di bagi dalam beberapa fase yaitu:
1. Fase dewasa awal
Fase dewasa awal (20/21-24 tahun), seorang mulai bekarya dan mulai melepaskan ketergantungan kepada orang lain. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu:
a. mereka mendapat pengawasan dari orang tua
b. mereka mulai mengembangkan persahabatan yang akrab dan hubungan yang intim di luar
c. mereka membentuk seperangkat nilai pribadi
d. mereka mengembangkan rasa identitas pribadi
e. mereka mempersiapkan untuk kehidupan kerja
2. Fase Dewasa tengah
Fase dewasa tengah (25-40 tahun) ditandai sikap mantap memilih teman hidup dan membangun keluarga. Dewasa tengah menggunakan energy sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan konsep diri dan citra tubuh terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik. Harga diri yang tinggi, citra tubuh yang bagus dan sikap posiif terhadap perubahn fisiologis muncul jika orang dewasa mengikuti latihan fisik diet yang seimbang, tidur yang adekuat dan melakukan hygiene yang baik.
a. Teori-teori tentang masa dewasa tengah
1) Teori Erikson
Menurut teori perkembangan Erikson, tugas perkembangan yang utama pada usia baya adalah mencapai generatifitas (Erikson, 1982). Generatifitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain. Dewasa tengah dapat mencapai generatifitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan dalam interaksi sosial dengan generasi berikutnya. Jika dewasa tengah gagal mencapai generatifitas akan terjadi stagnasi. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau perilaku merusak anak-anaknya dan masyarakat.



2) Teori Havighurst
Teori perkembangan Havighurst telah diringkas dalam tujuh perkembangan untuk orang dewasa tengah (Havighurst, 1972). Tugas perkembangan tersebut meliputi:
a) Pencapaian tanggung jawab social orang dewasa
b) Menetapkan dan mempertahankan standar kehidupan
c) Membantu anak-anak remaja tanggung jawab dan bahagia
d) Mengembangkan aktivitas luang
e) Berhubungan dengan pasangannya sebagai individu
f) Menerima dan menyesuaikan perubahan fisiologis pada usia pertengahan
g) Menyesuaikan diri dengan orang tua yang telah lansia.
b. Tahap-tahap perkembangan
1) Perkembangan fisiologis
Perubahan ini umumnya terjadi antara usia 40-65 tahun. Perubahan yang paling terlihat adalah rambut beruban, kulit mulai mengerut dan pinggang membesar. Kebotakan biasanya terjadi selama masa usia pertengahan, tetapi juga dapat terjadi pada pria dewasa awal. Penurunan ketajaman penglihatan dan pendengaran sering terlihat pada periode ini.



2) Perkembangan kognitif
Perubahan kognitif pada masa dewasa tengah jarang terjadi kecuali karena sakit atau trauma. Dewasa tengah dapat mempelajari keterampilan dan informasi baru. Beberapa dewasa tengah mengikuti program pendidikan dan kejuruan untuk mempersiapkan diri memasuki pasar kerja atau perubahan pekerjaan.
3) Perkembangan psikosial
Perubahan psikososial pada masa dewasa tengah dapat meliputi kejadian yang diharapkan, perpindahan anak dari rumah, atau peristiwa perpisahan dalam pernikahan atau kematian teman. Perubahan ini mungkin mengakibatkan stress yang dapat mempengaruhi seluruh tingkat kesehatan dewasa.
3. Fase dewasa akhir
Fase dewasa akhir (41-50/55tahun) ditandai karya produktif, sukses-sukses berprestasi dan puncak dalam karier. Sebagai patokan, pada masa ini dapat dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah mantap.
Masalah-masalah yang mungkin timbul yaitu:
a. Menurunnya keadaan jasmaniah
b. Perubahan susunan keluarga
c. Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan baru dalam bidang pekerjaan atau perbaikan kesehatan yang lalu
d. Penurunan fungsi tubuh
Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi pegawai menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya ada PPS ( Post Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat kemudian tidak, rasanya ada perasaan down sindrom.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pengawasan tugas perkembangan ini, individu mengalami PPS. Misalnya penghalangnya adalah:
1. Tingkat perkembangan yang mundur
2. Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan
3. Tidak ada motivasi
4. Kesehatan yang buruk
5. Cacat tubuh
6. Tingkat kecerdasan yang rendah
7. Tingkat adaptasi yang jelek
8. Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi pegawai menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya ada PPS ( Post Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat kemudian tidak, rasanya ada perasaan down sindromAdanya penyakit kronis
Tingkat ketidakmampuan dan persepsi klien pada penyakit dan ketidakmampuan menentukan sampai mana perubahan gaya hidup akan terjadi.
9. Tingkat kesejahteraan
Perawat mengkaji status kesehatan pada klien dewasa tengah. Pengkajian tersebut member arah untuk merencanakan asuhan keperawatan dan berguna dalam mengevaluasi keefektifan intervensi keperawatan.
10. Membentuk kebiasaan sehat yang positif
Kebiasaan adalah sikap atau perilaku seseorang yang biasa dilakukan. Pola perilaku ini didorong oleh seringnya pengulangan sehingga menjadi cara perilaku individu yang biasa.
B. Masalah-masalah psikososial
1. Ansietas
Ansietas adalah fenomena maturasi kritis yang berhubungan dengan perubahan, konflik, dan penegndalian lingkungan yang diterima (Haber at al, 1992).
2. Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang dimanifestasikan dalam berbagai cara. Walaupun usia yang paling banyak mengalami depresi adalah usia 24-25 tahun, tapi juga biasa terjadi pada usia dewasa baya dan mungkin banyak memiliki penyebab (Haber at al, 1992).

Dengan memahami usia/ masa, tahapan hukum dengan ciri-ciri perilaku di masing-masing tahapan perkembangan perawat sedini mungkin dapat mendeteksi secara dini langkah/ upaya perawatan apa yang harus dilakukan sesuai dengan masa tahapan perkembngan manusia. Bagi perawat pribadi teori perkembangan manusia dapat dijadikan masukan pribadi berada pada masa usia tahapan yang mana dirinya pada saat ini maupun pada saat yang akan datang maupun waktu saat sekarang ini ada perilaku khusus yang yang pernah dilalui.
Perawat perlu memahami, mempelajari teori-teori perkembangan manusia atau individu karena tugas perawat dalam merawat individu tentunya dari masa konsepsi yang dialami individu, kehamilan, lahir sampai sakaratul maut.
Perkembangan manusia memiliki tahapan keluasan masa. Masa kematangan sehingga dideteksi dini terhadap masa-masa tertentu dihubungkan dengan teori





BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
PADA MASA DEWASA
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui masalah keperawatan yang terjadi pada klien secepat mungkin sesuai dengan keadaan klien. Pengkajian dapat dilakukan dengan beberapa cara yakini ; wawancara, observasi dan menuju dokumen medik.
Pengkajian ini dilakukan denagan melibatkan keluaraga sebagai orang terdekat yang mengetahui tentang masalah kesehatan klien. Format pengkajian yang digunakan adalah format pengkajan pada klien yang dikembangkan sesuia dengan keberadaaan klien. Format pengkajian yang dikembangkan minimal terdiri atas:
1. Data dasar
a. Identitas
b. Alamat
c. Usia
d. Pendidikan
e. Pekerjaan
f. Agama
g. Suku bangsa
2. Data biopsikososial spiritualkultural
3. Lingkungan
4. Status fungsional
5. Fasilitas penunjang kesehatan
6. Pemerikasaaan fisik
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan proses pikir berhubungan dengan ansietas
Tujuan: proses pikir pasien akan meningkat dengan terapi ansietas
2. Ketidak efektifan koping yang berhubungan dengan ansietas
Tujuan: pasien akan meningkatkan mekanisme koping untuk mengatasi ansietas.
3. Konflik pengambilan keputusan berhubungan dengan ganti karier/ pengunduran diri
Tujuan: menghubungkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari pilihan-pilihan, menceritakan ketakutan dan keprihatinan mengenai pilihan-pilihan dan respons dari orang lain, dan membuat sebuah pilihan yang diketahui/diberitahu.
4. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan ketakutan akan kegagalan seksual
Tujuan: menceritakan kepedulian/ masalah mengenai fungsi seksual, mengekspresikan peningkatan kepuasan dengan pola seksual, mengidentifikasi stressor dalam kehidupan, melanjutkan aktivitas seksual sebelumnya, dan melaporkan suatu keinginan untuk melanjutkan aktivitas seksual.

C. Intervensi
Dx 1 & 2
1. Kaji pasien secara cermat untuk memastikan bahwa ansietas pasien bukan gejala yang mendasari proses penyakit, seperti nyeri atau hipoksia
2. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya secara verbal
3. Tanyakan pada pasien keterampilan koping yang biasa berhasil digunakan untuk mengatasi stress sebelumnya
4. Berikan obat antiansietas sesuai program dan perhatikan efektifitasnya
5. Tanyakan pada pasien obat apa yang sedang digunakan. Gejala ansietas dapat diakibatkan penggunaan obat-obatan, mencakup kafein, hormone tiroid, aminofilin, obat antidiabetik oral, obat antiinflamasi nonsteroid, steroid, glikosida jantung, dan inhibitor ambilan ulang serotonin selektif. Lebih baik tanyakan pada dokter untuk mengganti dengan obat yang menghasilkan lebih sedikit efek ansietas daripada menambah obat-obatan lain hanya untuk mengatasi tanda dan gejala ansietas
6. Alkohol adalah cara yang biasa digunakan orang untuk pengobatan ansietas, tetapi bukan cara yang baik tidak berbahaya. Pastiakn untuk menanyakan pasien menegani kebiasaannya menggunakan alkohol-jenis apa yang ia minum (bir, anggur, wiski), kira-kira berapa banyak dalam sehari dan sudah berapa lama.


Dx 3
1. Menetapkan hubungan saling percaya dan berarti yang meningkatkan saling pengertian dan perhatian.
2. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang logis
a. Bantu individu dalam mengenali apa masalah-masalahnya dan dengan jelas mengidentifkasi keputusan yang harus dibuat
b. Gali apa resiko terhadap apa yang timbul dari tidak membuat keputusan
c. Mintalah individu untuk membuat daftar dari semua alternatif atau pilihan yang mungkin
d. Bantu mengidentifikasi kemungkinan hasil dari berbagai alternative
e. Bantu individu untuk menghadapi ketakutan
f. Benahi kesalahan informasi
g. Bantu dalam mengevaluasi alternatif-alternatif berdasarkan pada ancaman potensial atau actual terhadap keyakinan/ nilai-nilai
h. Beri dorongan pada individu untuk membuat keputusan
3. Beri dorongan pada orang terdekat individu untuk terlibat dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan
4. Bantu individu dalam proses menggali nilai-nilai dan hubungan pribadi yang mungkin mempunyai dampak pada pengambilan keputusan
5. Dukung individu dalam membuat keputusan yang diketahui meskipun kebutuhan konflik dengan nilai-nilainya sendiri
a. Rundingkan pemuka agamanya sendiri
6. Dengan aktif yakinkan individu bahwa keputusan sepenuhnya ditangan dia dan adalah menjadi haknya untuk melakukan demikian
7. Jangan biarkan orang lain untuk merusak rasa percaya individu dalam pengambilan keputusannya sendiri
8. Kolaborasikan dengan keluarga untuk mengklarifikasi proses pengambilan keputusan
Dx 4
1. Dapatkan riwayat seksual
a. Pola seksual biasanya
b. Kepuasan (individu, pasangan)
c. Penegtahuan seksual
d. Masalah-masalah (seksual, kesehatan)
e. Harapan-harapan
f. Suasana hati, tingkat energy
2. Berikan dorongan untuk bertanya tentang seksualitas atau fungsi seksual yang mungkin mengganggu pasien
3. Gali hubungan pasien dengan pasangannya
4. Jika stressor atau gaya hidup yang penuh stressor berdampak negative terhadap fungsi:
a. Bantu individu dalam memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi stress
b. Dorong identifikasi stressor yang ada dalam kehidupan; kelompokkan menurut individu sebagai dapat mengontrol dan tidak dapat mengontrol:
1) Dapat mengontrol
Keterbelakangan pribadi
Keterlibatan dalam aktivitas komunitas
2) Tidak dapat mengontrol
Mengeluh
Penyakit anak perempuan
c. Lakukan program latihan teratur untuk reduksi stress. Lihat perilaku mencari bantuan kesehatan untuk intervensi
5. Identifikasi pilihan metode untuk melampiaskan energ seksual bila pasangan tidak ada atau tidak ada keinginan
a. Gunakan masturbasi, jika dapat diterima individu
b. Ajarkan keuntungan fisik dan psikologis tentang aktivitas fisik teratur (sedikitnya 3 kali seminggu selama 30 menit
c. Jika pasangan meninggal, gali kesempatan untuk bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain (sekolah malam, klub janda/ duda, kerja komunitas)
6. Jika suatu perubahan atau kehilangan bagian tubuh mempunyai dampak negtif terhadap fungsi:
a. Kaji tahapan adaptasi dari individu dan pasangan terhadap kehilangan (mengingkari, depresi, marah)
b. Jelaskan kenormalan dari respon kelanjutan dari kehilangan
c. Jelaskan kebutuhan untuk membagi perhatian dengan pasangan





















BAB IV
PENUTUP
A. maupun Kesimpulan
Tingkah laku seseorang dipelajari sepanjang proses kehidupannya ketika menghadapi krisis dan kecemasan akibat stressor. Menurut teori keperawatan, sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentangan yang sangat dinamis dari kehidupan seseorang.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka dimana sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Menyiapkan diri menjadi dewasa, karena menjadi dewasa adalah sebuah pilihan, maka tentunya harus direkayasa atau disiapkan. Tidak bisa dibiarkan alami. Karena memang menjadi dewasa dalam cara berpikir itu bukan kebetulan, tapi merupakan pilihan.
B. Saran
Di dalam perkembangan dewasa terdapat berbagai masalah yang apabila tidak diperhatikan maka akan berdampak buruk pada perkembangan dewasa itu sendiri, sehingga sudah seharusnya perkembangan pada dewasa itu dijadikan bahan pikiran pada individu,keluarga masyarakat.












DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan Edisi 6. Jakarta: EGC
Stockslager, Jaime L., 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta: EGC

tugas sinar

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN
PSIKOLOGIS PADA PEKERJA DI BAGIAN FINISHING PT. JANSEN INDONESIA
Riyar Rismi -- E2A003061
(2007 - Skripsi)
Kebisingan di lingkungan kerja dapat menyebabkan gangguan psikologis pada tenaga kerja
seperti gangguan konsentrasi, gangguan tidur dan perasaan mudah marah/emosi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis hubunagn antara intensitas kebisingan dengan gangguan
psikologis tenaga kerja. Metode penelitian ini adalah penelitian Explanatory research dengan
pendekatan Cross Sectional. Pengambilan data dilakukan dengan cara langsung mengukur
kebisingan serta menggunakan kuesioner untuk mengetahui gangguan psikologis. Populasi
dalam penelitian ini adalah tenaga kerja shift pagi yang bekerja di bagian finishing berjumlah 92
oarng, sampel yang diambil adalah 46 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 responden yang bekerja di tempat kerja dengan
intenistas kebisingan di atas Nilai Ambang Batas Keputusan Menaker No. Kep 51/MEN/1999
tentang faktor fisik di tempat kerja, sebanyak 21 orang (67,%) mengalami gangguan psikologis
kategori sedang dan 6 orang (19,4%) mengalami gangguan psikologis kategorri tinggi. Dari uji
statistik menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan tingkat kesalahan 5% (0,05) diperoleh
rs=0,411 dengan nilai p<0,05. Terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas kebisingan
dengan gangguan psikologis pada pekerja di bagian finishing PT. Jansen Indonesia
Kata Kunci: intensitas kebisingan, gangguan psikologis
THE NOISE HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS DAN PSYCOLOGICAL gangguan
PEKERJA DI BAGIAN FINISHING PT. Jansen INDONESIA
Kebisingan di tempat kerja menyebabkan pekerja psycological disturbace seperti masalah
konsentrasi, tidur dan mudah marah atau emosi. The pirpose dari penelitian ini adalah untuk analize yang
hubungan antara intensitas kebisingan dan gangguan psycological pekerja. Metode penelitian ini
adalah penelitian penjelasan dengan pendekatan cross sectional. Data yang dikumpulkan diambil langsung oleh
mengukur kebisingan dan juga menggunakan quisioner untuk mengetahui psycological gangguan.
Populasi dari penelitian ini adalah pekerja shift pagi yang bekerja di bagian di bagian finishing
jumlah 92 pekerja, 46 pekerja yang dikumpulkan dengan teknik purposive sampling. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dari 31 respondens yang bekerja di tempat kerja dengan lebih terbatas
nilai ambang batas (NAB) Keputusan No.Kep Menaker 51/MEN/1999 tentang faktor fisik
lingkungan kerja, 21 (67,7%) memiliki gangguan psycological dalam kategori menengah, dan 6
(19,4%) memiliki gangguan psycological dalam kategori hiogh. Dari uji statistik menggunakan Rank
Spearman korelasi pada 5% (0,05) tingkat kesalahan adalah mendapatkan rs = 0.411 dengan p <0,05. Ada signifikan
hubungan antara intensitas kebisingan dengan gangguan psycological pekerja di bagian finishing PT.
Jansen Indonesia.
Keyword: kebisingan intensitas, gangguan psycological
Peri-embedding Disorder, Gangguan Psikologis Baru?
Posted on Jumat, 2 Januari 2009 oleh Catshade

Ketika sedang mengujicoba alat baru untuk Mendeteksi benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh karena kecelakaan (Misalnya pecahan kaca yang terinjak), sebuah rumah sakit di Ohio, Amerika Serikat, Menemukan belasan anak remaja perempuan yang dengan sengaja Memasukkan berbagai benda asing ke dalam tubuhnya , mulai dari serpihan kayu, mata pensil, hingga jarum dan staples. Gejala yang diduga Sebentuk gangguan Psikologis ini Disebut Sebagai melekatkan diri gangguan, dan diduga Merupakan fenomena puncak gunung es karena belum pernah ada penelitian mengenai ini sebelumnya.

clipped from archives.chicagotribune.com
Nationwide personil pada Children's Hospital di Columbus, Ohio, 52 mengeluarkan laporan bahwa 10 benda asing sengaja gadis-gadis remaja yang tertanam di lengan, tangan, kaki, pergelangan kaki dan leher selama tiga tahun terakhir, termasuk jarum, staples, kayu, batu, gelas, pensil memimpin dan krayon.
Satu pasien telah memasukkan 11 obyek, termasuk membuka klip kertas logam lebih dari 6 inci panjang.
Mereka menyebut perilaku "melekatkan diri kekacauan."
Self-cedera adalah tren yang meresahkan di kalangan remaja, khususnya anak perempuan.
Semua kasus di Ohio Penelitian ini melibatkan anak-anak perempuan yang tinggal di panti asuhan, kelompok rumah atau fasilitas kesehatan mental. Banyak telah mengalami atau menyaksikan fisik atau seksual, dan sebagian besar telah didiagnosa dengan depresi, kecemasan atau masalah kesehatan mental lainnya.
Tapi sampai lebih banyak informasi yang dikumpulkan, tidak dapat diketahui apakah remaja yang tinggal di luar rumah keluarga kelahiran mereka berada pada risiko tinggi untuk perilaku ini, kata Dr Jarrod M. Leffler, psikolog klinis pada anak-anak nasional.

HIDUP SEHAT
hidup sehat adalah pilihan
Archive for September 6th, 2009
KESULITAN MAKAN PADA ANAK
without comments

GANGGUAN PENCERNAAN, PENYEBAB UTAMA KESULITAN MAKAN PADA ANAK

gangguan pola makan anak
Pemberian makan pada anak memang sering menjadi masalah buat orangtua atau pengasuh anak. Keluhan tersebut sering dikeluhkan orang tua kepada dokter yang merawat anaknya. Faktor kesulitan makan pada anak inilah yang sering dialami oleh sekitar 25% pada usia anak, jumlah akan meningkat sekitar 40-70% pada anak yang lahir prematur atau dengan penyakit kronik. Hal ini pulalah yang sering membuat masalah tersendiri bagi orang tua, bahkan dokter yang merawatnya. Penelitian yang dilakukan di Jakarta menyebutkan pada anak prasekolah usia 4-6 tahun, didapatkan prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6%. Sebagian besar 79,2% telah berlangsung lebih dari 3 bulanKesulitan makan karena sering dan berlangsung lama sering dianggap biasa. Sehingga akhirnya timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya pada anak. Salah satu keterlambatan penanganan masalah tersebut adalah pemberian vitamin tanpa mencari penyebabnya sehingga kesulitan makan tersebut terjadi berkepanjangan. Akhirnya orang tua berpindah-pindah dokter dan berganti-ganti vitamin tapi tampak anak kesulitan makannya tidak membaik. Sering juga terjadi bahwa kesulitan makan tersebut dianggap dan diobati sebagai infeksi tuberkulosis yang belum tentu benar diderita anak.
Dengan penanganan kesulitan makan pada anak yang optimal diharapkan dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas anak Indonesia dalam menghadapi persaingan di era globalisasi mendatang khususnya. Tumbuh kembang dalam usia anak sangat menentukan kualitas seseorang bila sudah dewasa nantinya.

GEJALA SUATU PENYAKIT

Kesulitan makan bukanlah diagnosis atau penyakit, tetapi merupakan gejala atau tanda adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang sedang terjadi pada tubuh anak. Pengertian kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap dipencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu. Gejala kesulitan makan pada anak (1). Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya bisa makanan lunak atau cair, (2) Memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulut anak, (3).Makan berlama-lama dan memainkan makanan, (4) Sama sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat, (5) Memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua, (6). Tidak menyukai banyak variasi makanan dan (7), Kebiasaan makan yang aneh dan ganjil.
PENYEBAB UTAMA KESULITAN MAKAN

Penyebab kesulitan makanan itu sangatlah banyak. Semua gangguan fungsi organ tubuh dan penyakit bisa berupa adanya kelainan fisik, maupun psikis dapat dianggap sebagai penyebab kesulitan makan pada anak. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir dan infeksi didapat dalam usia anak.
Secara umum penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi lebih dari 1 faktor. Penyebab paling sering adalah hilangnya nafsu makan, diikuti gangguan proses makan. Sedangkan faktor psikologis yang dulu dianggap sebagai penyebab utama, mungkin saat mulai ditinggalkan atau sangat jarang.
Pengaruh hilang atau berkurangnya nafsu makan tampaknya merupakan penyebab utama masalah kesulitan makan pada anak. Pengaruh nafsu makan ini bisa mulai dari yang ringan (berkurang nafsu makan) hingga berat (tidak ada nafsu makan). Tampilan gangguan yang ringan berupa minum susu botol sering sisa, waktu minum ASI berkurang (sebelumnya 20 menit menjadi 10 menit), makan sering sisa atau hanya sedikit atau mengeluarkan dan menyembur-nyemburkan makanan di mulut. Sedangkan gangguan yang lebih berat tampak anak menutup rapat mulutnya atau tidak mau makan dan minum sama sekali. Berkurang atau hilangnya nafsu makan ini sering diakibatkan karena gangguan fungsi saluran cerna.
Gangguan fungsi pencernaan tersebut kadang tampak ringan seperti tidak ada gangguan. Tanda dan gejala yang menunjukkan adanya gangguan tersebut adalah perut kembung, sering “cegukan”, sering buang angin, sering muntah atau seperti hendak muntah bila disuapin makan. Gampang timbul muntah terutama bila menangis, berteriak, tertawa, berlari atau bila marah. Sering nyeri perut sesasaat, bersifat hilang timbul. Sulit buang air besar (bila buang air besar ”ngeden”, tidak setiap hari buang air besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja berwarna hitam atau hijau, berbentuk keras, bulat (seperti kotoran kambing) atau cair disertai bentuk seperti biji lombok, pernah ada riwayat berak darah. Gangguan tidur malam : malam rewel, kolik, tiba-tiba mengigau atau menjerit, tidur bolak balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Lidah tampak kotor, berwarna putih serta air liur bertambah banyak atau mulut berbau
Gangguan saluran cerna biasanya disertai kulit yang sensitif. Sering timbul bintik-bintik kemerahan seperti digigit nyamuk atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di bagian badan lainnya. Saat bayi sering timbul gangguan kulit di pipi, sekitar mulut, sekitar daerah popok dan sebagainya.
Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa karena sering terjadi pada banyak anak. Padahal bila di amati secara cermat tanda dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang sangat mungkin berkaitan dengan kesulitan makan pada anak.

GANGGUAN PROSES MAKAN DI MULUT

Proses makan terjadi mulai dari memasukkan makan dimulut, mengunyah dan menelan. Ketrampilan dan kemampuan koordinasi pergerakan motorik kasar di sekitar mulut sangat berperanan dalam proses makan tersebut. Pergerakan morik tersebut berupa koordinasi gerakan menggigit, mengunyah dan menelan dilakukan oleh otot di rahang atas dan bawah, bibir, lidah dan banyak otot lainnya di sekitar mulut. Gangguan proses makan di mulut tersebut seringkali berupa gangguan mengunyah makanan.
Tampilan klinis gangguan mengunyah adalah keterlambatan makanan kasar tidak bisa makan nasi tim saat usia 9 bulan, belum bisa makan nasi saat usia 1 tahun, tidak bisa makan daging sapi (empal) atau sayur berserat seperti kangkung. Bila anak sedang muntah dan akan terlihat tumpahannya terdapat bentukan nasi yang masih utuh. Hal ini menunjukkan bahwa proses mengunyah nasi tersebut tidak sempurna. Tetapi kemampuan untuk makan bahan makanan yang keras seperti krupuk atau biskuit tidak terganggu, karena hanya memerlukan beberapa kunyahan. Gangguan koordinasi motorik mulut ini juga mengakibatkani kejadian tergigit sendiri bagian bibir atau lidah secara tidak sengaja.
Kelainan lain yang berkaitan dengan koordinasi motorik mulut adalah keterlambatan bicara dan gangguan bicara (cedal, gagap, bicara terlalu cepat sehingga sulit dimengerti). Gangguan motorik proses makan ini biasanya disertai oleh gangguan keseimbangan dan motorik kasar lainnya seperti tidak mengalami proses perkembangan normal duduk, merangkak dan berdiri. Sehingga terlambat bolak-balik (normal usia 4 bulan), terlambat duduk merangkak (normal 6-8 bulan) atau tidak merangkak tetapi langsung berjalan, keterlambatan kemampuan mengayuh sepeda (normal usia 2,5 tahun), jalan jinjit, duduk bersimpuh leter “W”. Bila berjalan selalu cepat, terburu-buru seperti berlari, sering jatuh atau menabrak, sehingga sering terlambat berjalan. Ciri lainnya biasanya disertai gejala anak tidak bisa diam, mulai dari overaktif hingga hiperaktif. Mudah marah serta sulit berkonsentrasi, gampang bosan dan selalu terburu-buru.
Gangguan saluran pencernaan tampaknya merupakan faktor penyebab terpenting dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan teori ”Gut Brain Axis”. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut.
Kelainan bawaan adalah gangguan fungsi organ tubuh atau kelainan anatomis organ tubuh yang terjadi sejak pembentukan organ dalam kehamilan.Diantaranya adalah kelainan mulut, tenggorok, dan esofagus: sumbing, lidah besar, tenggorok terbelah, fistula trakeoesofagus, atresia esofagus, Laringomalasia, trakeomalasia, kista laring, tumor, tidak ada lubang hidung, serebral palsi, kelainan paru, jantung, ginjal dan organ lainnya sejak lahir atau sejak dalam kandungan.
Bila fungsi otak tersebut terganggu maka kemampuan motorik untuk makan akan terpengaruh. Gangguan fungsi otak tersebut dapat berupa infeksi, kelainan bawaan atau gangguan lainnya seperti serebral palsi, miastenia gravis, poliomielitis.. Bila kelainan susunan saraf pusat ini terjadi karena kelainan bawaan sejak lahir biasanya disertai dengan gangguan motorik atau gangguan perilaku dan perkembangan lainnya.

GANGGUAN PSIKOLOGIS

Gangguan psikologis dahulu dianggap sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak. Tampaknya hal ini terjadi karena dahulu kalau kita kesulitan dalam menemukan penyebab kesulitan makan pada anak maka gangguan psikologis dianggap sebagai diagnosis keranjang sampah untuk mencari penyebab kesulitan makan pada anak. Untuk memastikan gangguan psikologis sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak harus dipastikan tidak adanya kelainan organik pada anak. Kemungkinan lain yang sering terjadi, gangguan psikologis memperberat masalah kesulitan makan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Gangguan pskologis bisa dianggap sebagai penyebab bila kesulitan makan itu waktunya bersamaan dengan masalah psikologis yang dihadapi. Bila faktor psikologis tersebut membaik maka gangguan kesulitan makanpun akan membaik. Untuk memastikannya kadang sulit, karena dibutuhkan pengamatan yang cermat dari dekat dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Karenanya hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang tua bekerjasama dengan psikater atau psikolog.
Pakar psikologis menyebutkan sebab meliputi gangguan sikap negatifisme, menarik perhatian, ketidak bahagian atau perasaan lain pada anak, kebiasaan rewel pada anak digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan yang sangat diinginkannya, sedang tertarik permainan atau benda lainya, meniru pola makan orang tua atau saudaranya reaksi anak yang manja.
Beberapa aspek psikologis dalam hubungan keluarga, baik antara anak dengan orang tua, antara ayah dan ibu atau hubungan antara anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Misalnya bila hubungan antara orang tua yang tidak harmonis, hubungan antara anggota keluarga lainnya tidak baik atau suasana keluarga yang penuh pertentangan, permusuhan atau emosi yang tinggi akan mengakibatkan anak mengalami ketakutan, kecemasan, tidak bahagia, sedih atau depresi. Hal itu mengakibatkan anak tidak aman dan nyaman sehingga bisa membuat anak menarik diri dari kegiatan atau lingkungan keluarga termasuk aktifitas makannya
Sikap orang tua dalam hubungannya dengan anak sangat menentukan untuk terjadinya gangguan psikologis yang dapat mengakibatkan gangguan makan. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah : perlindungan dan perhatian berlebihan pada anak, orang tua yang pemarah, stress dan tegang terus menerus, kurangnya kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, urangnya pengertian dan pemahaman orang tua terhadap kondisi psikologis anak, hubungan antara orang tua yang tidak harmonis, sering ada pertengkaran dan permusuhan.
SERING OVERDIAGNOSIS PENYAKIT TUBERKULOSIS

Penyakit TBC sering dianggap biang keladi penyebab utama kesulitan makan pada anak. Diagnosis pasti TBC anak sulit oleh karena penemuan kuman Micobacterium TBC (M.TBC) pada anak tidak mudah. Cara-cara lain untuk pemeriksaan laboratorium darah secara bakteriologis atau serologis masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat dipakai secara praktis – klinis.
Karena kesulitan diagnosis tersebut sering terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis. Overdiagnosis artinya diagnosis TBC yang diberikan pada anak oleh dokter terlalu berlebihan atau terlalu cepat mendiagnosis dengan data yang minimal walaupun anak belum tentu menderita TBC.
Apabila terjadi overdiagnosis TBC pada anak terdapat konsekuensi yang tidak ringan dihadapi oleh si anak, karena anak harus mengkonsumsi 2 atau 3 obat sekaligus minimal 6 bulan. Bahkan kadangkala diberikan lebih lama apabila dokter menemukan tidak ada perbaikan klinis. Padahal obat TBC dalam jangka waktu lama beresiko mengganggu fungsi hati,persyarafan telinga dan organ tubuh lainnya.
Sering terjadi anak dengan keluhan alergi pernapasan atau gangguan pencernaan kronis (seperti coeliac dsbnya) yang disertai berat badan yang kurang dan sulit makan diobati sebagai penyakit Tuberkulosis (TBC) paru yang harus minum obat selama 6 bulan hingga 1 tahun. Padahal belum tentu anak tersebut mengidap penyakit tuberculosis. Bahkan orang tua heran saat anaknya divonis dokter mengidap penyakit TBC padahal tidak ada seorangpun di rumah yang mengalami penyakit TBC. Overdiagnosis dan overtreatment pada anak dengan gejala alergi tersebut sering terjadi karena keluhan alergi dan TBC hampir sama, sementara mendiagnosis penyakit TBC tidaklah mudah.
Diagnosis Tuberkulosis anak menurut Pertemuan Dokter Anak pulmunologi tahun 2000 harus dengan pengamatan seksama tentang adanya : Gejala klinis, kontak erat serumah penderita TBC (dipastikan dengan dengan pemeriksaan dahak positif), pemeriksaan yang harus dilakukan adalah Foto polos dada (roentgen), tes mantouxt (positif : > 15mm bila sudah BCG, Positif > 10 mm bila belum BCG). Sering terjadi hanya dengan melakukan pemeriksaan satu jenis pemeriksaan saja, anak sudah divonis dengan penyakit TBC. Seharusnya pemeriksaan harus dilakukan secara lengkap dan teliti seperti di atas. Karena sulitnya mendiagnosis TBC pada anak dan kosekuensi lamanya pengobatan maka bila meragukan lebih baik dikonsultasikan atau dikonfirmasikan ke Dokter Spesialis Paru Anak (Pulmonologi Anak). Ciri lain yang menunjukkan kemungkinan anak sudah mengalami gangguan saluran cerna secara genetik atau sejak lahir dan bhuka penyakit TBC adalah anak sejak lahir beratnya tidak pernah optimal dan biasanya salah satu orangtuanya mempunyai berat badan yang kurus saat usia anak.

KOMPLIKASI KESULITAN MAKAN

Peristiwa kesulitan makan yang terjadi pada penderita Autis biasanya berlangsung lama. Komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori, protein, vitamin, mineral dan anemia (kurang darah). Defisiensi zat gizi ini ternyata juga akan memperberat masalah gangguan metabolisme dan gangguan fungsi tubuh lainnya yang terjadi pada penderita Autis. Keadaan ini tentunya akan menghambat beberapa upaya penanganan dan terapi yang sudah dilakukan selama ini.
Kekurangan kalori dan protein yang terjadi tentunya akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada penderita Autis. Tampilan klinis yang dapat dilihat adalah kegagalan dalam peningkatan berat badan atau tinggi badan. Dalam keadaan normal anak usia di atas 2 tahun seharusnya terjadi peningkatan berat badan 2 kilogram dalam setahun. Pada penderita kesulitan makan sering terjadi kenaikkan berat badan terjadi agak susah bahkan terjadi kecenderunagn tetap dalam keadaan yang cukup lama.

PENANGANAN KESULITAN MAKAN PADA ANAK

Beberapa langkah yang dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada anak yang harus dilakukan adalah : (1). Pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan makan Cari penyebab kesulitan makanan pada anak, (2). Identifikasi adakah komplikasi yang terjadi, (3) Pemberian pengobatan terhadap penyebab, (4). Bila penyebabnya gangguan saluran cerna (seperti alergi, intoleransi atau coeliac), hindari makanan tertentu yang menjadi penyebab gangguan.
Gangguan fungsi pencernaan kronis pada anak tampaknya sebagai penyebab paling penting dalam kesulitan makan. Gangguan fungsi saluran cerna kronis yang terjadi seperti alergi makanan, intoleransi makanan, penyakit coeliac dan sebagainya. Reaksi simpang makanan tersebut tampaknya sebagai penyebab utama gangguan-gangguan tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan timbulnya permasalahan kesulitan makan ini terbanyak saat usia di atas 6 bulan ketika mulai diperkenalkannya variasi makanan tambahan baru. Penelitian yang dilakukan di Picky Eater Clinic Jakarta menunjukkan, setelah dilakukan penghindaran makanan tertentu pada 218 anak dengan kesulitan makan dengan gangguan intoleransi makanan, alergi makanan, penyakit coeliac, Setelah dilakukan penghindaran makanan selama 3 minggu, tampak perbaikan kesulitan makan sejumlah 78% pada minggu pertama, 92% pada minggu ke dua dan 96% pada minggu ketiga. Gangguan saluran cerna juga tampak membaik sekitar 84% dan 94% penderita antara minggu pertama dan ketiga. Tetapi perbaikan gangguan mengunyah dan menelan hanya bisa diperbaiki sekitar 30%. Mungkin gangguan ini akan membaik maksimal seiring dengan pertambahan usia.
Penanganan dalam segi neuromotorik dapat melalui pencapaian tingkat kesadaran yang optimal dengan stimulasi sistem multisensoris, stimulasi kontrol gerak oral dan refleks menelan, teknik khusus untuk posisi yang baik. Penggunaan sikat gigi listrik dan minum dengan sedotan kadang membantu memperbaiki masalah ini. Aktifitas meniup balon atau harmonika dan senam mulut dengan gerakan tertentu juga sering dianjurkan untuk gangguan ini.
Pemberian suplemen vitamin atau obat tertentu sering diberikan pada kasus kesulitan makan pada anak. Tindakan ini bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, bila tidak disertai dengan mencari penyebabnya. Kadangkala pemberian vitamin atau obat-obatan justru menutupi penyebab gangguan tersebut, kalau penyebabnya tidak tertangani tuntas maka keluhan tersebut terus berulang. Bila penyebabnya tidak segera terdeteksi maka anak akan tergantung dengan pemberian vitamin tersebut Bila kita tidak waspada terdapat beberapa akibat dari pemberian obat-obatan dan vitamin dalam jangka waktu yang lama.
Selain mengatasi penyebab kesulitan makan sesuai dengan penyebab, harus ditunjang dengan cara pemberian makan yang sesuai untuk anak dengan kesulitan makan pada anak. Karena anak dengan gangguan makan kebiasaan dan perilaku makannya berbeda dengan anak yang sehat lainnya. Kesulitan makan disertai gangguan fungsi saluran cerna biasanya terjadi jangka panjang, dan sebagian akan berkurang pada usia tertentu. Gangguan alergi makanan akan membaik setelah usia setelah usia 5-7 tahun. Tetapi pada kasus penyakit coeliac atau intoleransi makanan terjadi dalam waktu yang lebih lama bahkan tidak sedikit yang terjadi hingga dewasa.
Dr Widodo Judarwanto SpA
ALLERGY BEHAVIOUR CLINIC – PICKY EATERS CLINIC (Klinik Khusus Kesulitan makan pada Anak)
JL Rawasari Selatan 50, Cempaka Putih Jakarta Pusat
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
Rumah Sakit Bunda Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
1.Motala, C: New perspectives in the diagnosis of food allergy. Current Allergy and Clinical Immunology, September/October 2002, Vol 15, No. 3: 96-100
2.Opper FH, Burakoff R. Food allergy and intolerance. Gastroenterologist. 1993;1(3):211-220.
3.Carruth BR, Ziegler PJ, Gordon A, Barr SI.. Prevalence of picky eaters among infants and toddlers and their caregivers’ decisions about offering a new food. J Am Diet Assoc. 2004 Jan;104(1 Suppl 1):s57-64.
4.Solihin Pujiadi. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1993
5.Agus Firmansyah.Aspek. Gastroenterology problem makan pada bayi dan anak. Pediatric Nutrition Update, 2003.
6.Reau NR, Senturia YD, Lebailly SA, Christoffel KK.. Infant and toddler feeding patterns and problems: normative data and a new direction. Pediatric Practice Research Group.J Dev Behav Pediatr. 1996 Jun;17(3):149-53.
7. Berg, Frances., ed. Afraid to Eat: Children and Teens in Weight Crisis. Hettinger, ND: Healthy Weight Institute, 402 S. 14th St., Hettinger, ND 58639, 1996.
8. Chatoor I, Ganiban J, Hirsch R, Borman-Spurrell E, Mrazek DA.. Maternal characteristics and toddler temperament in infantile anorexia. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2000 Jun;39(6):743-51.
9.Carruth BR, Skinner J, Houck K, Moran J 3rd, Coletta F, Ott D.. The phenomenon of “picky eater”: a behavioral marker in eating patterns of toddlers.J Am Coll Nutr. 1998 Apr;17(2):180-6.
10. Hall, Lindsey, and Cohn, Leigh Bulimia: A Guide to Recovery Carlsbad, CA: Gürze Books, 1986.A two-week recovery program and a guide for support groups.
11.Jacobi C, Agras WS, Bryson S, Hammer LD.Behavioral validation, precursors, and concomitants of picky eating in childhood. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2003 Jan;42(1):76-84.
12.Hirschmann, Jane R., CSW, and Zaphiropoulos, Lela, CSW. Preventing Childhood Eating Problems: A Practical, Positive Approach to Raising Children Free of Food & Weight Conflicts Carlsbad, CA: Gürze Books, 1993
13.Kubersky, Rachel. Everything You Need to Know about Eating Disorders New York: Rosen Publishing Group, 1992.
14.Levine, Michael, PhD, and Hill, Laura, PhD. A 5-Day Lesson Plan on Eating Disorders: Grades 7-12 Tulsa, OK: NEDO, 1996.
Maine, Margo, PhD. Father Hunger: Fathers, Daughters, & Food Carlsbad, CA: Gürze Books, 1991.
15. Judarwanto W. Mengatasi kesulitan makan Anak, Puspaswara, publisher, 2004.
16.Judarwanti W. Pendekatan diet sebagai terapi kesulitan makan pada anak (belum dipublikasikan)
17.Judarwanto W. Pengalaman Penatalaksanaan Kesulitan Makan pada Anak di Picky Eaters Clinic Jakrta.
18.Satter, Ellyn, RD, ACSW. How to Get Your Kid to Eat…But Not Too Much: From Birth to Adolescence Palo Alto: Bull Publishing, 1987.
19.Soepardi Soedibyo, Sri Nasar. Feeding problem from nutrition perspective.Pediatric nutrition update,2003.
20.Agras S., Hammer L., McNicholas F. (1999). A prospective study of the influence of eating-disordered mothers on their children. International Journal of Eating Disorders, 25(3), 253-62.
21.Bryant-Waugh R., Lask B. Eating Disorders in Children. Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines 36 (3), 191-202, 1995.
22.Kreipe RE. Eating disorders among children and adolescents. Pediatrics in Review, 16(10), 370-9, 1995.
23.Marchi M., Cohen P. (1990). Early childhood eating behaviors and adolescent eating disorders. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry,29(1), 112-7.
Meliput Bencana Bisa Terkena Gangguan Psikologis
13/Januari 2010

â€oePara fotografer dihadapkan pada trauma-trauma yang hebat. Setiap kali anda melihat foto, apakah itu pada halaman
depan surat kabar atau terpampang untuk suatu penghargaan, maka anda menghidupkan kembali ingatan, suara, bau
dan adrenalin yang terkait dengan foto tersebut.― kata David Handschuh, yang terluka ketika meliput serangan 11
September 2001 untuk harian New York Daily News.

Trauma seperti itu tak hanya bagian dari kehidupan Handschuh. Dari penelitian, hal serupa dengan berbagai tingkatan
dialami banyak wartawan. Dr. Elana Newman, pisikologis klinis yang melakukan suatu survei terhadap 800 wartawan
foto, mengatakan pada konvensi National Press Photographers Association di Amerika; ―Menyaksikan kematian dan
cedera menimbulkan dampak negatif, dampak ini meningkat dengan pemaparan yang terjadi. Semakin sering wartawan
melakukannya, semakin besar kemungkinan mereka mengalami konsekuensi psikologisnya.―

Pengalaman Handschuh dan hasil penelitian Elana Newman menunjukkan sekaligus mengingatkan bahwa gangguan
psikologis, baik ringan, sedang hingga berat, tak hanya bisa dialami para korban bencana. Gangguan psikologis
pascaperistiwa yang traumatik itu atau yang disebut Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) juga bisa menghinggapi para
wartawan yang meliput bencana disadari maupun tidak disadari oleh para wartawan.


PTSD atau gangguan trauma psikologis merupakan gangguan kejiwaan yang terjadi akibat seseorang mengalami atau
menyaksikan peristiwa yang mengancam keselamatan hidup seseorang seperti peperangan, bencana alam, serangan
teroris, kecelakaan serius atau kekerasan lainnya seperti pemerkosaan. Orang yang terkena gangguan PTSD, menurut
Schiraldi dan Yule (Wiwik Sulistyaningsih 2009: 26), sering mengalami kembali kejadian-kejadian melalui mimpi buruk
atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah atau terasing, yang gejala-gejala ini dapat berlangsung lama
serta bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut

Dampak psikologis seperti itu menjadi penting untuk diperhatikan oleh wartawan (di) Indonesia mengingat mereka
bekerja di kawasan yang rawan bencana, khususnya bencana alam seperti banjir, longsor, gempa, tsunami, gunung
meletus. Ketika meliput peristiwa bencana seperti itu mereka akan menghadapi atau menyaksikan berbagai situasi
traumatik, terutama ketika menyaksikan para korban. Bagi sebagian wartawan, pemandangan bergelimpangannya
jenazah korban, mayat yang tersembul dari balik reruntuhan bangunan yang diguncang gempa atau dari balik timbunan
longsoran, korban-korban yang selamat namun terluka, korban-korban yang selamat namun menderita karena
kehilangan harta dan keluarga, bisa menjadi peristiwa mengguncangkan jiwa.


Terlebih lagi jika hal seperti itu merupakan pemandangan pertama yang dihadapinya. Bau mayat yang sepertinya terus
melekat di penciuman meskipun peristiwa sudah berlalu berbulan-bulan, sosok-sosok bergelimpangan yang sepintassepintas
muncul, misalnya, hingga terganggu oleh mimpi tentang peristiwa bencana yang diliputnya, hanya bagian kecil
dari situasi trauma psikologis yang dialami wartawan pascameliput bencana.


Berdasarkan kriteria diagnostik, gejala-gejala atau simptom-simptom trauma psikologis ditunjukkan dalam empat aspek,
yakni aspek fisik, emosi, kognitif dan hubungan interpersonal. (Wiwik Sulistyaningsih 2009:30).

Dampak dalam aspek fisik, menurut doktor psikologi yang melakukan penelitian proses rehabilitasi di Aceh itu, gejalagejala
trauma itu meliputi rasa lelah, letih, sulit tidur, mudah terkejut, terlalu waspada, badan merasa sakit, gangguan
pencernaan, menurunnya nafsu makan dan nafsu seksual, serta rentan terhadap penyakit. Pada aspek emosi, gejalagejala
itu misalnya rasa shock, ketakutan, mudah marah, merasa bersalah, sedih, emosi mati rasa, merasa tidak
berdaya, kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari hingga sulit merasa bahagia dan sulit mengalami perasaan
cinta.


Pada aspek pikiran atau kognitif, orang-orang yang mengalami trauma psikologis menunjukkan gejala kurang
konsentrasi, kurang mampu mengambil keputusan, gangguan ingatan, ketidakpercayaan, kebingungan, mimpi buruk,
penurunan harga diri, merasa kurang mampu, menyalahkan diri sendiri, terbayang-bayang hingga khawatir. Dalam
aspek hubungan interpersonal ditandai dengan adanya konflik hubungan yang meningkat, menarik diri dari pergaulan,
kedekatan hubungan yang menurun, merasa terasing, prestasi kerja menurun, merasa tidak puas, ketidakpercayaan,
pelampiasan rasa bersalah, merasa ditolak hingga sikap terlalu melindungi.

Trauma psikologis yang merugikan terhadap kesehatan mental tersebut karena dapat menurunkan fungsi fisik, emosi,
pikiran dan hubungan interpersonal pada umumnya bisa berangsur-angsur membaik dna tak berlanjut menjadi masalah
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--,
kronis. Untuk pulih, kata Wiwik Sulistyaningsih, biasanya butuh waktu sekitar 6 hingga 16 bulan. Lama waktu pemulihan
ini tergantung pada karakteristik individu dan sifat peristiwa traumatik yang dialami, kemudian dukungan sosial dan faktor
budaya.



Bagaimana Menyikapi dan Mengatasinya?

Stres pascatrauma merupakan reaksi yang normal terhadap pemaparan yang mengerikan atau lama terhadap
kekerasan dan tragedi kemanusiaan lainnya. Kekerasan dan dampak emosional setelahnya berdampak pada semua
responden pertama, termasuk polisi, pemadam kebakaran dan pekerja ambulan serta para wartawan. Namun tentunya
hal itu sebaiknya tidak dibiarkan sehingga menjadi persoalan yang mengganggu kehidupan wartawan.

Joe Hight, managing editor The Oklahoma, President of the Dart Center for Journalism & Trauma’s Executive Committee
(tahun 1995, memimpin tim wartawan dan editor yang meliput korban pemboman di Oklahoma City) dan Cait McMahon,
Direktur Dart Centre Australasia, dan psikolog terdaftar yang bekerja selama beberapa tahun sebagai konselor pada
surat kabar ‘The Age’, memberikan sejumlah saran bagi para wartawan untuk menyikapi dan mengatasi persoalan
tersebut di situs http://www.dartcentre.org.


Kepada wartawan, maupun pengelola media, Hight dan McMahon yang mengutip Chris Cramer (President of CNN
International Networks), pertama-tama mengingatkan bahwa haruslah disadari bahwa sangatlah alami bagi para
wartawan, seperti halnya orang lain, untuk merasakan dampak/efek trauma. Ini artinya, para wartawan tak akan terbebas
dari persoalan efek trauma. Untuk itu perlu diperhatikan dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Kepada
pemilik bisnis media disarankan menyediakan konseling sukarela bagi para wartawannya.



Anjuran Umum Bagi Wartawan

- Ketahuilah batas-batas kemampuan anda. Jika anda diminta untuk melakukan suatu penugasan-penugasan yang sulit
atau berbahaya di mana menurut anda sulit untuk dijalankan, biarkan hal itu diketahui. Jelaskan mengapa anda bukan
merupakan orang yang tepat untuk penugasan itu.

- Ambilah istirahat - dan doronglah orang lain untuk melakukan hal itu. Menjauhi cerita atau bahan selama beberapa
menit atau beberapa jam – atau dalam proyek yang lebih lama sehari atau dua hari - akan membantu tubuh dan pikiran
memproses dan mengasimilasi lebih sehat dari apa yang dialaminya.


- Ketahui bahwa sebagai wartawan, anda juga manusia yang perlu untuk memperhatikan emosi anda sendiri. Ketahui
perasaan anda, bicarakan apa yang mengenai anda kerjakan dengan rekan kerja, teman atau mitra yang dapat
dipercaya. Apabila anda tidak ingin membicarakannya, akan sangat membantu untuk menuliskannya.


- Tentukan rutinitas harian dari kebiasaan-kebiasaan yang sehat, termasuk makanan yang sehat, olah raga yang
sederhana (berjalan kaki 30 menit akan sama baiknya dengan berlari 30 menit ) dan minum air yang cukup banyak.
Mencari seseorang yang merupakan pendengar yang sensitif. Hal ini dapat redaktur atau rekan kerja, tetapi anda harus
percaya bahwa pendengar tidak akan mengembalikan keputusan pada anda. Hal ini mungkin misalnya seseorang yang
telah mengalami pengalaman yang serupa. Dukunglah rekan kerja anda dengan cara yang sama, dan biarkan mereka
bicara.


- Pelajari bagaimana menghadapi stres. Temukan hobi, olahraga, sediakan waktu untuk refleksi, habiskan waktu
bersama dengan keluarga, sahabat atau rekan-rekan – atau keempatnya. Berhati-hatilah untuk mengambil libur sendiri
yang panjang setelah tugastugas yang berat.


- Cobalah untuk bernapas dalam. Dokter menyarankan bahwa anda mengambil napas yang panjang pelan-pelan dan
hingga hitunga ke lima, kemudian keluarkan perlahan-lahan hingga hitungan ke lima. Bayangkan hembuskan nafas
keluar melebihi ketegangan dan hirup udara dengan relaks. Latihan ini dapat bersifat efektif untuk kesehatan mental
maupun fisik anda.


- Pahami juga bahwa masalah-masalah anda dapat menjadi menjadi sangat besar – dan berhati-hatilah dengan reaksi
yang lamban. Sebelum meninggal pada bulan April 1945, koresponden perang Ernie Pyle menulis, ―Saya telah
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--,
tenggelam di dalamya terlalu lama. Semangat saya rapuh dan pikiran saya kacau. Rasa sakitnya telah menjadi terlalu
besar.― Jika hal ini terjadi pada anda, konseling profesional dapat membuat perbedaan besar – dan tidak boleh ada stigma
dalam mencari jalan ke luar.


- Mengakui adanya kebutuhan terhadap kesempatan untuk menyalurkan emosi setelah terjadinya peristiwa yang
traumatis, penembakan atau pemboman bukan suatu pertanda kelemahan, seperti yang dianggap oleh banyak sekali
wartawan. Sebaliknya, ketika dilakukan dengan berhasil, diskusi yang sesuai dan terinformasi pasca kejadian dengan
rekan-rekan kerja dan – apabila ada cukup kepercayaan, dengan manajer dan redaktur yang peduli – bukan tanda
kelemahan tetapi suatu kekuatan.


- Tindakan artikulasi -- menulis, menggambar, melukis, berbicara atau menangis -- tampaknya akan mengubah cara
ingatan traumatis yang tersimpan dalam benak, seolah-olah hal ini memindahkan ingatan dari tempat penyimpanan ke
bagian lainnya. Terutama ketika tindakan disertai dengan kesempatan untuk bersedih, maka artikulasi sering kali
memberikan suatu pelepasan emosi yang terkait dengan kejadian dan membuat penulisnya mampu mengingat kembali
di kemudian hari dengan kesedihan yang berkurang atau tidak ada sama sekali.


- Konseling memiliki tempat yang sangat berharga dan penting, tetapi tidak perlu menjadi garda terdepan dari respon
trauma yang penting. Tim dan dukungan rekan kerjalah yang membuatnya sangat berbeda.


- Akan tetapi, apabila seseorang tidak mendapatkannya, atau apabila pengalaman baru membawa menimbulkan stres
lama ke permukaan; atau bila seseorang sulit untuk menghadapi kesehariannya, maka konseling bisa efektif. Jangan
takut untuk meminta atau menyarankan untuk mempercayai seorang konselor professional.


- Ingat bahwa untuk jam-jam atau hari-hari pertama setelah kejadian utama, emosi dan adrenalin dapat meninggi.
Perasaan aneh -- tertekan, terbebani, bingung, mati rasa, kadang-kadang terlalu mencekam, bukan hal yang aneh sama
sekal menyusul penugasan atau peliputan yang berat atau proyek yang berat dan menimbulkan trauma. Setelah
beberapa hari berlalu, kini saatnya yang baik untuk mencari waktu melakukan diskusi mundur ke belakang yang terukur,
dan juga untuk saling mengawasi selama beberapa minggu.


- Ada cara yang sederhana untuk memperhatikan apakah anda atau rekan anda telah terpengaruh, dan bagaimana
mereka menghadapinya. Pertimbangkan pengalaman anda atau pengalaman rekan anda pada minggu yang lalu, dan
pada ceklis dengan 10 poin berikut ini nilai 2 untuk jawaban sangat setuju, 1 untuk jawaban mungkin dan 0 untuk tidak
ada jawaban sama sekali.

1. Anda sering mengalami pikiran atau ingatan yang menakutkan mengenai peristiwa traumatis yang muncul di benak
anda di luar keinginan anda sendiri;


2.Anda telah memimpikan hal buruk mengenai apa yang terjadi;


3.Anda kadang-kadang bertindak atau merasa seolah-olah sesuatu yang buruk tengah terjadi kembali; Anda merasakan
marah dengan apa hal-hal yang mengingatkan kembali;


4.Tubuh anda mengeluarkan reaksi (detak jantung yang cepat, sakit perut, berkeringat, pusing-pusing) ketika Anda
mengingat apa yang terjadi;


5.Anda sulit tidur atau tidur nyenyak;


6.Anda mudah tersinggung atau marah tanpa alasan; Anda sulit berkonsentrasi;


7.Anda terlalu was-was terhadap bahaya yang mungkin mengancam terhadap anda sendiri dan orang lain;


8.Anda mudah kaget atau terperanjat dengan sesuatu yang tidak diharapkan.
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--,

Apabila nilai seseorang tinggi (12 atau lebih) pada beberapa hari segera setelah liputan berita penting, jangan panik. Ini
bukan hal yang aneh, dan normal bila tekanan berkurang dalam beberapa hari atau minggu berikutnya.


Selama waktu itu, baik untuk tetap terkait dengan pekerjaan, tetapi barangkali dengan tekanan yang berkurang. Libur
tunggal yang lama tidak selalu merupakan hal yang baik. Apa yang paling penting adalah dukungan, perhatian dan
pemahaman dari rekan kerja, keluarga dan sahabat.



Penting untuk memeriksa diri Anda atau bersama rekan kerja setelah empat atau lima minggu untuk melihat bagaimana
keadaan Anda atau mereka. Jika skornya masih tinggi (lebih dari 10 atau sekitar itu), maka hal ini dapat menunjukkan
bahwa tekanan terperangkap pada sistem, dan saran profesional atau konseling trauma oleh spesialis dapat membantu.


Sebelum Penugasan


- Apa yang Anda tidak ketahui seringkali lebih menakutkan daripada apa yang Anda ketahui. Sebagai mitra,
berbicarakan penugasan tersebut bersama-sama, apa yang terlibat, apa yang mungkin membahayakan, serta tindakantindakan
waspada yang diambil.


- Atur agar redaktur/ruang pemberitaan bisa mengadakan komunikasi yang secara teratur dengan para mitra di rumah.
Sepakati nomor telpon, dengan nama yang bisa dihubungi oleh mitra selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk
memberikan dukungan atau informasi.


- Pastikan agar mereka yang melakukan perjalanan dan mitra mereka telah memberikan persetujuan sesuai dengan
informasi yang sesuai, serta menyadari mengenai apa yang terlibat – dalam hal risiko, tindakan-tindakan preventif untuk
keselamatan serta tantangan-tantangan pribadi.


- Periksa apakah para manajer/redaktur memiliki nomor-nomor telpon serta alamat yang selalu diperbaharui dari mitra
dan siapa saja (misal: orang tua, sahabat) yang mungkin perlu dihubungi ketika mitra sedang berada di tempat yang
jauh. Hal ini berlaku bagi para wartawan lepas serta anggota staf.


- Pastikan bahwa bagian pemberitaan mengetahui siapa yang harus dihubungi apabila hal terburuk terjadi dan rekan
kerja mengalami kecelakaan/ cedera atau meninggal dunia. Hal ini mungkin tidak selalu menyangkut orang yang sangat
dikenal atau kerabat terdekat yang resmi.


- Jika mungkin, setujui - dan patuhi - berapa lama penugasan akan dilakukan.


- Buat tempat kerja menjadi tempat yang tidak asing bagi mitra dan keluarga. Mereka mungkin perlu diundang untuk
bertemu dengan rekan kerja sebelum penugasan, untuk memperkenalkan wajah dan nama dan melihat suasana kerja di
kantor.


- Miliki kebijakan yang jelas dan terbuka mengenai apa yang akan terjadi apabila terjadi hal yang tidak diharapkan.
Sebagai contoh: pengaturan asuransi apa yang disediakan.


- Kadang-kadang ada alasan mengapa orang merasa mereka harus menolak penugasan yang berbahaya. Redaktur
harus menghargai hal ini.


Selama Penugasan


- Para manajer/redaktur harus mengijinkan dan mendorong tim untuk sering melakukan hubungan telpon dengan orang
yang di rumah. Ini bukan bagian dari pekerjaan, tetapi investasi penting untuk menjaga emosi mereka tetap stabil dan
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--,
baik.


- Pastikan bahwa mitra dan suami/isteri selalu memiliki informasi dari rekan kerja yang dapat dipercaya mengenai
penugasan suami/isteri. Berikan dukungan dan informasi apapun yang anda dapat berikan. Telpon singkat dan ramah
untuk menanyakan bagaimana khabar di rumah dapat membuat segalanya berbeda.


- Jika anda bisa, organisasi-organisasi pemberitaan dan redaktur/manajer dapat membantu suami/isteri dan mitra yang
ditinggal di rumah untuk saling berkomunikasi. Mereka mungkin mempunyai pengalaman yang sangat mirip, tetapi
merasa terpisah dan sendiri.


- Jika ada kejadian pada liputan berita yang menimbulkan korban, hubungi mitra untuk memastikan segera. Namun,
apabila ada berita buruk yang harus disampaikan, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.



Apabila Sedang Melakukan Perjalanan


Selalu upayakan untuk secara teratur menghubungi rumah dan anak-anak – melalui telpon, email, SMS. Beritahukan
kepada mereka di mana Anda berada dan apa yang sedang anda kerjakan – jika Anda bisa, dengan humor dan keceriaan.


Pastikan pemilik media mengetahui bahwa menelpon ke rumah - dan (terimakasih karena semakin murahnya) biaya
untuk melakukan hal itu merupakan bagian dari penugasan. Jangan merasa bersalah untuk melakukannya.





Setelah penugasan


- Pulang kembali ke kehidupan rumah seringkali lebih menegangkan - dan membahayakan - bagi hubungan keluarga
daripada berpisah dan jauh. Akan sangat membantu bagi para mitra untuk membahas apa yang mereka berdua
perlukan untuk memperlancar masa transisi itu.

- Sangat penting untuk beristirahat dan bersantai setelah melakukan perjalanan yang jauh. Apabila anda pulang ke
rumah, para pakar menganjurkan sebaiknya anda menyisihkan sedikit waktu pada perjalanan pulang â€oemengurangi
tekanan― bersama rekan kerja. Namun pastikan mitra anda memahaminya dan setuju.


- Setelah melakukan perjalanan yang menegangkan, rekan kerja dengan keluargakeluarga perlu untuk berkumpul
kembali di rumah. Supervisor harus memberikan waktu untuk melakukannya - dan mungkin ingin membuat mereka tahu
bahwa pihak manajemen sangat memahami transisi yang penuh tantangan ini .


- Setelah berada di rumah, bersabarlah dan hargai satu dengan yang lainnya. Jadwalkan waktu istirahat lebih awal untuk
berkumpul kembali.


- Ingatkan masing-masing akan mempunyai pengalaman yang sangat berbeda – khususnya apabila ada anak-anak kecil
di rumah. Bicarakan, namun hati-hati jangan â€oemenumpahkan― emosi atau tekanan.


- Setiap orang perlu waktu untuk melakukan penyesuaian. Seorang wartawan yang kembali dari penugasan pernah
mengatakan: â€oeKetika Anda berada di tempat yang jauh, maka anda ingin pulang ke rumah – kadangkadang dengan
memikirkannya membuat anda terhibur – anda membayangkan sambutan, wajah-wajah yang penuh senyum, ketenangan
dan berada di rumah.―


- Tetapi orang yang di rumah berkomentar: â€oeKetika dia jauh, saya bisa melakukan semua, pekerjaan rumah tangga, anakanak
dan pekerjaan saya. Jadi ketika ia pulang, saya ingin ia kembali bekerja, mau ke luar rumah, dan tidak cuma
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--,
bengong di rumah.―


- Anda tidak dapat selalu berada di sana untuk peristiwa-peristiwa khusus dalam kehidupan anak-anak. Ketika Anda
kembali, sediakan waktu untuk melakukan hal-hal yang normal bersama.


- Setelah melakukan perjalanan yang menegangkan, rekan kerja dengan para keluarga perlu untuk berkumpul kembali.
Biarkan mereka melakukannya. Mungkin ingin membuat mereka tahu bahwa pihak manajemen sangat memahami
transisi yang penuh tantangan ini.


- Jika orang-orang perlu lebih banyak dukungan atau nasehat yang rinci, ada konselor yang terlatih yang dapat
membantu. Redaktur dapat mempertimbangkan untuk menawarkan jasa konselor yang bisa dihubungi.


Apabila Sedang Di Rumah


- Anda bisa merasa kesepian. Jangan ragu untuk meminta bantuan dari keluarga dan sahabat. Jelaskan bahwa Anda
baik-baik saja.


- Bicara dengan yang lain dengan situasi yang mirip – barangkali dengan bantuan perusahaan. Berbicara dengan orang
yang senasib dapat membuat perbedaan.

- Jangan ragu-ragu untuk menelpon tempat kerja mitra Anda untuk mendapatkan informasi atau dukungan.

Sejumlah saran umum maupun operasional di atas tentu ada yang bisa dijalankan oleh wartawan di Indonesia selain
ada beberapa yang mungkin masih sulit diterapkan karena berbagai faktor. Namun, agar kehidupan Anda sebagai
jurnalis dan sebagai individu bisa berjalan dengan meminimalkan dampak akibat Anda meliput bencana, ingatlah prinsip
pertama: bahwa stres pasca trauma adalah alamiah, setiap orang bisa mengalaminya, termasuk wartawan. Tak perlu
menganggap diri Anda paling siap meliput bencana hanya karena telah beberapa kali meliput peristiwa serupa.
Tumpukan gejala gangguan psikologis pascatrauma yang tidak disadari, suatu saat justru bisa menjadi masalah besar.
Semoga bermanfaat. *



Sumber gambar :
1. http://www.istockphoto.com
2. http://www.usmilitary.com
http://search.yahoo.com/search?p=gangguan+psikologis&ei=UTF-8&type=bWljX2RLlZPm3YF 1eb-NHeQwqsdlmetVteyrXzIuNS42Kmluc18yMDEwMDEqY3R4X2M%3D&fr=flo2&Exdaisrgi:s 1=30/&Japnsutaarrti= 210&1b0=11&xa=H5rWO9TKTYMeXf.ftWwJ7g--

“KESULITAN MAKAN PADA PENYANDANG AUTIS”

Dr Widodo Judarwanto SpA

KORESPONDENSI DAN KOMUNIKASI
telp : (021) 70081995 – 4264126 – 31922005
email : wido25@hotmail.com , http://kesulitanmakan.bravehost.com


| Home | Kontak Kami | Artikel lainnya |






ABSTRAK
Jumlah penyandang Autis semakin meningkat pesat dalam dekade terakhir ini. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan penyandang yang ditemukan terkena Autis akan semakin besar. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, interaksi sosial dan gangguan persepsi sensoris.
Beberapa gangguan Autis seringkali melibatkan gangguan neuroanatomis dan neurofungsional tubuh. Bila gangguan tersebut melibatkan gangguan neurofungsional tubuh salah satu yang terganggu adalah kemampuan koordinasi motorik oral seperti mengunyah dan menelan. Dalam keadaan demikian proses makan pada penyandang akan terganggu sehingga akan mengalami kesulitan makan. Faktor penyebab lainnya adalah karena gangguan nafsu makan. Gangguan neurofungsional dan gangguan nafsu makan tersebut sangat berkaitan dengan gangguan saluran cerna yang di alami penyandang Autis. Pendekatan diet eliminasi provokasi makanan adalah cara yang ideal untuk mencari penyebab gangguan saluran cerna tersebut. Gangguan saluran cerna penyandang Autis dapat disebabkan karena alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten (celiac) atau reaksi simpang makanan lainnya.
Penanganan kesulitan makan pada penyandang Autis harus dilakukan dengan optimal, untuk mencegah komplikasi gangguan tumbuh dan berkembangnya. Perbaikan saluran cerna sebagai salah satu cara penanganan masalah kesulitan makan sekaligus akan memperbaiki gangguan perilaku lainnya pada penyandang Autis.


PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Optimalisasi tumbuh dan kembang khususnya penyandang Autis adalah menjadi prioritas utama,. Salah satu masalah yang sering dialami penyandang autis adalah kesulitan pemberian makan pada anak yang dapat mengakibatkan berbagai komplikasi.
Tumbuh dan berkembangnya anak yang optimal tergantung dari beberapa hal, diantaranya adalah pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan kebutuhan. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan karena faktor kesulitan makan pada anak.
Pemberian makan pada anak memang sering menjadi masalah buat orangtua atau pengasuh pada penyandang Autis. Keluhan tersebut sering dikeluhkan orang tua kepada dokter yang merawat anaknya. Lama kelamaan hal ini dianggap biasa, sehingga akhirnya timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya. Padahal penyandang Autis sudah mempunyai kendala dalam tahap perkembangannya. Salah satu keterlambatan penanganan masalah tersebut adalah pemberian vitamin tanpa mencari penyebabnya sehingga kesulitan makan tersebut terjadi berkepanjangan. Akhirnya orang tua berpindah-pindah dokter dan berganti-ganti vitamin tapi tampak anak kesulitan makannya tidak membaik. Dengan penanganan kesulitan makan pada penyandang autis secara optimal diharapkan dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Sehingga dapat meningkatkan kualitas penyandang Autis.
Kesulitan makan bukanlah diagnosis atau penyakit, tetapi merupakan gejala atau tanda adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang sedang terjadi pada tubuh anak. Pengertian kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap dipencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu. Gejala kesulitan makan pada anak (1). Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya bisa makanan lunak atau cair, (2) Memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulut anak, (3).Makan berlama-lama dan memainkan makanan, (4) Sama sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat, (5) Memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua, (6). Tidak menyukai banyak variasi makanan dan (7), Kebiasaan makan yang aneh dan ganjil.

PENYEBAB
Penyebab kesulitan makanan itu sangatlah banyak dan luas, semua gangguan fungsi organ tubuh dan penyakit bisa berupa adanya kelainan fisik, maupun psikis dapat dianggap sebagai penyebab.. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir dan infeksi didapat dalam usia anak. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir atau infeksi didapat. Pada penyandang Autis tampaknya gangguan saluran cerna merupakan penyebab yang paling sering yang mengakibatkan terjadinya kesulitan makan.
Secara umum penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi lebih dari 1 faktor. Pada penyandang Autis penyebab paling sering yang terjadi adalah gangguan nafsu makan dan gangguan proses makan.

GANGGUAN NAFSU MAKAN
Gangguan nafsu makan tampaknya merupakan penyebab utama masalah kesulitan makan pada anak. Pengaruh nafsu makan ini bisa mulai dari yang ringan (berkurang nafsu makan) hingga berat (tidak ada nafsu makan). Tampilan gangguan nafsu makan yang ringan berupa minum susu botol sering sisa, waktu minum ASI berkurang (sebelumnya 20 menit menjadi 10 menit), makan hanya sedikit atau mengeluarkan, menyembur-nyemburkan makanan atau menahan makanan di mulut terlalu lama. Sedangkan gangguan yang lebih berat tampak anak menutup rapat mulutnya, menepis suapan orang tua atau tidak mau makan dan minum sama sekali. Gangguan nafsu makan pada penyandang Autis sering diakIbatkan karena gangguan saluran cerna seperti alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten dan sebaginya. Gangguan utama gangguan saluran cerna pada penyandang Autis berupa gangguan permeabilitias saluran cerna yang sering disebut leaky gut.
Gangguan pencernaan tersebut kadang tampak ringan seperti tidak ada gangguan. Tampak anak sering mudah mual atau muntah bila batuk, menangis atau berlari. Sering nyeri perut sesaat dan bersifat hilang timbul, bila tidur sering dalam posisi ”nungging” atau perut diganjal bantal Sulit buang air besar (bila buang air besar ”ngeden”, tidak setiap hari buang air besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja berwarna hitam atau hijau dan baunya sangat menyengat, berbentuk keras, bulat (seperti kotoran kambing), pernah ada riwayat berak darah. . Lidah tampak kotor, berwarna putih serta air liur bertambah banyak atau mulut berbau.
Keadaan ini sering disertai gangguan tidur malam. Gangguan tidur malam tersebut seperti malam sering rewel, kolik, tiba-tiba terbangun, mengigau atau menjerit, tidur bolak balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Saat tidur malam timbul gerakan brushing atau beradu gigi sehingga menimbulkan bunyi gemeretak.
Biasanya disertai gangguan kulit : timbal bintik-bintik kemerahan seperti digigit nyamuk atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di bagian badan lainnya dan sebagainya. Kulit di bagian tangan dan kaki tampak kering dan kusam
Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa oleh orang tua bahkan banyak dokter atau klinisi karena sering terjadi pada anak. Padahal bila di amati secara cermat tanda dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang mungkin berkaitan dengan kesulitan makan pada anak.

GANGGUAN PROSES MAKAN DI MULUT
Proses makan terjadi mulai dari memasukkan makan dimulut, mengunyah dan menelan. Ketrampilan dan kemampuan koordinasi pergerakan motorik kasar di sekitar mulut sangat berperanan dalam proses makan tersebut. Pergerakan morik tersebut berupa koordinasi gerakan menggigit, mengunyah dan menelan dilakukan oleh otot di rahang atas dan bawah, bibir, lidah dan banyak otot lainnya di sekitar mulut. Gangguan proses makan di mulut tersebut seringkali berupa gangguan mengunyah makanan.
Tampilan klinis gangguan mengunyah adalah keterlambatan makanan kasar tidak bisa makan nasi tim saat usia 9 bulan, belum bisa makan nasi saat usia 1 tahun, tidak bisa makan daging sapi (empal) atau sayur berserat seperti kangkung. Bila anak sedang muntah dan akan terlihat tumpahannya terdapat bentukan nasi yang masih utuh. Hal ini menunjukkan bahwa proses mengunyah nasi tersebut tidak sempurna. Tetapi kemampuan untuk makan bahan makanan yang keras seperti krupuk atau biskuit tidak terganggu, karena hanya memerlukan beberapa kunyahan. Gangguan koordinasi motorik mulut ini juga mengakibatkani kejadian tergigit sendiri bagian bibir atau lidah secara tidak sengaja.
Kelainan lain yang berkaitan dengan koordinasi motorik mulut adalah keterlambatan bicara dan gangguan bicara (cedal, gagap, bicara terlalu cepat sehingga sulit dimengerti). Gangguan motorik proses makan ini biasanya disertai oleh gangguan keseimbangan dan motorik lainnya. Gangguan ini berupa tidak mengalami proses perkembangan normal duduk, merangkak dan berdiri. Terlambat bolak-balik (normal usia 4 bulan), terlambat duduk merangkak (normal 6-8 bulan) atau tidak merangkak tetapi langsung berjalan, keterlambatan kemampuan mengayuh sepeda (normal usia 2,5 tahun), jalan jinjit, duduk bersimpuh leter “W”. Bila berjalan selalu cepat, terburu-buru seperti berlari, sering jatuh atau menabrak, sehingga sering terlambat berjalan. Ciri lainnya biasanya disertai gejala anak tidak bisa diam, mulai dari overaktif hingga hiperaktif. Mudah marah serta sulit berkonsentrasi, gampang bosan dan selalu terburu-buru.
Gangguan saluran pencernaan tampaknya merupakan faktor penyebab terpenting dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan teori ”Gut Brain Axis”. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut.

GANGGUAN PSIKOLOGIS
Gangguan psikologis dahulu dianggap sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak. Tampaknya hal ini terjadi karena dahulu kalau kita kesulitan dalam menemukan penyebab kesulitan makan pada anak. Gangguan psikologis dianggap sebagai diagnosis keranjang sampah untuk mencari penyebab kesulitan makan pada anak. Untuk memastikan gangguan psikologis sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak harus dipastikan tidak adanya kelainan organik pada anak. Kemungkinan lain yang sering terjadi, gangguan psikologis memperberat masalah kesulitan makan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Gangguan pskologis bisa dianggap sebagai penyebab bila kesulitan makan itu waktunya bersamaan dengan masalah psikologis yang dihadapi. Bila faktor psikologis tersebut membaik maka gangguan kesulitan makanpun akan membaik. Untuk memastikannya kadang sulit, karena dibutuhkan pengamatan yang cermat dari dekat dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Karenanya hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang tua bekerjasama dengan psikater atau psikolog.
Beberapa aspek psikologis dalam hubungan keluarga, baik antara anak dengan orang tua, antara ayah dan ibu atau hubungan antara anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Misalnya bila hubungan antara orang tua yang tidak harmonis, hubungan antara anggota keluarga lainnya tidak baik atau suasana keluarga yang penuh pertentangan, permusuhan atau emosi yang tinggi akan mengakibatkan anak mengalami ketakutan, kecemasan, tidak bahagia, sedih atau depresi. Hal itu mengakibatkan anak tidak aman dan nyaman sehingga bisa membuat anak menarik diri dari kegiatan atau lingkungan keluarga termasuk aktifitas makannya

KOMPLIKASI KESULITAN MAKAN
Peristiwa kesulitan makan yang terjadi pada penyandang Autis biasanya berlangsung lama. Komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori, protein, vitamin, mineral, elektrolit dan anemia (kurang darah).
Kekurangan kalori dan protein yang terjadi tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan atau gagal tumbuh. Tampilan klinisnya adalah terjadi gangguan dalam peningkatan berat badan. Bahkan terjadi kecenderungan berat badan tetap dalam keadaan yang cukup lama. Dalam keadaan normal anak usia di atas 2 tahun seharusnya terjadi peningkatan berat badan 2 kilogram dalam setahun.
Defisiensi zat gizi ini ternyata juga akan memperberat masalah gangguan metabolisme dan gangguan fungsi tubuh lainnya yang sudah terjadi pada penyandang Autis. Keadaan ini tentunya akan menghambat beberapa upaya penanganan dan terapi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Tabel 1. Penyakit akibat kekurangan vitamin dengan gejala dan tanda klinis :

NAMA PENYAKIT KEKURANGAN/ DEFISIENSI GEJALA DAN TANDA KLINIS
1 Buta senja (xeroftalmia) Vitamin A Mata kabur atau buta
2 Beri-beri Vitamin B1 Badan bengkak, tampak rewel, gelisah, pembesaran jantung kanan
3 Ariboflavinosis Vitamin B2 Retak pada sudut mulut, lidah merah jambu dan licin
4 Defisiensi B6 Vitamin B6 Cengeng, mudah kaget, kejang, anemia (kurang darah), luka di mulut
5 Defisiensi Niasin Niasin Gejala 3 D (dermatitis /gangguan kulit, diare, deementia), Nafsu makan menurun, sakit di ldah dan mulut, insominia, diare, rasa bingung.
6 Defisiensi Asam folat Asam folat Anemia, diare
7 Defisiensi B12 Vitamin B12 Anemia, sel darah membesar, lidah halus dan mengkilap, rasa mual, muntah, diare, konstipasi.
8 Defisiensi C Vitamin C Cengeng, mudah mara, nyeri tungkai bawah, pseudoparalisis (lemah) tungkai bawah, perdarahan kulit
9 Rakitis dan Osteomalasia Vitamin D Pembekakan persendian tulang, deformitas tulang, pertumbuhan gigi melambat, hipotoni, anemia
10 Defisiensi K Vitamin K Perdarahan, berak darah, perdarahan hidung dsb



Tabel 2. Penyakit akibat kekurangan mineral dan elektrolit dengan gejala dan tanda klinis:
Nama penyakit Kekurangan/
Defisiensi Gejala dan tanda klinis
1 Anemia Defisiensi Besi Zat besi pucat, lemah, rewel
2 Defisiensi Seng Seng Mudah terserang penyakit, pertumbuhan lambat, nafsu makan berkurang, dermatitis
3 Defisiensi tembaga tembaga Pertumbuhan otak terganggu, rambut jarana dan mudah patah, kerusakan pembuluh darah nadi, kelainan tulang
4 Hipokalemi kalium Lemah otot, gangguan jantung
5 Defisiensi klor klor Rasa lemah, cengeng
6 Defisiensi Fluor Fluor Resiko karies dentis (kerusakan gigi)
7 Defisiensi krom krom Pertumbuhan kurang, sindroma like diabetes melitus
8 Hipomagnesemia magnesium Defisiensi hormon paratiroid
9 Defisiensi Fosfor Fosfor Nafsu makan menurun, lemas
10 Defisiensi Iodium Iodium Pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsI mental, perkembangan fisik

PENANGANAN KESULITAN MAKAN PADA penyandang AUTIS
Pendekatan dan penanganan terbaik pada kasus kesulitan makan pada penyandang autis bukanlah hanya dengan pemberian vitamin nafsu makan, tetapi harus dilakukan pendekatan yang cermat, teliti dan terpadu. Pemberian vitamin nafsu makan hanya akan mengaburkan penyebab Kesulitan makan tersebut. Sering terjadi orang tua dalam menghadapi masalah kesulitan makan pada anaknya telah berganti-ganti dokter dan telah mencoba berbagai vitamin tetapi tidak kunjung membaik.
Beberapa langkah yang dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada anak yang harus dilakukan adalah : (1). Pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan makan (2) Cari penyebab kesulitan makanan pada anak, (3). Identifikasi adakah komplikasi yang terjadi, (4) Pemberian pengobatan terhadap penyebab, (5). Bila penyebabnya gangguan saluran cerna (seperti alergi, intoleransi atau coeliac), hindari makanan tertentu yang menjadi penyebab gangguan.
Bila terdapat kesulitan makan yang berkepanjangan lebih dari 2 minggu sebaiknya harus segera berkonsultasi dengan dokter keluarga atau dokter anak yang biasa merawat. Dengan penanganan awal namun kesulitan makan tidak membaik hingga lebih 1 bulan disertai dengan gangguan kenaikkan berat badan dan belum bisa dipastikan penyebabnnya maka sebaiknya dilakukan penanganan beberapa disiplin ilmu. Koordinator penanganannya adalah dokter anak atau dokter tumbuh kembang anak. Dokter anak yang merawat harus mengkonsultasikan ke dokter spesialis anak dengan minat subspesialis tertentu untuk menyingkirkan kelainan organik atau medis sebagai penyebab kesulitan makan tersebut. Bila dicurigai adanya latar belakang psikologis maka kelainan makan tersebut harus dikonsultasikan pada psikiater atau pskolog anak.
Penanganan kesulitan makan yang paling baik adalah dengan mengobati atau menangani penyebab tersebut secara langsung. Mengingat penyebabnya demikian luas dan kompleks bila perlu hal tersebut harus ditangani oleh beberapa disiplin ilmu tertentu yang berkaitan dengan kelainannya. Bila dalam waktu satu bulan kesulitan makan tidak kunjung membaik disertai penurunan atau tidak meningkatnya berat badan dan belum ditemukan penyebabnya kita harus waspada. Sebelum menjadi lebih berat dan timbal komplikasi yang lebih berat maka bila perlu dalam penanganan kesulitan makan tersebut harus melibatkan berbagai disilpin ilmu kedokteran. Dokter spesialis dengan peminatan tertentu yang sering berkaitan dengan hal ini adalah : Dokter Spesialis Anak minat gizi anak, tumbuh kembang anak, alergi anak, neurologi anak atau psikiater anak, psikolog anak, Rehabilitasi Medis, dan beberapa subspesialis lainnya. Bila masalah gangguan pencernaan cukup menonjol maka sebaiknya berkonsultasi dengan dokter spesialis anak gastroenterologi, bila masalah alergi yang dominan maka konsultasi ke dokter alergi anak demikian seterusnya.
Penyebab kesulitan makanan demikian kompleks dan luas, kadang penyebabnya lebih dari satu bahkan satu sama lain saling mempengaruhi dan memberatkan. Sehingga sering terjadi kebingungan pada orang tua, karena beberapa diagnosis dan penanganannya sangat berbeda atau bertentangan antara dokter satu dengan lainnya. Perbedaan ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara dokter yang merawat atau mungkin juga sering terjadi penanganan penyakit anak yang ditangani secara sepotong-sepotong. Paling ideal dalam menangani kasus seperti ini adalah dengan cara holistik, dimana semua yang dicurigai sebagai penyebab dicari dan ditangani secara tuntas secara bersamaan. Dokter yang harus merawat melakukan komunikasi satu sama lainnya, baik melalui rekam medis (catatan penyandang) atau hubungan langsung.
Gangguan pencernaan kronis pada penyandang Autis tampaknya sebagai penyebab paling penting dalam kesulitan makan. Gangguan saluran cerna kronis yang terjadi adalah imaturitas saluran cerna, alergi makanan, intoleransi makanan, penyakit coeliac dan gangguan reaksi simpang makanan lainnya. Sebagian besar kelainan reaksi simpang makanan tersebut terjadi karena adanya jenis makanan yang mengganggu saluran cerna anak sehingga menimbulkan kesulitan makan. Berkaitan dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan terkini yang cukup inovatif.
Penelitian yang dilakukan di Picky Eater Clinic Jakarta, dengan melakukan pendekatan diet pada 218 anak dengan kesulitan makan. Pendeketan diet adalah dengan cara penghindaran makanan yang berpotensi mengakibatkan reaksi simpang makanan. Setelah dilakukan penghindaran makanan selama 3 minggu, tampak perbaikan kesulitan makan sejumlah 78% pada minggu pertama, 92% pada minggu ke dua dan 96% pada minggu ketiga. Gangguan saluran cerna juga tampak membaik sekitar 84% dan 94% penyandang antara minggu pertama dan ketiga. Tetapi perbaikan gangguan mengunyah dan menelan hanya bisa diperbaiki sekitar 30%. Pendekatan diet mungkin dapat digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis gangguan saluran cerna yang ada, tanpa harus menggunakan pemeriksaan laboratorium yang mahal dan invasif.m Perbaikkan yang terjadi pada gangguan kesulitan makan, gangguan saluran cerna tersebut ternyata juga diikuti oleh perbaikkan pada gangguan perilaku yang menyertai seperti gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi dan sebagainya. Demikian pula pada penyandang Aiutis, pendekatan penanganan tersebut selain memperbaiki permasalahan makan yang dihadapi diharapkan sekaligus ikut memperbaiki beberapa gangguan perilaku yang terjadi.
Penanganan dalam segi neuromotorik dapat melalui pencapaian tingkat kesadaran yang optimal dengan stimulasi sistem multisensoris, stimulasi kontrol gerak oral dan refleks menelan, teknik khusus untuk posisi yang baik. Penggunaan sikat gigi listrik kadang membantu msnstimulasi sensoris otot di daerah mulut. Tindakan yang tampaknya dapat membantu adalah melatih koordinasi gerakan otot mulut adalah dengan membiasakan minum dengan memakai sedotan, latihan senam gerakan otot mulut, latihan meniup balon atau harmonika. Terapi okupasi yang diberikan pada penyandang Autis yang berkaitan dengan perbaikkan koordinasi motorik mulut juga akan membantu sekaligus mengatasi problem kesulitan makan.
Pemberian vitamin tertentu sering dilakukan oleh orang tua atau dokter pada kasus kesulitan makan pada anak. Tindakan ini bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, bila tidak disertai dengan mencari penyebabnya. Kadangkala pemberian vitamin justru menutupi penyebab gangguan tersebut, kalau penyebabnya tidak tertangani tuntas maka keluhan tersebut terus berulang. Bila penyebabnya tidak segera terdeteksi maka anak akan tergantung dengan pemberian vitamin tersebut, padahal bila kita tidak waspada terdapat beberapa akibat dari pemberian obat-obatan dan vitamin dalam jangka waktu yang lama.
Selain mengatasi penyebab kesulitan makan sesuai dengan penyebab, harus ditunjang dengan cara pemberian makan yang sesuai untuk anak. Pemberian makanan yang berserat seperti sayur kangkung, bayam, atau sawi harus disajikan dalam bentuk yang lebih halus. Misalnya, harus diblender atau dipotong kecil dan halus. Pilihan lain dicari alternatif sayur yang mudah dikunyah seperti wortel atau kentang. Demikian juga dengan pemberian makanan daging sapi atau empal harus berupa bakso, perkedel atau daging yang tidak berserat. Bila kesulitan dalam makan nasi sebaiknya dibuat nasi yang lebih lembek atau kalau perlu bubur.
Anak dengan gangguan makan, kebiasaan dan perilaku makannya berbeda dengan anak yang sehat lainnya. Keadaan ini biasanya terjadi jangka panjang, pada beberapa kasus seperti alergi makanan keadaan akan membaik setelah usia setelah usia 5-7 tahun. Pada kasus penyakit coeliac atau intoleransi makanan terjadi dalam waktu yang lebih lama bahkan tidak sedikit yang terjadi hingga dewasa.

PENUTUP
Faktor utama penyebab kesulitan makan pada penyandang Autis adalah gangguan proses koordinasi motorik mulut (gangguan mengunyah dan menelan) dan gangguan nafsu makan. Gangguan tersebut sangat berkaitan dengan gangguan saluran cerna yang dialami penyandang Autis. Pendekatan diet eliminasi provokasi makanan adalah cara yang ideal untuk mencari penyebab sekaligus penanganan gangguan saluran cerna tersebut. Gangguan saluran cerna penyandang Autis dapat disebabkan karena alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten (celiac) atau reaksi simpang makanan lainnya.
Penanganan kesulitan makan pada penyandang Autis harus dilakukan sejak dini secara optimal. Sehingga dapat dicegah komplikasi kesulitan makan dan gangguan tumbuh kembang lainnya. Perbaikan saluran cerna sebagai salah satu cara penanganan masalah kesulitan makan sekaligus akan memperbaiki gangguan perilaku yang terjadi pada penyandang Autis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.
2. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13 (Suppl 2): 17.
3. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.
4. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May 26; 318(21): 1390-2.
5. Agus Firmansyah.Aspek. Gastroenterology problem makan pada bayi dan anak. Pediatric Nutrition Update, 2003.
6. Berg, Frances., ed. Afraid to Eat: Children and Teens in Weight Crisis. Hettinger, ND: Healthy Weight Institute, 402 S. 14th St., Hettinger, ND 58639, 1996.
7. Hirschmann, Jane R., CSW, and Zaphiropoulos, Lela, CSW. Preventing Childhood Eating Problems: A Practical, Positive Approach to Raising Children Free of Food & Weight Conflicts Carlsbad, CA: Gürze Books, 1993
8. Kubersky, Rachel. Everything You Need to Know about Eating Disorders New York: Rosen Publishing Group, 1992.
9. Levine, Michael, PhD, and Hill, Laura, PhD. A 5-Day Lesson Plan on Eating Disorders: Grades 7-12 Tulsa, OK: NEDO, 1996.
Maine, Margo, PhD. Father Hunger: Fathers, Daughters, & Food Carlsbad, CA: Gürze Books, 1991.
10. Judarwanto Widodo, Kesulitan makan pada penyandang alergi dengan gastroenteropati Atopi. (tidak dipublikasikan).
11. Soepardi Soedibyo, Sri Nasar. Feeding problem from nutrition perspective.Pediatric nutrition update,2003.
12. Bryant-Waugh R., Lask B. Eating Disorders in Children. Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines 36 (3), 191-202, 1995.
13. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
14. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.



PENDAHULUAN
Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihandari susunan saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Sedangkan depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

ETIOLOGI
Penyebab gangguan ini kurang jelas. Gejala muncul biasanya disebabkan interaksi dari aspek-aspek biopsikososial termasuk genetik dengan beberapa situasi, stres atau trauma yang merupakan stressor muneulnya gejala ini. Di sistem saraf pusat beberapa mediator utama dari gejala ini adalah. norepinephrine dan serotonin. Sebenarnya anxietas diperantarai oleh suatu system kompleks yang melibatkan system limbic, thalamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada sistem neurokimia, yang mana hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut menimbulkan anxietas. Begitu pula pada depresi walapun penyebabnya tidak dapat dipastikan namun biasanya ditemukan defisensi relatif salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter (noeadranaline, serotonin, dopamine) pada sinaps neuron di susunan saraf pusat khususnya sistem limbic
DIAGNOSISBerdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah sebagai berikut:
• Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
• Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
• Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.

GAMBARAN KLINIS
Ansietas dan gangguannya dapat menampilkan diri dalam berbagai tanda dan gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan, rasa goyah, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, napas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing. Rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia, libido turun, rasa mengganjal di tenggorok, rasa mual di perut dan sebagainya.Gejala utama dari depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) serta menurunnya aktivitas. Beberapa gejala lainnya dari depresi adalah:
• konsentrasi dan perhatian berkurang;
• harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
• gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
• pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
• gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
• tidur terganggu;
• nafsu makan berkurang.
Untuk gangguan campuran anxietas dan depresi, kedua gejala baik gejala anxietas maupun gejala depresi tetap ada namun kedua-duanya tidak menunjukkan gejala yang cukup berat atau lebih menonjol antara satu dengan lainnya. 3,4,6,7

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding gangguan campuran anxietas dan depresi hampir semua kondisi medis yang menyebabkan kecemasan. Mengingat keadaan cemas biasanya disertai dan diikuti dengan gejala depresi. Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dari gejala apakah sementara atau menetap. Pada gangguan cemas lainnya biasanya depresi adalah bentuk akhir bila penderita tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada cemas menyeluruh depresi biasanya bersifat sementara dan lebih ringan gejalanya dibanding anxietas, gangguan penyesuaian memiliki gejala yang jelas berkaitan erat dengan stres kehidupan.
TERAPI
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu bagi klinisi yang terlibat, terlepas dari apakah klinisi adalah seorang dokter psikiatrik, seorang dokter keluarga, atau spesialis lainnya.
Psikoterapi
Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan umum adalah kognitif-perilaku, suportif, dan berorientasi-tilikan. Data masih terbatas tentang manfaat relatif dari pendekatan-pendekatan tersebut, walaupun penelitian yang paling canggih telah dilakukan dengan teknik kognitif-perilaku, yang tampaknya memiliki kemanjuran jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi kognitif pasien yang dihipotesiskan, dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan kognitif dan perilaku adalah lebih efektif dibandingkan teknik tersebut jika digunakan sendiri-sendiri. Tetapi suportif menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien, walaupun manfaat jangka panjangnya adalah meragukan. Psikoterapi berorientasi-tilikan memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan mengenali kekuatan ego. Manfaat psikoterapi berorientasi-tilikan untuk gangguan kecemasan umum dilaporkan pada banyak kasus anekdotal, tetapi tidak terdapat penelitian besar yang terkendali.
Sebagian besar pasien mengalami kekenduran keeemasan yang jelas jika diberikan kesempatan untuk membicarakan kesulitannya dengan dokter yang prihatin dan simpatik. Jika klinisi menemukan situasi eksternal yang menyebabkan kecemasan, klinisi mungkin mampu — sendirian atau dengan bantuan pasien atau keluarganya — untuk mengubah lingkungan dan dengan demikian menurunkan tekanan yang penuh ketegangan. Penurunan gejala seringkali memungkinankan pasien untuk berfungsi secara efektif dalam pekerjaan dan hubungannya sehari-hari, yagn memberikan kesenangan dan pemuasan baru yang dengan sendirinya bersifat terapetik.
Pandangan psikoanalitik adalah bahwa dalam kasus tertentu kecemasan adalah suatu sinyal dari kekacauan bawah sadar yang memerlukan pemeriksaan. Kecemasan dapat normal, adaptif, maladaptif, terlalu kuat, atau terlalu iingan, tergantung pada keadaan. Kecemasan tampak dalam berbagai situasi selama peijalanan siklus hidup seseorang; pada banyak kasus, pengurangan gejala bukan merupakan tujuan tindakan yang paling tepat.
Bagi pasien yang secara psikologis bermaksud dan termotivasi untuk mengerti sumber kecemasannya, psikoterapi mungkin merupakan pengobatan terpilih. Tetapi psikodinamika bekerja dengan anggapan bahwa keeemasan mungkin meningkat pada pengobatan yang efektif. Tujuan pendekatan dinamika adalah untuk meningkatkan toleransi kecemasan pasien (didefmisikan sebagai kemampuan untuk mengalami kecemasan tanpa hares melampiaskannya), bukannya untuk menghilangkan kecemasan. Penelitian empiris menyatakan banyak pasien yang menjalani psikoterapetik secara berhasil mungkin terus mengalami kecemasan setelah dihentikannya psikoterapi. Tetapi, peningkatan penguasaan ego memungkinkan mereka untuk menggunakan gejala kecemasan sebagai sinyal untuk mencerminkan perjuangan hidup dan untuk meluaskan tilikan dan pengertian mereka. Suatu pendekatan psikodinamika pada pasien dengan gangguan kecemasan umum melibatkan pencarian rasa takut pasien yang mendasarinya.
Farmakoterapi
Keputusan untuk meresepkan suatu obat pada pasien dengan gangguan kecemasan campuran anxietas dan depresi hams jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang berlangsung lama, suatu rencana pengobatan hares dengan cermat dijelaskan. Dua golongan obat utama yang dipakai dalam pengobatan gangguan anxietas adalah Benzodiazepine dan Non-Benzodiazepine, dengan Benzodiazepine sebagai pilihan utama. Sedang untuk depresi dipakai golongan Trisiklik, Tetrasiklik, MAOI-reversible, SSRI, dan Atypical anti depresi. Dimana SSRI menjadi pilihan utama.
Benzodiazepine (Diazepam). Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mans pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzadiazepin dalam gangguan anxietas. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dapat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan, dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
Keputusan klinis untuk memulai terapi dengan benzodiazepin hares dipertimbangkan dan spesifik. Diagonosis pasien, gejala sasaran spesifik, dan lamanya pengobatan — semuanya hares ditentukan, dan harus diberikan informasi kepada pasien. Pengobatan untuk sebagian besar keadaan kecemasan berlangksung selama dua sampai enam minggu, diikuti oleh satu atau dua minggu menurunkan obat perlahan-lahan (tapering) sebelum akhirnya obat dihentikan. Kekeliruan klinis yang sering dengan terapi benzodiazepin adalah dengan memutuskan secara pasif untuk melanjutklan pengobatan atas dasar tanpa batas.
Untuk pengobatan kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah terapetiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respon terapetik. Pemakaian benzodiazepin dengan waktu paruh sedang (8 sampai 15 jam) kemungkinan menghindari beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis terbagi mencegah perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan benzodiazepin mungkin lebih dan sekedar efek antikecemasan. Sebagai contohnya, obat dapat menyebabkan pasien memandang berbagai kejadian dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi ringah, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol. Untuk diazepam sediaan tab. 2-5mg, ampul 10 mg/2cc dosis anjuran l0-30mg/hari 2-3xsehari, i.v./i.m 2-10mg /3-4 jam.
Non-Benzodiazepine (Buspirone). Buspirone kemungkinan besar efektif pada 60 sampai 80 persen pasien dengan gangguan cemas. Data menyatakan bahwa buspirone adalah lebih efektif dalam menurunkan gejala kognitif dari gangguan kecemasan umum dibandingkan dengan menurunkan gejala somatik. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien yang sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepin kemungkinan tidak berespon dengan pengobatan buspirone. Tidak adanya respons tersebut mungkin disebabkan oleh tidak adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepin (seperti relaksasi otot dan rasa kesehatan tambahan), yang terjadi pada terapi buspirone. Namun demikian, rasio manfaat-risiko yang lebih balk, tidak adanya efek kognitif dan psikomotor, dan tidak adanya gejala putus that menyebabkan buspirone merupakan obat lini pertama dalam pengobatan gangguan kecemasan umum. Kerugian utama dari buspirone adalah bahwa efeknya memerlukan dua sampai tiga minggu sebelum terlihat, berbeda dengan efek ansiolitik benzodiazepin yang hampir segera terlihat. Buspirone bukan merupakan terapi efektif untuk putus benzodiazepin. Sediaan tab. 10mg dosis anjuran 3×25mg/h.
Anti-Depresi. mekanisme kerja Obat Anti-depresi, adalahmenghambat “re-uptake aminergic neurotransmitter”, menghambat penghancuran oleh ensirn “Monoamine Oxidase” Sehingga terjadi peningkatan jurnlah “arninergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di SSP. Efek samping Obal Anti-depresi dapat berupa :
• Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif rnenurun, d11)
• Efek Antikolinergik (mulut keying, retensi urin, penglihatan kabur., konstipasi, sinus takikardia, dsb)
• Efek Anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
• Efek Nourotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi,insomnia)
Efek samping yang tidak berat biasanya berkurang setelah 2-3 minggu. SSRI dipilih mengingat efek samping yang ditimbulkan relatif lebih ringan.namun obat ini memiliki harga yang mahal oleh karenanya trisiklik masih sering digunakan. Contoh obat golongan ini adalah fluoxetine,sertraline,paroxetine,citalopram,fluvoxamine. 2.4.6,7,8
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Perjalanan klinis dan prognosis gangguan adalah sukar untuk diperkirakan. Namun demikian, beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.
KESIMPULAN
Gangguan campuran anxietas dan depresi adalah gangguan jiwa yang umum terjadi di masyarakat. Pada gangguan anxietas terdapat pembagian gangguan campuran dan depresi (F41.2) sebagai salah satu bentuk dan gangguan anxietas lainnya Anxietas adalah respon normal individu terhadap ancaman atau stresor. Bila anxietas menjadi begitu parah atau timbul tanpa diprovokasi oleh suatu keadaan tidak berbahaya, maka keadaan anxietas tersebut menjadi gangguan
Penyebab gangguan ini adalah tidak jelas. diperantarai oleh suatu system kompleks yang melibatkan system limbic,thalamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada system neurokimia, yang man hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut
Diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah terdapat gejala-¬gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dan gejala apakah sementara atau menetap.
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif.
Perjalanan klinis dan prognosis gangguan sukar untuk diperkirakan berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.
2. Tomb D. Buku Saku Psikiatri. Edisi Enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
3. WHO. PPDGJ III. Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993
4. Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. England: John Wiley& Sons Ltd; 2006
5. Kumar P, Clark M. Kumar&Clark Clinical Medicine. 5th ed. UK: WB Saunders; 2002
6. Yates R W. Anxiety Disorders. [online]. 2007 Aug 23 [cited 2008 Feb 18]; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic152.htm
7. Ravinder N Bhalla, MD. Depression. [online]. 2006 Oct 30 [cited 2008 Feb 181; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic532.htm
8. Kaplan H, Sadock B, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat Widya Medika, Jakarta, 1998
GANGGUAN PSIKIATRIK ANAK-ANAK DAN REMAJA
Posting oleh : Drs H.M.A.Razmy Humris,

E-mail : humris@yahoo.com

Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya kurang dari 20% (Keys, 1998). Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/ Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang paling banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara 6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar untuk memahami gangguan yang terjadi pada bayi, anak-anak, dan remaja adalah dengan menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
Gangguan spesifik dengan awitan pada masa kanak-kanak meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, gangguan perkembangan, gangguan eliminasi, gangguan perilaku disruptif, dan gangguan ansietas. Gangguan yang terjadi pada anak-anak dan juga terjadi pada masa dewasa adalah gangguan mood dan gangguan psikotik. Gejala-gejala gangguan jiwa pada anak-anak atau remaja berbeda dengan orang dewasa yang mengalami gangguan serupa.

Jenis Gangguan Jiwa Anak-anak

1. Gangguan perkembangan pervasif. Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.

2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar nak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi mencuri, berbohong, menggertak, melarikan diri, membolos, menyalahgunakan zat, melakukan pembakaran, bentuk vandalisme yang lain, jahat terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menunjukkan sikap menentang, seperti berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras, zat terlarang, atau keduanya).


3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa.
a. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
b. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.

4. Skizofrenia
a. Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas (Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik diri secara sosial, dan komunikasi.
b. Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.


5. Gangguan mood
a. Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1% sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi pada orang dewasa.
b. Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri, keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).


6. Gangguan penyalahgunaan zat.
a. Gangguan ini banyak terjadi; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat; misalnya, pada remaja penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan waktu antara 15 sampai 20 tahun.
b. Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya merupakan hal yag banyak terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku disruptif.
c. Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, diantaranya adalah penurunan fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku menjadi agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.

Etiologi Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
Tidak ada penyebab tunggal dalam gangguan mental pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi secara kompleks.

1. Faktor-faktor psikobiologik
a. Riwayat genetika keluarga, seperti retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas.
b. Abnormalitas struktur otak. Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan perubahan neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme, skizofrenia kanak-kanak, dan ADHD.
c. Pengaruh pranatal, seperti infeksi maternal, kurangnya perawata pranatal, dan ibu yang menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan abnormalitas perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada janin sangat signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan saraf lainnya.
d. Penyakit kronis atau kecacatan dapat menyebabkan kesulitan koping bagi anak.


2. Dinamika keluarga
a. Penganiayaan anak. Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal, perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri). Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori, kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan (Glod, 1998).
b. Disfungsi sistem keluarga (mis., kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya batasan antar generasi, dan perasaan terjebak) disertai dengan keterampilan koping yang tidak adekuat antaranggota keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua.


3. Faktor lingkungan
a. Kemiskinan.
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
b. Tunawisma.
Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah psikologis diantara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol (Townsend, 1999).
c. Budaya keluarga.
Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah psikologik.

Penatalaksanaan Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
1. Perawatan berbasis komunitas saat ini lebih banyak terdapat pada managed care.
a. Pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah perawatan pranatal awal, program intervensi dini bagi orang tua dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam membesarkan anak, dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
b. Pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. Metodenya meliputi konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan rujukan kesehatan jiwa komunitas, layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi traumatik, konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman sebaya.
c. Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu, terapi bermain, dan program pendidikan khusus untuk anak-anak yang tidak mampu berpartisipasi dalam sistem sekolah yang normal. Metode pengobatan perilaku pada umumnya digunakan untuk membantu anak dalam mengembangkan metode koping yang lebih adaptif.
d. Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga penting untuk membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan yang dapat meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.


2. Pengobatan berbasis rumah sakit
a. Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasana diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
b. Program hospitalisasi parsial juga tersedia, memberikan program sekolah di tempat (on-site) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak yang menderita penyakit jiwa.
c. Seklusi dan restrein untuk mengendalikan perilaku disruptif masi menjadi kontroversi. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat bersifat traumatik pada anak-anak dan tidak efektif untuk pembelajaran respon adaptif. Tindakan yang kurang restriktif meliputi istirahat (time-out), penahanan terapeutik, menghindari adu kekuatan, dan intervensi dini untuk mencegah memburuknya perilaku.


3. Farmakoterapi
Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan. Medikasi psikotropik digunakan dengan hati-hati pada klien anak-anak dan remaja karena memiliki efek samping yang beragam.
a. Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja memengaruhi jumlah dosis, respon klinis, dan efek samping dari medikasi psikotropik.
b. Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat memengaruhi hasil pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang tidak konsisten, terutama dengan antidepresan trisiklik.

Tinjauan Proses Keperawatan Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
1. Pengkajian
a. Kaji kembali riwayat klien untuk adanya jhal-hal yang mencetuskan stressor atau data yang signifikan, antara lain riwayat keluarga, peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres, hasil pemeriksaan kesehatan jiwa, riwayat masalah fisik dan psikologis serta pengobatannya.
b. Catat pola pertumbuhan dan perkembangan anak dan bandingkan dengan alat standar, seperti The Developmental Screening Test dan versi yang sudah direvisi (Wong, 1997).
c. Catat bukti pencapaian tugas perkembangan yang sesuai bagi anak atau remaja.
d. Lakukan pemeriksaan fisik pada anak atau remaja, catat data normal atau abnormal.
e. Kaji respon perilaku yang dapat mengindikasikan gangguan pada anak-anak atau remaja. Pastikan untuk mengkaji interaksi langsung, observasi permainan, dan interaksi dengan keluarga dan teman sebaya.
f. Identifikasi bukti gangguan kognitif.
g. Observasi adanya bukti-bukti gangguan mood.
h. Kaji kelebihan dan kelemahan sistem keluarga.


2. Diagnosis keperawatan
a. Analisis
b. Tetapkan diagnosis keperawatan bagi klien dan keluarga


3. Perencanaan dan identifikasi hasil
a. Bekerjasama dengan klien dan keluarga dalam menetapkan tujuan yang realistis
b. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, keluarga, atau keduanya.


4. Implementasi
a. Implementasi umum
• Bentuk rasa saling percaya
• Dengarkan secara aktif, tunjukkan perhatian dan dukungan
• Tingkatkan komunikasi yang jelas, jujur, dan langsung
• Tempatkan diri sebagai pihak yang netral, jangan memihak orang tua atau anak
• Dukung kelebihan klien dan keluarga
• Gunakan model kognitif untuk menjelaskan hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku
• Berpartisipasi dalam rencana pengobatan di unit rawat inap
• Perkuat secara positif perilaku yang dapat diterima
• Berpartisipasi dalam terapi bermain, biarkan anak mengekspresikan dirinya melalui permainan imajinatif
• Bekerjasama dengan keluarga klien, sekolah, dan tim kesehatan jiwa
• Anjurkan digunakannya kelompok pendukung masyarakat bagi klien dan keluarga
• Anjurkan pada keluarga tentang cara menjaga kesehatan emosi anak melalui penyuluhan klien dan keluarga
Penyuluhan keluarga dengan anak atau remaja yang menderita gangguan mental dapat dilakukan dengan memberikan informasi umum tentang gangguan tersebut, ajarkan pada orangtua tentang cara menjaga kesejahteraan emosi anak, dan beritahu orangtua tentang kelompok pendukung komunitas yang tersedia untuk masalah spesifik yang dialami anak atau keluarga.
b. Untuk anak atau remaja dengan gangguan perkembangan pervasif
• Ciptakan lingkungan yang aman, dan bantu orangtua untuk melakukannya juga di rumah
• Bantu orangtua mengurangi perasaan bersalah dan menyalahkan atas apa yang mereka alami
• Pertahankan konsistensi pengasuh anak di rumah sakit, sekolah, dan rumah
• Bantu orangtua dan saudara kandung anak dalam mengidentifikasi dan mendiskusikan perasaannya, berbagai hal dan masalah yang berkaitan dengan tinggal bersama anak yang menderita gangguan serius
• Alihkan perhatian anak bila ansietasnya meningkat dan perilakunya memburuk
• Berikan benda-benda yang dikenal anak
c. Untuk anak atau remaja dengan ADHD
• Berikan medikasi stimulan di pagi hari guna memaksimalkan efektivitasnya untuk kegiatan di siang hari
• Bantu keluarga menggunakan manipulasi lingkungan untuk mengurangi stimulus guna mengendalikan perilaku
• Bantu keluarga menyusun jadwal yang tetap untuk makan, tidur, bermain, dan mengerjakan tugas sekolah
• Bekerjasama dengan sekolah, keluarga, dan tim kesehatan jiwa untuk memastikan penempatan ruang kelas yang sesuai
d. Untuk anak atau remaja dengan gangguan perilaku atau gangguan penyimpangan oposisi
• Buat batasan-batasan yang tegas, jelas, dan konsisten tentang konsekuensi atas perilaku yang tidak dapat diterima
• Bantu orangtua menentukan dan mempertahankan batasan yang telah ditetapkan
• Berikan umpan balik positif atas perilaku yang baik
• Dorong klien mengekspresikan kemarahannya dengan sikap verbal yang tepat
• Gunakan latihan fisik dan aktivitas untuk membantu anak menyalurkan kelebihan energi yang muncul karena peningkatan ansietas atau kemarahan
• Catat tanda-tanda perburukan perilaku dan dan lakukan intervensi segera
e. Untuk anak atau remaja dengan gangguan ansietas
• Pertahankan sikap tenang bila klien dan orangtua mengalami peningkatan ansietas
• Ajarkan pada klien tindakan koping untuk mengatasi ansietas
• Gunakan strategi kognitif dalam mendiskusikan tentang ketakutan-ketakutan yang dirasakan klien, dengan mengemukakan realitas yang ada
• Bantu klien segera kembali ke sekolah dengan dukungan dari keluarga, bila terjadi ansietas akibat perpisahan
f. Untuk anak atau remaja dengan gangguan mood
• Ajarkan pada klien dan keluarganya tentang gangguan mood, penyebab, gejala, dan pengobatannya
• Fokuskan pada tindakan meningkatkan harga diri
• Gunakan tindakan kognitif dalam mengatasi perasaan dan pikiran negatif
• Pertahankan sikap yang penuh harapan
• Gunakan tindakan kewaspadaan terhadap bunuh diri bagi klien yang berisiko melakukannya
g. Untuk anak atau remaja dengan gangguan penyalahgunaan zat
• Ajarkan pada klien dan keluarganya tentang zat-zat tersebut dan dampaknya terhadap kesejahteraan fisik dan psikologis
• Anjurkan klien dan keluarganya untuk menghadiri kelompok swadaya, misalkan alcoholic anonymous
• Perkuat sikap penuh harapan bahwa klien dapat mencapai dan mempertahankan keadaan bersih tanpa penyalahgunaan
• Ajarkan tindakan koping untuk mengatasi perasaan dan situasi yang tidak nyaman

5. Evaluasi hasil
Perawat menggunakan kriteria hasil berikut ini untuk menentukan efektivitas intervensi keperawatan yang dilakukan.
a. Klien dan keluarganya menunjukkan perbaikan keterampilan koping
b. Klien mengendalikan perilaku impulsifnya
c. Klien menunjukkan stabilitas mood yang normal
d. Klien berpartisipasi dalam program penyuluhan sesuai kemampuan
e. Klien dan keluarganya berpartisipasi dalam program pengobatan dan menerima rujukan komunitas
f. klien berinteraksi secara sosial dengan kelompok teman sebaya

Daftar Pustaka :
Isaac, Ann. 2004. Panduan Belajar : Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Jakarta: EGC.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkah laku seseorang dipelajari sepanjang proses kehidupannya
ketika menghadapi krisis dan kecemasan akibat stressor. Menurut teori
keperawatan, sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentangan yang sangat
dinamis dari kehidupan seseorang.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa
mereka dimana sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari
makna hidup. Menyiapkan diri menjadi dewasa, karena menjadi dewasa
adalah sebuah pilihan, maka tentunya harus direkayasa atau disiapkan. Tidak
bisa dibiarkan alami. Karena memang menjadi dewasa dalam cara berpikir itu
bukan kebetulan, tapi merupakan pilihan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Jiwa”.
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Masa Dewasa.
3. Untuk lebih memahami tentang Asuhan Keperawatan Psikososial Pada
Masa Dewasa..
C. Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, ruang lingkup pembahasannya adalah
“Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Masa Dewasa”.
1
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode deskriptif
dan disesuaikan dengan literatur yang digunakan.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis terdiri dari 3 bab yaitu sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,
ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis, yang terdiri dari pengertian, masalah-masalah
kesehatan pada masa dewasa, masalah psikososial
BAB III : Asuhan keperawatan psikososial pada masa dewasa yang terdiri
dari pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi
BAB IV : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengetian
Masa ini sering disebut adult, masa dewasa, masa dimana usia sudah
berkisar ke angka di atas 21 tahun. Masa dewasa merupakan periode yang
penuh tantangan, penghargaan dan krisis. Selain itu masa dimana
mempersiapkan masa depan, penentu karier dan masa usia memasuki dunia
pekerjaan dan masa dunia perkarieran, masa mempersiapkan punya keturunan
dan masa usia matang, masa penentuan kehidupan, dan prestasi kerja di
masyarakat, masa merasa kuat dalam hal fisik, masa energik, masa kebal,
masa jaya dan masa merasakan hasil perjuangan .
Masa dewasa ditandai kemampuan produktif dan kemandirian.
Menurut Prof. Dr. A.E Sinolungan (1997), masa dewasa dapat di bagi dalam
beberapa fase yaitu:
1. Fase dewasa awal
Fase dewasa awal (20/21-24 tahun), seorang mulai bekarya dan
mulai melepaskan ketergantungan kepada orang lain. Tugas-tugas
perkembangan pada masa dewasa awal yaitu:
a. mereka mendapat pengawasan dari orang tua
b. mereka mulai mengembangkan persahabatan yang akrab dan
hubungan yang intim di luar
c. mereka membentuk seperangkat nilai pribadi
d. mereka mengembangkan rasa identitas pribadi
3
e. mereka mempersiapkan untuk kehidupan kerja
2. Fase Dewasa tengah
Fase dewasa tengah (25-40 tahun) ditandai sikap mantap memilih
teman hidup dan membangun keluarga. Dewasa tengah menggunakan
energy sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan konsep diri dan citra
tubuh terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik.
Harga diri yang tinggi, citra tubuh yang bagus dan sikap posiif terhadap
perubahn fisiologis muncul jika orang dewasa mengikuti latihan fisik diet
yang seimbang, tidur yang adekuat dan melakukan hygiene yang baik.
a. Teori-teori tentang masa dewasa tengah
1) Teori Erikson
Menurut teori perkembangan Erikson, tugas
perkembangan yang utama pada usia baya adalah mencapai
generatifitas (Erikson, 1982). Generatifitas adalah keinginan untuk
merawat dan membimbing orang lain. Dewasa tengah dapat
mencapai generatifitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan
dalam interaksi sosial dengan generasi berikutnya. Jika dewasa
tengah gagal mencapai generatifitas akan terjadi stagnasi. Hal ini
ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau
perilaku merusak anak-anaknya dan masyarakat.
4
2) Teori Havighurst
Teori perkembangan Havighurst telah diringkas
dalam tujuh perkembangan untuk orang dewasa tengah
(Havighurst, 1972). Tugas perkembangan tersebut meliputi:
a) Pencapaian tanggung jawab social orang dewasa
b) Menetapkan dan mempertahankan standar kehidupan
c) Membantu anak-anak remaja tanggung jawab dan bahagia
d) Mengembangkan aktivitas luang
e) Berhubungan dengan pasangannya sebagai individu
f) Menerima dan menyesuaikan perubahan fisiologis pada usia
pertengahan
g) Menyesuaikan diri dengan orang tua yang telah lansia.
b. Tahap-tahap perkembangan
1) Perkembangan fisiologis
Perubahan ini umumnya terjadi antara usia 40-65
tahun. Perubahan yang paling terlihat adalah rambut beruban, kulit
mulai mengerut dan pinggang membesar. Kebotakan biasanya
terjadi selama masa usia pertengahan, tetapi juga dapat terjadi pada
pria dewasa awal. Penurunan ketajaman penglihatan dan
pendengaran sering terlihat pada periode ini.
5
2) Perkembangan kognitif
Perubahan kognitif pada masa dewasa tengah jarang
terjadi kecuali karena sakit atau trauma. Dewasa tengah dapat
mempelajari keterampilan dan informasi baru. Beberapa dewasa
tengah mengikuti program pendidikan dan kejuruan untuk
mempersiapkan diri memasuki pasar kerja atau perubahan
pekerjaan.
3) Perkembangan psikosial
Perubahan psikososial pada masa dewasa tengah
dapat meliputi kejadian yang diharapkan, perpindahan anak dari
rumah, atau peristiwa perpisahan dalam pernikahan atau kematian
teman. Perubahan ini mungkin mengakibatkan stress yang dapat
mempengaruhi seluruh tingkat kesehatan dewasa.
3. Fase dewasa akhir
Fase dewasa akhir (41-50/55tahun) ditandai karya produktif,
sukses-sukses berprestasi dan puncak dalam karier. Sebagai patokan,
pada masa ini dapat dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang
sudah mantap.
Masalah-masalah yang mungkin timbul yaitu:
a. Menurunnya keadaan jasmaniah
b. Perubahan susunan keluarga
c. Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan baru dalam bidang
pekerjaan atau perbaikan kesehatan yang lalu
6
d. Penurunan fungsi tubuh
Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi
pegawai menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya
ada PPS ( Post Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat
kemudian tidak, rasanya ada perasaan down sindrom.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pengawasan tugas
perkembangan ini, individu mengalami PPS. Misalnya penghalangnya
adalah:
1. Tingkat perkembangan yang mundur
2. Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan
3. Tidak ada motivasi
4. Kesehatan yang buruk
5. Cacat tubuh
6. Tingkat kecerdasan yang rendah
7. Tingkat adaptasi yang jelek
8. Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi pegawai
menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya ada PPS
( Post Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat kemudian
tidak, rasanya ada perasaan down sindromAdanya penyakit kronis
Tingkat ketidakmampuan dan persepsi klien pada penyakit dan
ketidakmampuan menentukan sampai mana perubahan gaya hidup
akan terjadi.
9. Tingkat kesejahteraan
7
Perawat mengkaji status kesehatan pada klien dewasa tengah.
Pengkajian tersebut member arah untuk merencanakan asuhan
keperawatan dan berguna dalam mengevaluasi keefektifan intervensi
keperawatan.
10. Membentuk kebiasaan sehat yang positif
Kebiasaan adalah sikap atau perilaku seseorang yang biasa
dilakukan. Pola perilaku ini didorong oleh seringnya pengulangan
sehingga menjadi cara perilaku individu yang biasa.
B. Masalah-masalah psikososial
1. Ansietas
Ansietas adalah fenomena maturasi kritis yang berhubungan
dengan perubahan, konflik, dan penegndalian lingkungan yang
diterima (Haber at al, 1992).
2. Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang dimanifestasikan
dalam berbagai cara. Walaupun usia yang paling banyak mengalami
depresi adalah usia 24-25 tahun, tapi juga biasa terjadi pada usia
dewasa baya dan mungkin banyak memiliki penyebab (Haber at al,
1992).
Dengan memahami usia/ masa, tahapan hukum dengan ciri-ciri perilaku
di masing-masing tahapan perkembangan perawat sedini mungkin dapat
mendeteksi secara dini langkah/ upaya perawatan apa yang harus dilakukan
8
sesuai dengan masa tahapan perkembngan manusia. Bagi perawat pribadi
teori perkembangan manusia dapat dijadikan masukan pribadi berada pada
masa usia tahapan yang mana dirinya pada saat ini maupun pada saat yang
akan datang maupun waktu saat sekarang ini ada perilaku khusus yang yang
pernah dilalui.
Perawat perlu memahami, mempelajari teori-teori perkembangan
manusia atau individu karena tugas perawat dalam merawat individu tentunya
dari masa konsepsi yang dialami individu, kehamilan, lahir sampai sakaratul
maut.
Perkembangan manusia memiliki tahapan keluasan masa. Masa
kematangan sehingga dideteksi dini terhadap masa-masa tertentu
dihubungkan dengan teori
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
PADA MASA DEWASA
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui masalah keperawatan yang
terjadi pada klien secepat mungkin sesuai dengan keadaan klien. Pengkajian
9
dapat dilakukan dengan beberapa cara yakini ; wawancara, observasi dan
menuju dokumen medik.
Pengkajian ini dilakukan denagan melibatkan keluaraga sebagai orang
terdekat yang mengetahui tentang masalah kesehatan klien. Format pengkajian
yang digunakan adalah format pengkajan pada klien yang dikembangkan
sesuia dengan keberadaaan klien. Format pengkajian yang dikembangkan
minimal terdiri atas:
1. Data dasar
a. Identitas
b. Alamat
c. Usia
d. Pendidikan
e. Pekerjaan
f. Agama
g. Suku bangsa
2. Data biopsikososial spiritualkultural
3. Lingkungan
4. Status fungsional
5. Fasilitas penunjang kesehatan
6. Pemerikasaaan fisik
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan proses pikir berhubungan dengan ansietas
Tujuan: proses pikir pasien akan meningkat dengan terapi ansietas
10
2. Ketidak efektifan koping yang berhubungan dengan ansietas
Tujuan: pasien akan meningkatkan mekanisme koping untuk mengatasi
ansietas.
3. Konflik pengambilan keputusan berhubungan dengan ganti karier/
pengunduran diri
Tujuan: menghubungkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian
dari pilihan-pilihan, menceritakan ketakutan dan keprihatinan
mengenai pilihan-pilihan dan respons dari orang lain, dan membuat
sebuah pilihan yang diketahui/diberitahu.
4. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan ketakutan akan kegagalan
seksual
Tujuan: menceritakan kepedulian/ masalah mengenai fungsi seksual,
mengekspresikan peningkatan kepuasan dengan pola seksual,
mengidentifikasi stressor dalam kehidupan, melanjutkan aktivitas
seksual sebelumnya, dan melaporkan suatu keinginan untuk
melanjutkan aktivitas seksual.
C. Intervensi
Dx 1 & 2
1. Kaji pasien secara cermat untuk memastikan bahwa ansietas pasien bukan
gejala yang mendasari proses penyakit, seperti nyeri atau hipoksia
2. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya secara
verbal
11
3. Tanyakan pada pasien keterampilan koping yang biasa berhasil digunakan
untuk mengatasi stress sebelumnya
4. Berikan obat antiansietas sesuai program dan perhatikan efektifitasnya
5. Tanyakan pada pasien obat apa yang sedang digunakan. Gejala ansietas
dapat diakibatkan penggunaan obat-obatan, mencakup kafein, hormone
tiroid, aminofilin, obat antidiabetik oral, obat antiinflamasi nonsteroid,
steroid, glikosida jantung, dan inhibitor ambilan ulang serotonin selektif.
Lebih baik tanyakan pada dokter untuk mengganti dengan obat yang
menghasilkan lebih sedikit efek ansietas daripada menambah obat-obatan
lain hanya untuk mengatasi tanda dan gejala ansietas
6. Alkohol adalah cara yang biasa digunakan orang untuk pengobatan
ansietas, tetapi bukan cara yang baik tidak berbahaya. Pastiakn untuk
menanyakan pasien menegani kebiasaannya menggunakan alkohol-jenis
apa yang ia minum (bir, anggur, wiski), kira-kira berapa banyak dalam
sehari dan sudah berapa lama.
Dx 3
1. Menetapkan hubungan saling percaya dan berarti yang meningkatkan
saling pengertian dan perhatian.
2. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang logis
a. Bantu individu dalam mengenali apa masalah-masalahnya dan dengan
jelas mengidentifkasi keputusan yang harus dibuat
12
b. Gali apa resiko terhadap apa yang timbul dari tidak membuat
keputusan
c. Mintalah individu untuk membuat daftar dari semua alternatif atau
pilihan yang mungkin
d. Bantu mengidentifikasi kemungkinan hasil dari berbagai alternative
e. Bantu individu untuk menghadapi ketakutan
f. Benahi kesalahan informasi
g. Bantu dalam mengevaluasi alternatif-alternatif berdasarkan pada
ancaman potensial atau actual terhadap keyakinan/ nilai-nilai
h. Beri dorongan pada individu untuk membuat keputusan
3. Beri dorongan pada orang terdekat individu untuk terlibat dalam
keseluruhan proses pengambilan keputusan
4. Bantu individu dalam proses menggali nilai-nilai dan hubungan pribadi
yang mungkin mempunyai dampak pada pengambilan keputusan
5. Dukung individu dalam membuat keputusan yang diketahui meskipun
kebutuhan konflik dengan nilai-nilainya sendiri
a. Rundingkan pemuka agamanya sendiri
6. Dengan aktif yakinkan individu bahwa keputusan sepenuhnya ditangan
dia dan adalah menjadi haknya untuk melakukan demikian
7. Jangan biarkan orang lain untuk merusak rasa percaya individu dalam
pengambilan keputusannya sendiri
8. Kolaborasikan dengan keluarga untuk mengklarifikasi proses
pengambilan keputusan
13
Dx 4
1. Dapatkan riwayat seksual
a. Pola seksual biasanya
b. Kepuasan (individu, pasangan)
c. Penegtahuan seksual
d. Masalah-masalah (seksual, kesehatan)
e. Harapan-harapan
f. Suasana hati, tingkat energy
2. Berikan dorongan untuk bertanya tentang seksualitas atau fungsi seksual
yang mungkin mengganggu pasien
3. Gali hubungan pasien dengan pasangannya
4. Jika stressor atau gaya hidup yang penuh stressor berdampak negative
terhadap fungsi:
a. Bantu individu dalam memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi
stress
b. Dorong identifikasi stressor yang ada dalam kehidupan; kelompokkan
menurut individu sebagai dapat mengontrol dan tidak dapat
mengontrol:
1) Dapat mengontrol
Keterbelakangan pribadi
Keterlibatan dalam aktivitas komunitas
2) Tidak dapat mengontrol
Mengeluh
14
Penyakit anak perempuan
c. Lakukan program latihan teratur untuk reduksi stress. Lihat perilaku
mencari bantuan kesehatan untuk intervensi
5. Identifikasi pilihan metode untuk melampiaskan energ seksual bila
pasangan tidak ada atau tidak ada keinginan
a. Gunakan masturbasi, jika dapat diterima individu
b. Ajarkan keuntungan fisik dan psikologis tentang aktivitas fisik teratur
(sedikitnya 3 kali seminggu selama 30 menit
c. Jika pasangan meninggal, gali kesempatan untuk bertemu dan
bersosialisasi dengan orang lain (sekolah malam, klub janda/ duda,
kerja komunitas)
6. Jika suatu perubahan atau kehilangan bagian tubuh mempunyai dampak
negtif terhadap fungsi:
a. Kaji tahapan adaptasi dari individu dan pasangan terhadap kehilangan
(mengingkari, depresi, marah)
b. Jelaskan kenormalan dari respon kelanjutan dari kehilangan
c. Jelaskan kebutuhan untuk membagi perhatian dengan pasangan
15
BAB IV
PENUTUP
A. maupun Kesimpulan
Tingkah laku seseorang dipelajari sepanjang proses kehidupannya ketika
menghadapi krisis dan kecemasan akibat stressor. Menurut teori
keperawatan, sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentangan yang sangat
dinamis dari kehidupan seseorang.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa
mereka dimana sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari
makna hidup. Menyiapkan diri menjadi dewasa, karena menjadi dewasa
16
adalah sebuah pilihan, maka tentunya harus direkayasa atau disiapkan.
Tidak bisa dibiarkan alami. Karena memang menjadi dewasa dalam cara
berpikir itu bukan kebetulan, tapi merupakan pilihan.
B. Saran
Di dalam perkembangan dewasa terdapat berbagai masalah yang apabila
tidak diperhatikan maka akan berdampak buruk pada perkembangan
dewasa itu sendiri, sehingga sudah seharusnya perkembangan pada dewasa
itu dijadikan bahan pikiran pada individu,keluarga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan Edisi 6. Jakarta: EGC
Stockslager, Jaime L., 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta:
EGC
17



No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 161
Penasehat
Ir. Ferry A. Soetikno, M.Sc., M.B.A.
Ketua Pengarah/Penanggung Jawab
Dr. Raymond R. Tjandrawinata
Pemimpin Redaksi
dr. Grace V.J., M.M.
Redaktur Pelaksana
Tri Galih Arviyani, S.Kom.
Staf Redaksi
dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni
Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt.
Herninta Pramitasari, S.Si., Apt
Gunawan Raharja, S.Si., Apt.
Drs. Karyanto, MM
dr. Marini Johan
Puji Rahayu, S.Farm, Apt.
dr. Ratna Kumalasari
dr. Lydia Fransisca H. Tambunan
Yosi Krisyanti, S.Si, Apt
Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And.
Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD
Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG.
Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE
Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha
Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33
Telp. (021) 7509575
Fax. (021) 75816588
Email: tri.galih@dexa-medica.com
Rekomendasi Depkes RI
0358/AA/III/88
Ijin Terbit
1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988
Sidang Pembaca yang terhormat,
Pada edisi terakhir di penghujung tahun 2006 ini, Dexa Media menampilkan
tema utama, yaitu dengan judul artikel “Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai
Terapi Nyeri Neuropatik”, yang menjelaskan bahwa penggunaan lamotrigine yang
pada awalnya sebagai antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik
adjuvant untuk nyeri neuropatik.
Beberapa artikel dari rubrik tinjauan pustaka antara lain membahas mengenai
austistik, manajemen gagal jantung kronik, diagnosis dan penatalaksanaan gagal
jantung diastolik, infeksi cacing tambang, patogenesis dan lain sebagainya. Untuk
mengetahui lebih lanjut, kami persilahkan untuk membacanya.
Penelusuran jurnal yang memuat artikel-artikel terbaru sebagai tambahan
wawasan dan pengetahuan untuk pembaca dan Kalendar Peristiwa yang memuat
jadwal simposium yang diadakan pada tahun 2006 ini tetap kami tampilkan tiap
edisinya.
Tak lupa kami terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi
lembaran Dexa Media dengan memberikan tulisan berupa Tinjauan Pustaka, Case
Report, Artikel Penelitian.
Akhir kata kami redaksi Dexa Media mengucapkan selamat Idul Fitri 1427 H
dan selamat Natal dan Tahun Baru 2007.
Salam!
DARI REDAKSI
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi 161
Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 162
Artikel Utama:
Penggunaan obat antiepilepsi sebagai terapi nyeri neuropatik 163
Tinjauan Pustaka:
Tatalaksana farmakologis gangguan spektrum autistik:
Telaah pustaka terkini 167
Peran serotonin pada gangguan spektrum autistik 173
Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis 177
Patogenesis dan respon imun tubuh terhadap infeksi virus
Herpes simpleks 182
Infeksi cacing tambang 187
Artikel Penelitian:
Pemberian glutamin menurunkan kadar bilirubin darah serta
Mengurangi nekrosis sel-sel hati setelah pemberian aktivitas
Fisik maksimal dan parasetamol pada mencit 192
Diagnosis dan penatalaksanaan gagal jantung diastolik 196
Manajemen gagal jantung kronik 200
Sekilas Dexa Medica Group
Berkibarlah Merah Putih-ku 207
OGBdexa, Segitiga Merahnya, Bikin Hemat 207
Delon semarakkan peluncuran TOXILITE 208
Penelusuran Jurnal 211
Kalender Peristiwa 212
Daftar Iklan: Lamictal, Raivas, Dobuject, Toxilite, Tripoten, Generik
Cover: NEURON
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak
dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau
mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang
dimuat apabila dipandang perlu.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200162 6
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan
foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program
MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya
tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap dipecah menjadi anak judul.
6. Nama penulis harap disertai alamat kerja yang jelas.
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh
penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer
reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no.
telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan
dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6
orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak
lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal
1. Artikel standar
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;
124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer
E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl:
5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing.
Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational
lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to
breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent
diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrode-sis in
rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10.Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen
Surg 1993;325-33
11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.
Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd
ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner
BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management.
2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings
of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology;
1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security
in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors.
MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics;
1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.
p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health
and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct.
Report No.: HHSIGOEI69200860
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research:
Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press;
1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health
Care Policy and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions
annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO):
Mosby-Year Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis
[serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available
from: URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves
JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0.
San Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program].
Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
PETUNJUK PENULISAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 163
Penggunaan Obat Antiepilepsi
sebagai terapi Nyeri Neuropatik
Abstrak. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri neuroaptik
yang tergolong pada tipe nyeri kronik diakibatkan oleh lesi di jaringan susunan saraf baik perifer maupun pusat.
Penggunaan obat antiepilepsi pada nyeri neuropatik didasari oleh keidentikan dalam neuropatofisiologik antara
nyeri neuropatik dan epilepsi. Keidentikan ini termasuk kepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sebagai
akibat kelainan pada reseptor seperti NMDA, AMPA/kainat yang pada saatnya nanti bisa memicu plastisitas
reseptor tersebut di post-sinaptik. Kepekaan yang abnormal inilah yang mengakibatkan tarjadinya perubahan
elektrik potensial di otak yang disebut sebagai bangkitan epilepsi. Obat antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekankepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sehingga dengan demikian
bisa menekan bangkitan epilepsi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa obat antiepilepsi digunakan sebagai
analgesik adjuvant untuk terapi nyeri neuropatik. Ternyata obat antiepilepsi lamotrigine sangat efektif dalam
penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita pasca stroke ataupun nyeri neuropatik yang intracktable. Cara kerja dari lamotrigine
adalah berperan dalam stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas kanal voltage-sensitive
natrium serta mencegah sekresi glutamate dan menstimulasi sekresi GABA di presinaptik ke sinaps.
Jan Sudir Purba
Departemen Neurologi FKUI/RSCM, Jakarta
Pendahuluan Nyeri seperti didefinisikan oleh International Association
for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1,2 Nyeri
bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamaya berlangsung
(transient, intermittent, atau persisten), intensitas (ringan,
sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar),
penjalarannya (superficial, dalam, local atau difus).3 Di samping
itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan
emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu
nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar
dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004)3 disebut
sebagai pengalaman nyeri.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif
atau nyeri nosiseptif, atau nyeri akut dan nyeri maladaptif
sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta
nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif
yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah
satu signal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang
rusak.3 Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut
juga sebagai gangguan sistem alarm.3 Nyeri idiopatik yang
tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun
nosiseptif dan memunculkan simptom gangguan psikologik
memenuhi somatofovrm seperti stres, depresi, ansietas dan
sebagainya.4,5 Dalam tulisan ini dibahas nyeri neuropatik dan
penanggulangannya dengan penggunaan obat antiepilepsi
lamotrigine.
Neuropatologi dan Mekanisme Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat
lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan
oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat
khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi
misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lainlain.
Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa
stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.6
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik
berbeda dengan nyeri akut atau nosiseptif dalam hal etiologi,
patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri akut adalah nyeri
yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan.
Nyeri pada tipe akut merupakan simptoma akibat kerusakan
jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar kerusakan jaringan
DEXA MEDIA ARTIKEL UTAMA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200164 6
dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini di picu oleh keberadaan
neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor
serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di kulit,
tulang, jaringan ikat otot dan organ viskera. Stimulus ini bisa
berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi
dan tumor.6,7 Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi
neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin, serotonin,
substansi P, juga somatostatin (SS), cholecystokinin (CCK),
vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related
peptide (CGRP) dan lain sebagainya.8 Nyeri neuropatik adalah
non-self-limiting dan nyeri yang dialami bukan bersifat sebagai
protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung
dalam proses patologi penyakit itu sendiri.6 Nyeri bisa
bertahan beberapa lama yakni bulan sampai tahun sesudah
cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi
pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari
sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras
nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari
kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan
kolum dorsalis (untuk viskeral), sampai talamus sensomotorik,
limbik, korteks prefrontal dan korteks insula.6 Karakteristik
sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas
neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas
neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious,
dan luasnya penyebaran areal yang mengandung
reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan
dari berbagai neuron.6 Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat
lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls
aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga
bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA.9
Sejalan dengan berkembangnya penelitian secara
molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan antara
nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA
dan plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang
berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal
pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah
ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses
patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi
baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi
sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum
berupa alodinia dan hiperalgesia.10 Permasalahan pada nyeri
neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan
kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya
hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui
modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat
proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik.6 Kejadian inilah
yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada
sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik
harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses
mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik.6
Penanggulangan
Nyeri neuropatik merupakan masalah dalam dunia
kedokteran karena bukan hanya menyangkut kerusakan atau
lesi dari jaringan saraf itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut
efek dari penderitaan yang kronik terhadap quality of life si
penderita. Nyeri neuropatik yang tergolong dalam nyeri
kronik menimbulkan tantangan yang berat dalam hal
pengobatan karena tidak berespons terhadap pengobatan nyeri
tradisional. Oleh sebab itu penanggulangan nyeri neuropatik
membutuhkan tim yang multi disipliner baik menyangkut
terapi non-farmaka maupun terapi farmaka. Penanggulangan
secara farmakologik bukan hanya sebatas pada tingkat
reseptor dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi juga yang
berkaitan dengan efek kronik dari nyeri tersebut misalnya
efek psikologik.11 Penelitian tentang nyeri termasuk klasifikasi
berkembang terus. Sejajar dengan itu maka penelitian untuk
menemukan obat juga berkembang tidak henti-hentinya.
Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik
Seperti diketahui dari sejumlah hasil penelitian baik itu
malalui hewan percobaan maupun pada manusia ditemukan
bahwa nyeri neuropatik mendasar pada kelainan jaringan
saraf yang mengakibatkan perobahan komposisi biokimiawi
atau neurotransmiter terhadap sistem saraf perifer maupun di
sentral.12,13 Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik
juga mendasar pada kelainan atau patologi jaringan saraf yang
disertai oleh perobahan pada biokimiawi atau neurotransmiter
baik di perifer maupun di sentral. Dengan kata lain tindakan
yang memfokus pada pengurangan input neuronal dengan
tujuan mengembalikan ke keadaan normal dengan cara
menekan fungsi akson misalnya memblok kanal natrium
atau mengurangi sekresi eksitatorik serta meningkatkan
sekresi inhibitorik.14 Penggunaan obat antiepilepsi pada
nyeri neuropatik didasari oleh keidentikan dalam hal
neuropatofisiologik pada nyeri neuropatik dan epilepsi.15
Secara neurofarmakologi molekuler, diketahui bahwa standar
penanggulangan epilepsi mendasar pada blok kanal natrium,
sementara obat-obat antiepilepsi yang baru selain blok kanal
natrium juga blok kanal Ca2+ secara spesifik di post sinaptik,
yakni reseptor NMDA dan AMPA, stimulasi sekresi GABA
di presinaptik, reduksi sekresi glutamate di presinaptik. Hal
ini juga telah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Dengan
demikian disimpulkan bahwa obat antiepilepsi digunakan
juga sebagai obat standar untuk nyeri neuropatik.12,13
Epilepsi dan nyeri neuropatik timbul karena munculnya
aktivitas abnormal dari sistem saraf sentral. Patologi nyeri
neuropatik mendasar pada sensitisasi perifer, ectopic discharge,
sprouting, dan berakhir pada kelainan patologi di neuron
berupa sensitisasi dan disinhibisi sentral. Epilepsi yang dipicu
164 DEXA MEDIA 2006
ARTIKEL UTAMA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 165
oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral mengakibatkan
bangkitan spontan dan paroksismal dan mirip dengan nyeri
spontan dan paroksismal pada nyeri neuropatik.16 Dalam
keadaan ini peran reseptor NMDA terhadap influks Ca2+
merupakan proses dasar terhadap kindling pada epilepsi serupa
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri neuropatik. Atas
dasar patologi ini maka antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekan kepekaan yang abnormal
dari neuron-neuron di sistem saraf pusat dengan memblokade
reseptor NMDA, AMPA/kainat.16 Hal ini disimpulkan oleh
Markman and Dworkin, (2006)17 bahwa permasalahan
nyeri neuropatik adalah di kanal ion sebagaimana juga pada
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi adalah tertuju pada
voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+.17
Dari hasil penelitian ternyata bahwa obat antiepilepsi
seperti lamotrigine mempunyai sifat analgesik dalam lingkup
yang luas. Lamotrigine membatasi influks kalsium melalui
penekanan voltage-gate.18 Pada percobaan hewan menyangkut
hiperalgesia pemberian lamotrigine berefek sebagai analgesik.19
Lamotrigine dengan dosis di atas 200 mg/hari sangat efektif
dalam penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal
neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita post stroke ataupun nyeri neuropatik
yang intracktable.12,13,20-23 Prinsip kerja dari lamotrigine
yang diketahui sampai sekarang ini berperan aktif terhadap
neurotransmiter eksitatorik glutamate dalam hal mencegah
sekresi glutamate di presinaptik serta berperan dalam inhibisi
reuptake serotonin oleh presinaptik yang berefek pada
stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas
kanal voltage-sensitive natrium.24,25 Efek samping bisa muncul
dengan dosis tinggi berupa dizziness, ruam, mual, insomnia.26
Kesimpulan
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang sangat sulit diterapi
dengan obat analgesik biasa. Hal ini diakibatkan oleh
terjadinya kerusakan jaringan saraf baik di perifer maupun di
sentral. Oleh karena nyeri neuropatik bukan nyeri adaptif akan
tetapi merupakan proses patologi yang berjalan di mana adanya
perubahan struktur reseptor di membrane neuron baik itu di
perifer maupun di sentral. Kelainan reseptor ini mengakibatkan
perubahan pada influks dan dari ion-ion seperti kalsium,
natrium yang berperan dalam perobahan elektrik potensial saraf.
Perubahan ini merupakan signal berupa stimulus yang akan
sampai ke korteks sensorik yang diterjemahkan dengan nyeri.
Obat antiepilepsi berperan sebagai inhibitorik terhadap
reseptor NMDA maupun AMPA/kainat akibat peran
glutamate dengan demikian mencegah masuknya ion kalsium
dan natrium yang berlebihan ke dalam sel. Mendasar pada
cara kerja dari obat antiepilepsi ini maka obat antiepilepsi
ini digunakan sebagai standard obat nyeri neuropatik
yang secara neuropatologik mempunyai kesamaan dengan
epilepsi. Penggunaan lamotrigine yang pada awalnya sebagai
antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik
adjuvant untuk nyeri neuropatik. Hal ini telah terbukti
karena lamotrigine berperan dalam inhibisi ion natrium, juga
inhibisi sekresi glutamat serta sekresi GABA yang berefek
terhadap stabilisasi membrane neuron.
Daftar Pustaka
11. Pain Terms: a list with definitions and notes on usage. Pain 1979;6:49-252
12. Merksey H, Bogduk N, editors. Classification of chronic pain: description of
chronic pain syndromes and definition of pain terms. 2nd edition. Seattle:
International Association for the Study of Pain;1994
13. Woolf CJ. Pain: Moving from symptom control towards mechanisms- specific
pharmacologic management. Ann Internal Med 2004;140:441-51
14. Eccleston C. Role of psychology in pain management. Br J Anaestesia
2001;87:144-52
15. Ludwick-Rosenthal R and Neufeld R. Stress management during noxious
medical procedures. Psychological Bulletin 1988;104:326-42
16. Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. Austr Prescr 2006;29:72-5
17. Price DD and Harkins SW. Combined use of experimental pain and visual
analogue scale in providing standardized measurement of clinical pain.
Clin J Pain 1987;3:1-8
18. Agnati LF, Tiengo M, Ferragutti F. Pain, analgesia, and stress: an integrated
view. Clin J Pain 1991;7(S):S23-S37
19. Dworkin RH, Backonja M, Rowbotham MC, et al. Advances in neuropathic pain:
diagnosis, mechanisms, and treatment recommendations. Arch Neurol
2003;60:1524-34
10. Dogrul A, Gardell LR, Ossipov MH, et al. Reversal of experimental neuropathic
pain by t-type calcium channel blockers. Pain 2003;105:159-68
11. Teng J and Makhael N. Neuropathic pain: Mechanisms and treatment option.
Pain Practice 2003;3:388-98
12. Backonja MM. Use of anticonvulsants for treatment of neuropathic pain.
Neurology 2002; 59:S14-S17
13.Tremont-Lukts IW, Megeff C, Backonja MM. Anticonvulsants for neuropathic
pain syndromes : mechanisms of action and place in therapy. Drugs
2000;60:1029-52
14. Finnerup NB, Otto M, Mc Quuay HJ, et al. Algorithm for neuropathic pain
treatment: and evidence based proposal. Pain 2005; 118:289-305
15. Attal N. Antiepileptic drugs in the treatment of neuropathic pain. Ex Rev
Neurotherapeut 2001;1:199-206
16. Chong MS, Smith TE. Anticonvulsants for the management of pain. Pain Rev
2000;7:129-49
17. Markman JD and Dworkin RH. Ion channel targets and treatment efficacy in
neuropathic pain. J Pain 2006;7:S38-S47
18. Wang SJ, Shira TS, Gean PW. Lamotrigine inhibition of glutamate release from
isolated cerebrocortical nerve terminals (sinaptosomes) by suppression
of voltageactivated Ca2+ channels activity. Neuroreport 2001;12:2255-8
19. Von WagenerJ, Hesslinger B, Berger M, et al. A Ca2+ antagonistic effect of
the new antiepileptic drug lamotrigeine. Eur Neuropsychopharmacol
1997;7:77-8
20. Devulder J, De Laat M. Lamotrigine in the treatment of chronic refractory
neuropathic pain. J Pain Symptom Manage 2000;19:398-403
21. Kelompok studi Nyeri Perhimpunan Dokter spesialis saraf Indonesia (PErDOssI).
Konsensus Nasional Penanganan Nyeri Neuropatik. Dalam: Meliala L,
Suryamiharja A, Purba JS (Eds.) 2000.p.15, PERDOSSI, Jakarta
22. Vestergaard K, Andersen G, Gottrup H, et al. Lamotrigine for central poststroke
pain: a randomized controlled trial. Neurology 2001;56:184-90
23. Zarzewska JM, Chaudry Z, Nurmikko TJ, et al. Lamotrigine in refractory
trigeminal neuralgia in Ms patients. Neurology 2000;55:1587-88
24. Di Vadi PP, Hamann W. The use of lamotrigine in neuropathic pain. Anastesia
1998;53:808-9
25. Eisenberg E, Shifrin A, Krivoy N. Lamotrigine for neuropathic pain. Expert Rev
Neurother 2005;5:729-35
26. Elsworth, Allan J (Eds.). Mosby’s Medical Drug reference. St Louis, MO; Mosby,
Inc, 1999.
DEXA MEDIA ARTIKEL UTAMA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200166 6
Lamictal mengandung Lamotrigine 50 mg dan 100 mg.
Lamictal sudah digunakan di dunia oleh lebih dari 5 juta orang
lebih dari 15 tahun dan dilaunch di Indonesia pada bulan
Desember 1994 dengan indikasi obat anti-epilepsi (AED).
Lamictal adalah AED yang dapat digunakan sebagai
monoterapi maupun kombinasi dengan AED lain.
Indikasi Lamictal yang didaftarkan adalah untuk:
- Partial seizures (simple dan kompleks)
- Secondary general tonic-clonic seizure
- Primary general tonic-clonic seizure
- Lennox-Gastaut syndrome
Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan antara
pengeluaran dan penghambatan neurotransmitters. Lamictal
bekerja dengan menstabilkan membran saraf dengan cara
menghambat saluran natrium dan mengurangi pelepasan
neurotransmitter glutamat. Glutamat diketahui sebagai
penyebab utama dalam epileptogenesis 1,2.
Bioavailabilitas Lamictal setelah administrasi 75 mg dosis
tunggal adalah 98%3. Konsentrasi plasma tertinggi tercapai
dalam waktu 1 – 3 jam. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh
makanan, oleh karena itu pasien dapat minum obat sebelum
atau setelah makan.
Lamictal memiliki farmakokinetik linear dengan margin dosis
terapi, interaksi dengan obat lain yang rendah dan eliminasi
watu paruh yang panjang (rata-rata 29 jam)3,4.
Antara individu yang satu dengan yang lain dapat terjadi
perbedaan waktu eliminasi obat, hal ini disebabkan adanya
perbedaan pada klirens metabolisme pada masing-masing
individu.
Lamictal menunjukan farmakokinetik linear setelah pemberian
oral dosis tunggal 30 – 450 mg pada sukarelawan sehat
dan pasien yang menerima obat sebagai monoterapi atau
kombinasi (add-on)3. Lamictal dalam plasma meningkat
berbanding lurus dengan dosis Lamictal (gb.1).
Hubungan linear antara dosis Lamictal dan konsentrasi
plasma membuat tidak diperlukannya monitoring konsentrasi
plasma berulang untuk identifikasi dosis individu. Titrasi dosis
dapat berdasarkan respons daripada konsentrasi plasma
darah. Monitoring terapi obat yang rutin tidak dianjurkan
pada penggunaan Lamictal.
Beberapa dokter menyadari perlunya monitoring konsentrasi
plasma pada penggunaan carbamazepine atau phenytoin5.
Carbamazepine menunjukkan farmakokinetik non-linear
dan phenytoin menunjukkan hubungan konsentrasi erratic,
pada penggunaan dosis tinggi memperlihatkan peningkatan
konsentrasi plasma yang tidak terkontrol.
Kesimpulannya Lamictal memberikan keuntungan pada
pasien penderita epilepsi, yaitu:
- Telah digunakan oleh jutaan orang di dunia untuk mengatasi
gangguan kejang
- Memiliki profil tolerabilitas yang baik
- Tidak memerlukan blood monitoring
- Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan
Lamictal dapat diberikan sebagai monoterapi dan kombinasi
(add-on)
- Monoterapi untuk pasien epilepsi dari usia 12 tahun hingga
dewasa.
- Kombinasi untuk epilepsi anak dari usia 2 tahun.
SEKILAS PRODUK
3.0
2.0
1.0
30 240
160
140
120
100
80
60
40
20
0
120
Dose (mg)
60
0
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 167
Dosis Lamictal untuk dewasa dan anak-anak di atas usia 12
tahun:
Dosis Lamictal untuk anak-anak dari usia 2 – 12 tahun:
Dosis titrasi pada Lamictal dapat meminimalkan insiden
terjadinya rash. Rash yang terlihat pada penggunaan Lamictal
dapat berupa reaksi kelainan kulit dari yang ringan hingga
berat dengan kejadian 2% dari yang diterapi. Sedangkan
yang menghentikan terapi kurang dari 3% pasien.
Referensi:
1. Leach MJ et al. Lamotrigine: mechanism of action. In: Levy
RH et al (eds). Antiepileptic Drugs (4th ed.). New York
Raven Press; 1995. p.861 – 69
2. Xinmin X et al. Interaction of the antiepileptic drug lamotrigine
with recombinant rat type IIA Na+ channels and with native
Na+ channels in rat hippocampal neurones. Pflugers Arch
– Eur J Physiol 1995; 430: 437 – 46
3. Pisani F. In: Reynolds EH (ed). Lamotrigine – a new advance
in the treatment of epilepsy. London Royal Society of
Medicine Service; 1993, p.15-24.
4. Cohen AF et al. Lamotrigine, a new anticonvulsant: pharmacokinetics
in normal humans. Clin Pharmacol Ther 1987;
42 (suppl 5): 535 – 41
5. Pugh CB, Garnet WR. Current issues in the treatment of
epilepsy. Clin Pharm 1991; 10; 335 – 58
SEKILAS PRODUK
add-on Lamictal
dengan sodium
valproate
add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate
12,5 mg/hari
(diberikan 25 mg/hari
2 hari sekali/selang sehari)
25 mg/hari
(sekali sehari)
100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
Monoterapi
Lamictal
25 mg/hari
(sekali sehari)
50 mg/hari
(sekali sehari)
100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
50 mg/hari
(sekali sehari)
100 mg/hari
(sekali sehari)
200-400 mg/hari
(di bagi dalam 2 kali
pemberian)
Minggu 1 & 2 Minggu 3 & 4 Dosis Pemeliharaan
Add-on Lamictal
dengan sodium
valproate
Add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate
0,2 mg/kg/hari
(sekali sehari)
0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)
1-5 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
Monoterapi
Lamictal
0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)
1 mg/kg/hari
(sekali sehari)
2-10 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
2 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)
5 mg/kg/day
di bagi dalam
2 kali pemberian)
5-15 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)
Minggu 1 & 2 Minggu 3 & 4 Dosis Pemeliharaan
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 169
TINJAUAN PUSTAKA
Tatalaksana Farmakologis
Gangguan Spektrum Autistik:
Telaah Pustaka Terkini
Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy
Ambon
Abstrak. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian terdahulu
menunjukkan kelainan neurotransmiter pada autisme. Penatalaksanaan farmakologis dengan
prinsip menyeimbangkan fungsi neurotransmiter merupakan dasar pendekatan terapi yang
rasional. Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan terapi antagonis sistem dopaminergik,
pemacu sistem serotoninergik, antagonis opioid, dan pemacu GABA. Beberapa modalitas terapi
lain seperti penggunaan suplemen vitamin dan mineral dan penggunaan terapi imunologis telah
dilaporkan pula. Hasil kajian sistematis ini mendapatkan bahwa antagonis sistem dopaminergik
merupakan modalitas terapi yang cukup didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang baik.
Kata kunci: Autisme, treatment, randomized controlled trial, dopamine, serotonin, GABA (Gammaaminobutyric
acid)
Pendahuluan Autisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Penderita autisme
akan menunjukkan disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas
komunikasi dan kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang
terbatas dan stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Tatalaksana farmakologis tidak akan mengubah riwayat
keadaan atau perjalanan gangguan autistik.3 Terapi farmakologi
bukan merupakan pendekatan terapi yang utama, namun
penggunaan terapi farmaka untuk gejala-gejala tertentu dapat
membantu secara signifikan program terapi dan edukasi.4
Penggunaan terapi farmakologis yang memperbaiki
keseimbangan neurotransmiter merupakan pendekatan yang
rasional pada penderita autisme.3 Kajian Rapin4 menunjukkan
bahwa obat-obat diberikan secara spesifik untuk gejala
tertentu sebagai berikut: (1) obat yang bekerja sistem
noradrenergik terutama ditujukan untuk mengatasi gejala
agresif dan perilaku eksplosif, (2) obat-obat antidepresan
dan SSRI atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor ditujukan
untuk mengatasi obsesif, agresivitas, dan depresi, (3) obatobat
penghambat dopamin ditujukan untuk gejala destruktif,
agresi, dan melukai diri sendiri, (4) obat-obat antagonis opioid
untuk gejala stereotipik dan melukai diri sendiri, (5) golongan
antikonvulsan untuk mengobati epilepsi, agresivitas, dan
regresi yang berhubungan dengan gelombang epileptiformis
subklinis. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana
bukti ilmiah tatalaksana farmakologis gangguan spektrum
autistik. Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji secara
kritis bukti-bukti ilmiah terapi farmaka untuk autisme.
Metode
Pelacakan Kepustakaan
Pelacakan kepustakaan dilakukan dengan menggunakan
internet, MEDLINE database, dan pelacakan manual
pada berbagai penelitian dan kajian tentang tatalaksana
farmakologis autisme dengan tahun publikasi 1995-2003.
Kata kunci yang dipergunakan adalah: autism, treatment,
randomized controlled trial, mechanism, dan pathophysiology.
Tingkat Bukti Ilmiah
Penetapan tingkat bukti ilmiah terhadap berbagai
penelitian terapi yang ada didasarkan sesuai dengan panduan
Scotish Intercollegiate Guidelines Network5 sebagai berikut:
Tabel 1. Derajat bukti ilmiah artikel terapi (SIGN, 2000)
Levels Kejadian Deskripsi
IA
IB
IIA
IIB
III
IV
Bukti diambil dari suatu penelitian meta-analysis
Bukti diambil minimal dari suatu penelitian
randomized controlled trial
Bukti diambil minimal dari suatu penelitian welldesigned
controlled study without randomization
Bukti diambil minimal dari suatu penelitian tipe lain
dari well-designed quasi-experimental
Bukti diambil minimal dari suatu penelitian
well-designed non-experimental descriptive, seperti
comparative studies, correlation studies dan case
studies
Bukti diambil dari suatu laporan komite ahli
dan/atau pengalaman klinis pakar
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200170 6
Pembahasan
Hasil Pelacakan Pustaka
Hasil pelacakan kepustakaan secara manual dan
elektronik mendapatkan berbagai artikel terapi farmakologis
untuk autisme. Tabel 2 memperlihatkan berbagai artikel yang
diperoleh dan tingkat bukti ilmiahnya, sbb:
Tabel 2. Peringkat bukti ilmiah hasil pelacakan pustaka
Antagonis Dopamin Tipikal (haloperidol)
Sistem dopaminergik berperan dalam pengaturan
perilaku motorik. Dopamin yang berlebih akan menyebabkan
munculnya gerakan motorik berlebih, stereotipik seperti
yang diamati pada penderita autisme. Penggunaan antagonis
dopamin diharapkan memperbaiki gejala-gejala motorik
seperti hiperaktivitas dan stereotipik, sehingga proses belajar
menjadi lebih efektif.6
Obat-obat neuroleptik merupakan golongan obat yang
secara luas digunakan pada autisme. Tabel 3 menunjukkan
kajian terhadap penggunaan haloperidol dalam terapi autisme.
Tabel 3. Uji klinik haloperidol untuk terapi autisme6
Efek samping utama penggunaan haloperidol adalah
diskinesia. Diskinesia muncul pada 25% kasus setelah 11
bulan terapi, dan 75% kasus setelah 3,5 tahun terapi.6
Antagonis Dopamin Atipikal
Antipsikotik atipikal memblokade pula reseptor serotonin
postsinaptik, sehingga melindungi terhadap munculnya
efek samping ekstrapiramidal.7 Penelitian uji klinik dengan
randomisasi dilakukan oleh McDougle, dkk8 pada 31 penderita
gangguan autisme dewasa. Respon terapi diukur dengan
Global Improvement Scale dengan skala likert. Perbaikan gejala
didapatkan secara bermakna pada kelompok terapi risperidone
dibanding plasebo (57% VS 0%, p <0,002).
Penelitian uji klinik acak buta ganda (randomized clinical
trial) risperidone lebih baru dilakukan oleh McCracken, dkk7
dengan subjek 101 anak autisme yang berusia antara 2-8
tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon positif
secara bermakna didapatkan pada kelompok terapi risperidone
dibanding kelompok plasebo (69% vs 12%, p<0,01). Tabel
4 menunjukkan karakteristik dan hasil penelitian uji klinik
penggunaan Risperidone untuk terapi autisme.
Tabel 4. Hasil penelitian terapi risperidone pada autisme
Penelitian McCracken, dkk7 memperlihatkan terjadinya
efek samping akibat terapi yang ringan, yang akan menghilang
dengan sendirinya setelah beberapa minggu. Efek samping
konstipasi, pandangan kabur, mulut kering, dan mengantuk
disebabkan oleh perangsangan sistem antikolinergik.
Perangsangan anti histamin akan menyebabkan penambahan
berat badan dan mengantuk. Sifat antagonistik pada reseptor
alfa satu akan menyebabkan penurunan tekanan darah,
dizziness, dan mengantuk.9
Opioid
Kadar opiat yang tinggi dalam LCS dan urine sering
dijumpai pada penderita autisme. Opioid dalam konsentrasi
yang tinggi akan menghambat faktor pertumbuhan neuronal.
Opioid berperan pula dalam perilaku maladaptif, seperti
impulsivitas, perilaku berisiko abnormal, gangguan belajar,
gangguan perhatian, dan gangguan mood. Pasien-pasien
dengan perilaku melukai diri sendiri sering mengalami
insensitivitas nyeri. Penderita dengan perilaku melukai
diri sendiri cenderung menunjukkan peningkatan kadar
metenkephalin dan β endorfin plasma.10
Sophie, dkk11 melakukan penelitian uji klinik pada 23 anak
autisme (usia berkisar antara 3-7 tahun). Terapi naltrexone
diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB selama 4 minggu. Efek
terapi dipantau dengan kuisioner yang diisi oleh orang tua
dan guru, serta observasi saat bermain. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa para guru melaporkan adanya
perbaikan perilaku (hiperaktivitas dan iritabilitas) secara
signifikan. Pemberian naltrexone tidak memperbaiki kontak
sosial dan perilaku stereotipik. Kajian Perry dan Kuperman6
TINJAUAN PUSTAKA
Peneliti (tahun) Modalitas terapi Derajat bukti ilmiah
Fankhauser (1992) Clonidine IB
Jaselskis (1992) Clonidine IIA
Sophie (1996) Naltrexone IB
Delong (1998) Fluoxetine IIB
McDougle (1998) Risperidone IB
Fatemi (1998) Fluoxetine III
Owley dkk (1999) Secretin IB
Sandler (1999) Secretin IB
Adams (2000) Suplemen vitamin dan mineral IB
Pertejo (2000) Fluoxetine IIB
Lightdale (2001) Secretin IIB
Roberts (2001) Secretin IB
McCracken (2002) Risperidone IB
Chez (2002) L-Carnosine IB
DeLong (2003) Fluoxetine IIB
Nye (2004) Vitamin B6-Magnesium IA
Rancangan Dosis Subjek Hasil
-
-
-
-
-
Peneliti
(tahun)
Anderson
(1984)
Uji klinik
randomisasi,
double blind
cross over
0,5–3,0
mg/hari
40 anak autisme,
usia antara 2-7
tahun
Terdapat perbaikan dalam skor Corner
Parent-Teacher Questonaire, Global
Improvement, dan Children's
Rating Scale
Terdapat perbaikan dalam skor Corner
Parent-Teacher Questonaire, Global
Improvement, dan Children's
Rating Scale
Penurunan perilaku maladaptif
36 tetap meneruskan haloperidol
Anderson
(1988)
Uji klinik
randomisasi,
double blind,
cross over
0,25-0,40
mg/hari
45 anak autisme,
usia antara 2-7
tahun
Penurunan hiperaktivitas dan
stereotipik
Metode Subjek Hasil
-
-
-
Efek samping utama sedasi ringan
Peneliti
(tahun)
McDougle
(1998)
RCT dengan dosis
risperidone harian
2,9 ±1,4 mg/hari
31 penderita
autisme dewasa
Perbaikan gejala didapatkan secara
bermakna pada kelompok terapi
Risperidone dibanding plasebo
(57% vs 0%, p<0,002)
McCracken
(2002)
RCT dengan dosis
risperidone harian
0,25 mg/hari
101 anak
dengan autisme
Respon positif secara bermakna didapatkan
pada kelompok terapi risperidone dibanding
kelompok plasebo (69% vs 12%, p<0,01)
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 171
menyatakan bahwa penggunaan naltrexone tidak dianjurkan
sebagai terapi lini pertama untuk autisme.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
bekerja terutama pada terminal akson pre sinaptik dengan
menghambat ambilan kembali serotonin. Hal tersebut akan
menyebabkan serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps.9
Tabel 5 memperlihatkan penelitian penggunaan fluoxetine
dalam terapi autisme.
Tabel 5. Penelitian-penelitian penggunaan fluoxetine untuk terapi autisme
Penelitian Buchsbaum, dkk16 mengukur efek pemberian
fluoxetine terhadap aliran darah regional dan tingkat
metabolisme otak. Penelitian dilakukan pada 6 pasien
dewasa dengan autisme dengan penggunaan possitron
emission tomography. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan tingkat metabolisme di regio frontal kanan
(terutama gyrus cinguli anterior dan korteks orbito-frontal)
pada penderita yang diberikan terapi fluoxetine.
Secretin
Secretin merupakan suatu hormon peptida yang terdiri
dari 27 asam amino yang befungsi untuk menstimulasi
sekresi pankreas. Penggunaan secretin sebagai terapi autisme
dimulai pada saat muncul laporan kasus serial tentang efek
secretin. Laporan tersebut menyebutkan adanya perbaikan
gejala pada beberapa penyandang autisme yang menjalani
pemeriksaan fungsi gastrointestinal dengan Secretin.17 Tabel
6 memperlihatkan telaah hasil-hasil penelitian secretin dalam
terapi autisme.
Tabel 6. Kajian hasil penelitian penggunaan secretin sebagai terapi
autisme
Obat Antiepilepsi pada Autisme
Epilepsi dan abnormalitas gelombang otak sering dijumpai
pada penderita autisme. Kajian Martino dan Tuchman21
memperkirakan adanya hubungan antara adanya epilepsi
dan gelombang otak abnormal dengan gangguan fungsi
kognitif, berbahasa, perilaku, dan mood. Terminologi yang
sering dipergunakan adalah Transient Cognitive Impairment
untuk menunjukkan gangguan adaptif fungsi serebral akibat
gelombang epileptiform di otak. Gelombang paku (spike) fokal
interiktal dapat mengganggu fungsi kortikal sesuai dengan
lokasi munculnya spike tersebut. Sampai saat ini masih
ada kontroversi dalam penggunaan obat antiepilepsi pada
kelompok penderita autisme dengan pola EEG yang abnormal
tanpa bangkitan epilepsi.
Penggunaan antiepilepsi pada penderita autisme
ditujukan untuk: (1) mengendalikan bangkitan epilepsi, (2)
mengendalikan gelombang abnormal epileptiform, dan (3)
memperbaiki komunikasi dan interaksi sosial. Penggunaan
obat anti epilepsi untuk autisme didasarkan pada 2 mekanisme,
yaitu: (1) mengatasi bangkitan epilepsi dengan peningkatan
GABA, dan (2) perangsangan GABA akan meningkatkan
kadar serotonin di sistem limbik.22
Suplemen Vitamin dan Mineral
Dasar pemikiran pemberian suplemen vitamin dan
mineral pada penderita autisme adalah: (1) penderita
autisme sering kali memiliki asupan vitamin dan mineral
yang terbatas atau picky eaters, (2) penderita autisme sering
kali memiliki fungsi pencernaan yang buruk (25% penderita
dengan diare kronik), dan (3) berbagai penelitian terdahulu
menunjukkan berkurangnya flora normal usus yang ikut
berperan dalam penyerapan vitamin.23 Penelitian terdahulu
tentang penggunaan suplemen vitamin dan mineral dapat
dilihat pada tabel 7 berikut.
TINJAUAN PUSTAKA
Terapi farmakologi bukan merupakan
pendekatan terapi yang utama, namun
penggunaan terapi farmaka untuk gejalagejala
tertentu dapat membantu secara
signifikan program terapi dan edukasi.
Disain Terapi Subjek Hasil penelitian
Open label trial
Open label trial fluoxetine
- Sangat baik pada 17% kasus
- Baik pada 52% kasus
- Buruk pada 31% kasus
Peneliti
(tahun)
Cook, dkk12 fluoxetine
20-80
mg/hari
23 penderita
autisme
Perbaikan pada Global
Clinical Impressions
pada 15 (65%) subjek
DeLong, dkk13 37 anak
autisme
usia antara
2-7 tahun
Perbaikan pada Independent
Developmental Testing
pada 22 (59%) subjek
Fatemi, dkk14 Kajian data
retrospektif
fluoxetine
20-80
mg/hari
7 pasien
usia 9-20
tahun
Perbaikan Abberant Behaviour
Checklist dalam hal iritabilitas
21%, letargi 37%, stereotipik
27%, dan gangguan bicara 21%
DeLong, dkk15 Open label trial
(post hoc analysis)
selamarata-rata
32-36 bulan
fluoxetine
0,15-0,5
mg/kg
129 anak
autisme
(2-8 tahun)
Respon pada Autism
Disgnostic Observation
Schedule
Metode Subjek Hasil
RCT 60 anak
autisme
-
- Tidak didapatkan efek samping
RCT
-
-
RCT
Peneliti
(tahun)
Sandler17 Tidak ada perubahan bermakna
pada skorAutism Behavior
Checklist dan Clinical
Global Impression Scale
Owley18 20 anak
autisme,
usia antara
3-12 tahun
Tidak berbeda bermakna antara
kelompok terapi dan plasebo dalam
skor komunikasi sosial setelah
4 minggu terapi (p=0,74)
Lightdale,
dkk19
Penelitian
prospektif
open label
20 penderita
autisme,
usia rata-rata
5 tahun
Tidak dijumpai perbaikan bermakna
pada fungsi berbahasa
dan perilaku
70% orang tua secara subjektif
melaporkan adanya perbaikan
gejala setelah infus secretin
Roberts20 64 anak
autisme,
usia antara
2-7 tahun
Tidak ada beda efek terapi yang
berbeda bermakna pada fungsi
kognitif, perilaku, dan gejala
gastrointestinal antara kedua
kelompok
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200172 6
Tabel 7. Penelitian terdahulu tentang penggunaan suplemen
vitamin dan mineral untuk terapi autisme.
Penggunaan suplemen vitamin dan mineral dalam terapi
autisme didasarkan pada pemikiran bahwa vitamin dapat
memperkuat aksi neurotransmiter dengan meningkatkan
aviabilitasnya dan bertindak sebagai kofaktor. Vitamin C dalam
penelitian eksperimental dapat menghambat efek dopamin
sentral. Vitamin B6 berperan dalam pembentukan beberapa
neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, GABA, dan
norepinefrin. Dimethylglisine merupakan suplemen nutrisi yang
memiliki efek neuroaktif serupa dengan Glysin.24
Penelitian uji klinik double blind oleh Adams, dkk23
melibatkan 18 anak dengan rata-rata umur 5,5 tahun dengan
diagnosis klinis autisme. Sebanyak 9 orang anak terdiri atas
8 laki-laki dan 1 perempuan mendapat terapi suplemen
multivitamin dan mineral, dan 9 orang lainnya mendapat
plasebo. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terjadi
peningkatan kadar vitamin C yang berbeda bermakna pada
kelompok terapi serta perbaikan dalam pola tidur dan gejala
gastrointestinal yang bermakna, namun pada perilaku dan
kemampuan bahasa tidak berbeda bermakna (p>0,05)
Kajian sistematis yang dilakukan oleh Nye dan Bryce25
menyimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada rekomendasi
untuk penggunaan kombinasi vitamin B6 dan magnesium
untuk terapi gangguan spektrum autisme. Hal ini disebabkan
karena berbagai penelitian yang ada saat ini memiliki
keterbatasan metodologi dan jumlah sampel yang kecil.
Kesimpulan
Autisme merupakan kelainan yang kompleks, terutama
ditandai oleh gangguan fungsi berbahasa, interaksi sosial,
dan gangguan perilaku. Penatalaksanaan farmakologis
dengan prinsip menyeimbangkan fungsi neurotransmiter
merupakan dasar pendekatan terapi yang rasional. Penelitianpenelitian
terdahulu menggunakan terapi antagonis sistem
dopaminergik, pemacu sistem serotoninergik, antagonis
opioid, dan pemacu GABA. Beberapa modalitas terapi lain
seperti penggunaan suplemen vitamin dan mineral dan
penggunaan terapi imunologis telah dilaporkan pula. Hasil
kajian sistematis ini mendapatkan bahwa antagonis sistem
dopaminergik merupakan modalitas terapi yang cukup
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang baik.
Daftar Pustaka
1. Herman A. Neurobiological insights into infantile autism. The Harvard Brain
1996:9-25
2. Tonge BJ. Autism, autistic spectrum and the need for better definition. MJA
2002;176:412-3
3. Ratcliff J. Treatment and education for autistic and related communication
handicapped children. Autism Course Section 5. Bexley; 2002
4. Rapin I. Autism: current concept. N Engl J Med 1997;337(2):97-104
5. SIGN. Classification of evidence levels and grades of recommendation.Scotish
Intercolligiate Guideline Network; 2000
6. Perry P, Kuperman S. Pediatric psychopharmacology: autism. Clinical
Psychopharmacology Seminar, University of Iowa; 2003
7. McCracken JT, McGough J, Shah B, et al. Risperidone in children with autism
and serious behavioral problems. N Eng J Med 2002; 347(5):314-21
8. McDougle CJ, Holmes JP, et al. A double-blind, placebocontrolled study
of risperidone in adults with autistic disorder and other pervasive
developmental disorders. Ach Gen Psychiatry 1998;53:633-41
9. Stahl SM. Essential psychopharmacology: neuroscientific basis and practical
applications. Cambridge University Press; 2000
10. Villalba R, Harrington C. Repetitive self-injurious behavior: the emerging
potential of psychotropic intervention.Psychiatric Times 2003; 20(2)
11. Sophie HN, Swinkels W, et al. the effect of chronic naltrexone treatment in young
autistic children: a double-blind placebo controlled crossover trial. Biol
Psychiatry 1996;39:1023-31
12. Cook EH, Rowlett R, Jaselkis C. Fluoxetine treatment of children and adults with
autistic disorder and mental retardation. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
1992;31(4):734-45
13. DeLong GR, Teagoe LA, Kamran M. Effect of fluoxetine treatment in young
children with idiopathic autism. Dev Med Child Neurol 1998; 40(8):551-62
14. Fatemi SH, Realmuto Gm, Khan L, et al. Fluoxetine in treatment of adolescent
patients with autism: a longutudinal open trial. J Autism Dev Disord
1998;28(4):303-7
15. DeLongGR, Ritch CR, Burch S. Fluoxetine response in children with autistic
spectrum disorders: correlation with familial major affective disorder and
intelectual achivement. Dev Med Child Neurol 2002;44(10):652-9
16. Buchsbaum MS, Hollander E, Hazneder MM. Effect of fluoxetine on regional
cerebral metabolism in autistic spectrum disorder: a pilot study. Int J
Neuropsychopharmacol 2001; 4(2):119-25
17. Sandler AD, Sutton KA, DeWeese J, et al. Lack of benefit of a single dose of
synthetic human secretin in the treatment of autism and pervasive
developmental disorder. N Engl J Med 1999;341:1801-6
18. Owley T, Steele E, Corsello C, et al. A double-blind, placebocontrolled trial of
secretin for the treatment of autistic disorder. Med Gen 1999
19. Lightdale JR, Hayer C, Duer A, et al. Effects of intravenous secretin on language
and behaviour of children with autism and gastrointestinal symptoms: a
single blinded, open-label pilot study. Pediatrics 2001;108(5)
20. Roberts W, Weaver L, Brian J, et al. Repeated doses of porcine secretin in the
treatment of autism: a randomized, placebo-controlled trial. Pediatrics
2001;107(5)
21. Martino AD, Tuchmann RF. Antiepileptic drugs: affective use in autism spectrum
disorders. Pediatr Neurol 2001; 25:199-207
22. Esles L. the role of serotonin in autism. University of California;2000
23. Adams JB, Fabes R, Johnston C. Effect of vitamin/mineral supplements on
children with autism. Arizona State University; 2000
24. Hyman SL, Levy SE. Autistic spectrum disorders: when traditional medicine is
not enough, contemporary. Pediatrics 2000; 10:101-23
25. Nye C, Brice A. Combined vitamin B6-magnesium treatment in autism spectrum
isorder (Cochrane review). In: The Cochrane Library. Issue 2. Chichester, UK:
John Wiley & Sons, Ltd.; 2004
TINJAUAN PUSTAKA
Disain Terapi Hasil
18
10
15 Tidak ada perbedaan
efek terapi
11
Random assignment 6
8
Peneliti
(tahun)
Subjek
(n)
Dolske, dkk
(1993)
Uji klinik, buta ganda,
cross over, 10 minggu
Vitamin C,
8 g/70 kg/hari
Penurunan subjektif
gangguan perilaku
dan stereotipik
Finding, dkk
(1997)
Uji klinik, buta ganda,
cross over, 4 minggu
Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari
Tidak ada perbedaan
efek terapi,sampel
terlalu kecil
Tolbert, dkk
(1993)
Uji klinik, buta ganda,
cross over, 10 minggu
Vitamin B6 200 mg/
70kg dan Mg 100
mg/ 70 kg
Martineau, dkk
(1988)
Systematic assignment,
control group
Vitamin B6 30 mg/
kg/hari dan Mg 10
mg/kg/hari
Penurunan dopamin
di urin, respon klinis
tidak jelas dengan
skala pengukuran
yang tidak sesuai
Martineau, dkk
(1988)
Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari
Tidak ada perubahan
pada metabolit
dopamin di urin
Bolman, dkk
(1999)
Uji klinik, buta ganda,
dengan kontrol plasebo
Dimethylglisine 125
mg-350 mg/hari
Tidak ada perubahan
dalam observasi
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 173
TINJAUAN PUSTAKA
Peran serotonin pada
Gangguan spektrum Autistik
Rizaldy Pinzon*, Lucas Meliala**, Sri Sutarni**
* SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy Ambon
** Bagian IP Saraf FK UGM
Abstrak. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian terdahulu
menunjukkan kelainan neurotransmiter pada autisme. Telaah pustaka ini membahas
peran serotonin pada autisme. Serotonin merupakan neurotransmiter yang berperan
besar dalam perkembangan otak. Berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan
bahwa sebagian besar penderita autisme adalah hiperserotonemia. Hal ini mungkin
berhubungan dengan kadar serotonin yang rendah di sistem limbik, dan penurunan
sintesis serotonin di nukleus raphe. Berbagai uji klinik terdahulu menunjukkan bahwa
pemberian obat-obat yang meningkatkan serotonin di sistem limbik akan memperbaiki
gejala autisme.
Kata kunci: Autisme, serotonin, hiperserotonemia, ssrI
Pendahuluan Autisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Terminologi
yang sering digunakan adalah gangguan spektrum autistik/
autistic spectrum disorder, yang terdiri dari autisme, sindrom
Asperger atau Asperger’s Syndrome, dan Pervasive Developmental
Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS.2,3
Gangguan spektrum autisme dinyatakan sebagai gangguan
dalam empati dan defisit pada fungsi perhatian, kontrol
motorik dan persepsi. Penderita autisme akan menunjukkan
disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas komunikasi dan
kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang terbatas dan
stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Berbagai bukti dari penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa disfungsi otak dijumpai pada anak-anak dengan
autisme.1 Faktor genetik diperkirakan berperan penting
pada kejadian autisme.1,4 Hal ini didasarkan pada penemuan
autisme yang lebih sering pada anak laki-laki dibanding
perempuan (4:1).1 Faktor paparan zat kimiawi dianggap
berperan pula dalam kejadian autisme. Ada 2 faktor zat
kimiawi yang berperan pada autisme dan didukung oleh
bukti ilmiah, yaitu pemakaian thalidomide dan antikonvulsan
selama kehamilan.4
Saat ini telah disepakati secara luas bahwa autisme
merupakan kelainan neurobiologik.1 Pengetahuan tentang
aspek neuroanatomi autisme sangat dibantu oleh hasil
pemeriksaan histopatologis berbagai penelitian terdahulu.
Pengetahuan tentang kelainan neuroanatomi, neurokimiawi,
dan perubahan molekuler pada autisme akan
membantu dalam formulasi uji diagnosa dan terapi farmakologi
pada autisme.5
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200174 6
Gangguan sistem neurotransmiter sering dijumpai pada
penderita autisme, dan berhubungan dengan munculnya
gejala gangguan perilaku. Berbagai penelitian terdahulu
memperlihatkan adanya disfungsi sistem neurokimiawi
pada penderita autisme yang meliputi sistem serotonin,
norefinefrin, GABA, dan dopamin.5,6 Gangguan sistem
neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif,
obsesif kompulsif, dan stimulasi diri sendiri (self stimulating)
yang berlebih.6
Permasalahan yang ada adalah bagaimana keterlibatan
disfungsi sistem serotonin pada gangguan spektrum autistik.
Tinjauan pustaka ini secara mendalam akan membahas peran
disfungsi sistem serotonin pada autisme. Berbagai terapi
farmaka yang bekerja pada sistem serotonin akan dibahas
pula. Pembahasan dititikberatkan pada peran obatobat
tersebut pada gangguan spektrum autistik.
Metode
Studi pustaka ini dilakukan secara kualitatif dengan
mengkaji berbagai penelitian terkini. Pelacakan kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan internet, MEDLINE
database, dan pelacakan manual pada berbagai penelitian
dan kajian tentang hubungan disfungsi serotonin dan
autisme. Kata kunci yang dipergunakan adalah: autism,
serotonin, antidepressant drugs, treatment, mechanism, dan
pathophysiology.
Pembahasan
Gangguan fungsi serotonin pada penderita autisme
Serotonin dikenal juga dengan nama 5-hydroxytryptamine (5-
HT), suatu neurotransmiter yang dibentuk dari asam amino
tryptophan. Serotonin dimetabolisme oleh enzim monoamine
oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), sebuah
metabolit yang dapat digunakan untuk menilai fungsi
serotonergik sentral.7
Sistem serotoninergik pada otak manusia terbagi dalam 2
bagian besar, yaitu pada bagian rostral dan kaudal. Nukleus
bagian rostral meliputi nukleus linearis, raphe dorsalis, raphe
medialis, dan raphe pontis, yang berproyeksi hampir ke seluruh
bagian otak termasuk serebelum. Sementara nukleus bagian
kaudal terdiri dari raphe magnus, raphe pallidus, dan raphe
obscuris dengan proyeksi yang lebih terbatas pada serebelum,
batang otak, dan medula spinalis.7
Serotonin disintesa dari asam amino tryptophan, tryptophan
akan dihidroksilasi oleh enzim tryptophan hydroxylase (TPH)
menjadi 5-Hydroxytryptophan yang kemudian mengalami
dekarboksilasi menjadi serotonin oleh enzim L-aromatic
amino acid decarboxylase. Metabolisme serotonin terutama
diperantarai oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) menjadi
5-hydroxyindoleactic acid (5-HIAA).7
Serotonin yang dilepaskan ke celah sinaps akan mengalami
satu atau lebih kejadian berikut: (1) difusi dari sinaps, (2)
dimetabolisme oleh enzim MAO, (3) mengaktivasi reseptor
presinaptik, (4) mengaktivasi reseptor post sinaptik, dan
(5) mengalami ambilan kembali (reuptake) ke pre sinaptik.7
Neurotransmiter serotonin memiliki 14 reseptor yang berbeda
berdasar pada susunan protein dan lokasinya. Sebagian
reseptor serotonin berperan sebagai autoreseptor (misalnya:
5HT1A dan 5-HT1D), perangsangan autoreseptor akan
mengurangi sintesa dan pelepasan serotonin.7
Serotonin berperan dalam perkembangan otak (neurodevelopmental)
dengan cara menstimulasi neurogenesis,
berperan pada diferensiasi neuronal, perkembangan dendrit,
sinaptogenesis, dan mielinisasi akson. Kadar serotonin
diatur melalui mekanisme umpan balik, kadar serotonin
yang berlebihan akan menghentikan produksi dan pelepasan
serotonin.8
Fungsi sistem serotonin di otak ditentukan oleh
lokasi sistem proyeksinya. Proyeksi pada korteks frontal
diperlukan untuk pengaturan mood, proyeksi pada ganglia
basalis bertanggung jawab pada gangguan obsesif kompulsif.
Kecemasan dan panik diperantarai oleh fungsi serotonin
pada sistem limbik, dan gangguan tidur diperantarai oleh
kurangnya serotonin pada pusat tidur di batang otak.9
Kajian Wiznitzer10 menunjukkan bahwa serotonin berperan
dalam hal-hal berikut: (1) perkembangan sistem saraf pusat,
(2) perilaku sosial, (3) tidur, (4) agresi, (5) ansietas, dan (6)
gangguan afektif. Berbagai penemuan yang menunjukkan
adanya peran sistem serotonin pada autisme adalah sebagai
berikut:(1) dijumpai adanya hiperserotonemia pada 25%-30%
kasus autisme, (2) kadar serotonin dalam darah yang lebih
tinggi pada saudara kandung penderita autisme, (3) deplesi
kadar triptofan akan memperburuk gejala, (4) peningkatan
antibodi terhadap reseptor serotonin, (5) fungsi serotonin
yang abnormal pada pemeriksaan pencitraan (PET), dan (6)
dijumpai adanya perbaikan gejala dengan pemberian Serotonin
Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) pada penderita autisme.10
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa disfungsi
sistem serotonin pada autisme dapat disebabkan oleh halhal
berikut: (1) menurunnya sintesa, (2) menurunnya
pelepasan serotonin, (3) peningkatan ambilan kembali, (4)
menurunnya sensitivitas postsinaps, dan (5) berkurangnya
efek postsinaptik.10
Pada sebagian penderita dijumpai adanya hiperserotonemia.
Hiperserotonemia yang terjadi tidak berhubungan dengan
peningkatan volume platelet, peningkatan ambilan platelet,
peningkatan sintesis 5-HT, dan penurunan katabolisme 5-HT.
Pada penderita autisme diamati pula adanya antibodi yang
bersirkulasi dan merusak reseptor serotonin. Faktor genetik
dianggap berperan besar dalam kejadian hiperserotonemia.1
Penelitian Leboyer, dkk11 pada penderita autisme dan
keluarganya memperlihatkan bahwa hiperserotonemia terdapat
pada 51% ibu penderita, 45% ayah penderita, dan 87%
dari saudara kandung penderita.
Peningkatan kadar serotonin di dalam darah (hiperserotonemia)
akan menyebabkan penurunan sistesis serotonin
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 175
TINJAUAN PUSTAKA
di raphe nuclei. Hyperserotonemia pada penderita autisme
terutama dijumpai dengan adanya peningkatan serotonin
pada platelet. Peningkatan serotonin pada platelet dapat
disebabkan oleh karena ambilan atau uptake platelet yang
berlebih atau karena pelepasan atau release serotonin dari
platelet yang kurang. Kadar serotonin yang kurang di sinaps
atau neuron serotoninergik dapat pula disebabkan oleh
karena ambilan berlebih dari platelet.8
Perilaku melukai diri sendiri atau self injurious behaviors
merupakan masalah yang sering dijumpai pada gangguan
perkembangan pervasif atau autisme. Gangguan sistem
serotonin diduga berperan dalam perilaku melukai diri sendiri
dengan cara mengganggu pengendalian impuls. Gangguan
pengendalian impuls disebabkan oleh menurunnya aktivitas
dan fungsi 5-HT impuls. Sistem serotonin yang hiperaktif
dihubungkan dengan perilaku eksplorasi, mengambil risiko,
ide bunuh diri, perilaku impulsif dan agresif, sementara sistem
serotonin yang hipoaktif menyebabkan temperamen yang
pasif impuls.12
Isolasi sosial pada awal kehidupan akan memicu
perilaku melukai diri sendiri, hal ini dihubungkan dengan
berkurangnya cabang-cabang dendrit pada korteks dan
serebelum, perubahan anatomis pada striatum dan hipokampus,
dan menimbulkan gangguan pada kadar regional
neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin, substansia
P, dan leucine-enkephalin.12 Berbagai penelitian eksperimental
memperlihatkan adanya hubungan terbalik antara kadar
asam 5-hydroxyindole acetic acid sebagai metabolit serotonin
dengan perilaku kekerasan, mengambil risiko, dan mencederai
diri sendiri impuls.12,13
Serotonin berperan dalam pengaturan perkembangan
otak, dengan mengatur divisi sel, diferensiasi sel,
pertumbuhan neuron dan sinaps, dan pengaturan faktorfaktor
neurotropik.14 Peranan neurotransmiter serotonin
pada autisme ditunjukkan dengan hiperserotonemia pada
penderita autisme, perbaikan gejala regresi dan stereotipi
dengan pemberian obat-obat penghambat reuptake serotonin,
dan pengurangan tryptopan akan memperburuk gejala
autisme. Penderita autisme mengalami gangguan dalam
kapasitas sintesis serotonin pada masa anak-anak.14
Pada penderita epilepsi dengan autisme, serotonin
memiliki peran tersendiri dalam munculnya gangguan
perilaku. Timbulnya gangguan perilaku dan afektif pada
penderita autisme dengan epilepsi atau abnormalitas
gelombang EEG diperkirakan terjadi melalui mekanisme
kindling seizure pada amigdala. Kindling memperlihatkan
sebuah model progresivitas kerusakan neuron akibat pacuan
berulang baik subkonvulsif maupun konvulsif.15
Neurotransmiter serotoninergik diperkirakan ikut
berperan dalam terjadinya kindling pada amygdala, pemberian
agonis 5-HT1A akan menghambat pembentukan kindling,
sementara percepatan kindling teramati setelah pemberian
5-HT2A. Serotonin berperan dalam pembentukan kindling
dengan cara memodulasi munculnya discharge pada amygdala
melalui fungsi reseptor glutamat NMDA (NMethyl DAspartate).
Berbagai obat antiepilepsi memiliki efek yang
poten terhadap sistem serotoninergik.15
Penggunaan terapi farmakologi yang berperan pada
sistem serotoninergik
Agonis 5-Ht
Kelompok agonis 5-HT yang paling banyak digunakan
dalam penelitian terapi autisme adalah fenfluramine.
Fenfluramine merupakan kelompok agonis 5-HT indirek yang
memacu pelepasan 5-HT presinaps dan menghambat ambilan
kembali (reuptake) oleh neuron 5-HT.7 Fenfluramine juga
mempercepat pemecahan dopamin yang ditunjukkan dengan
adanya peningkatan ekskresi metabolit utama dopamin, yaitu
homovanilic acid (HVA).6
Fenfluramine akan menginduksi pelepasan cepat serotonin
dari neuron. Pemakaian fenfluramine jangka panjang akan
menyebabkan deplesi serotonin di neuron dan penurunan
fungsi enzim tryptophan hydroxylase (TPH), dengan mekanisme
yang tidak diketahui secara pasti. Saat ini fenfluramine telah
ditarik dari pasaran obat di Amerika Serikat karena efek
samping kerusakan katup jantung dan hipertensi pulmoner.7
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
bekerja terutama pada terminal akson presinaptik dengan
menghambat ambilan kembali serotonin. Penghambatan
ambilan kembali serotonin diakibatkan oleh ikatan obat
(misalnya: fluoxetine) pada transporter ambilan kembali yang
spesifik, sehingga tidak ada lagi neurotransmiter serotonin
yang dapat berikatan dengan transporter. Hal tersebut akan
menyebabkan serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps.
Penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
terutama ditujukan untuk memperbaiki perilaku stereotipik,
perilaku melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan halhal
rutin, dan ritual obsesif dengan ansietas yang tinggi.16
Salah satu alasan utama pemilihan obat-obat penghambat
reuptake serotonin yang selektif adalah keamanan terapi.17
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian fluoxetine
adalah nausea, disfungsi seksual, nyeri kepala, dan mulut
kering. Tolerabilitas SSRI yang relatif baik disebabkan
oleh karena sifat selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak
berinteraksi dengan reseptor neurotransmiter lainnya.18
Penelitian Awad17 dengan metode pengamatan kasus serial
atau case series terhadap 8 subjek. Tindakan terapi ditujukan
untuk mengatasi gejala-gejala disruptif, dan dimulai dengan
fluoxetine dosis 10 mg/hari dengan pengamatan selama 1
bulan. Perbaikan paling nyata dijumpai pada gangguan
obsesif dan gejala cemas. Tabel 1 memperlihatkan penelitianpenelitian
terdahulu tentang penggunaan fluoxetine dalam
terapi autisme.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200176 6
Tabel 1. Penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan
fluoxetine untuk terapi autisme19-22
Penelitian Buchsbaum, dkk23 mengukur efek pemberian
fluoxetine terhadap aliran darah regional dan tingkat
metabolisme otak. Penelitian dilakukan pada 6 pasien dewasa
autisme dengan penggunaan Possitron Emission Tomography.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan tingkat
metabolisme di regio frontal kanan (terutama gyrus cinguli
anterior dan korteks orbito-frontal) pada penderita yang
diberikan terapi fluoxetine.
Antidepresan trisiklik
Clomipramine merupakan golongan antidepresan trisiklik
yang digunakan sebagai terapi gangguan obsesif-kompulsif
dan autisme. Agen terapi obsesif-kompulsif pada autisme
terutama digunakan untuk mengurangi perilaku stereotipik
dan gerakan yang berulang-ulang, meningkatkan interaksi
sosial, dan menurunkan kecenderungan agresivitas.8
Mekanisme kerja utama clomipramine adalah menghambat
ambilan kembali (reuptake) 5-HT dan norepinefrine. Lima
penelitian terdahulu tentang clomipramine sebagai terapi
autisme masih bervariasi dan belum konklusif. Perbaikan
gejala hiperaktivitas, stereotipik, kompulsif, perilaku yang
ritual, dan kemarahan diamati pada sebagian besar kasus,
namun ada pula penderita yang menunjukkan perburukan
gejala. Pada kelompok anak-anak pemberian clomipramine
memerlukan monitor EKG yang ketat karena kemungkinan
efek samping takikardia dan perpanjangan interval QT.6
Kesimpulan
Autisme merupakan kelainan yang kompleks, terutama
ditandai oleh gangguan fungsi berbahasa, interaksi sosial,
dan gangguan perilaku. Morbiditas epilepsi dan retardasi
mental dilaporkan tinggi pula. Aspek neuroanatomi yang
mendasari munculnya autisme sangat kompleks. Gangguan
neurotransmiter dianggap berperan pula dalam patofisiologi
autisme. Gangguan yang terjadi terutama pada sistem
dopaminergik, serotoninergik, dan GABA. Gangguan pada
sistem neurotransmiter dianggap bertanggung jawab pada
berbagai gangguan perilaku yang muncul pada autisme.
Peranan neurotransmiter serotonin pada autisme ditunjukkan
dengan hiperserotonemia pada penderita autisme, perbaikan
gejala regresi dan stereotipi dengan pemberian obat-obat
penghambat reuptake serotonin, dan pengurangan tryptophan
akan memperburuk gejala autisme. Obat-obat yang bekerja
pada sistem serotonin banyak dipergunakan dalam terapi
autisme. Namun bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya
kurang kuat, sehingga diperlukan suatu uji klinik double blind
randomisasi di waktu mendatang.
Daftar Pustaka
1. Herman A. Neurobiological insights into infantile autism. The Harvard Brain
1996:19-25
2. Tonge BJ. Autism, autistic spectrum and the need for better definition. MJA
2002; 176:412-3
3. Pusponegoro HD. Pandangan umum mengenai klasifikasi spektrum gangguan
autistik dan kelainan susunan saraf pusat. Konferensi Nasional Autisme
Pertama. Jakarta; 2003
4. Szatmari P. the causes of autism spectrum disorder: multiple factors has
been identified, but a unifying cascade of events is still elusive. BMJ
2003; 326:173-4
5. Rapin I. Autism: current concept. N Engl J Med 1997; 337(2):97-104
6. Perry P, Kuperman S. Pediatric psychopharmacology: autism, clinical
psychopharmacology seminar. University of Iowa; 2003
7. Nestler EJ, Hyman SE, Malenka RC. Molecular neuropharmacology: a
foundation for clinical neuroscience. McGraw-Hill Companies; 2001
8. Esles L. the role of serotonin in autism. University of California;2000
9. Stahl SM. Essential psychopharmacology: neuroscientific basis and practical
applications. Cambridge University Press; 2000
10. Wiznitzer M. Autism spectrum disorder in 2002: an update. Cleveland Ohio,
USA:Western Reserve University; 2002
11. Leboyer M, Philippe A, Bouvard M, et al. Whole blood serotonin and plasma
beta endorphin in autistic probands and their first degree relatives. Biol
Psychiatry 1999; 45:158-63
12. Villalba R, Harrington C, repetitive self-injurious behavior: the emerging
potential of psychotropic intervention. Psychiatric Times 2003; 20(2)
13. Levin AL. Neurobiological aspects of agression. Neuropsychiatry Bulletin 2002
14. Schultz RT. The Neural basis of autism. International Encylopedia of the Social
and Behavioral SciencesNew York: Elsevier Science, 2001.p.983-7
15. Martino AD, Tuchmann RF. Antiepileptic drugs: affective use in autism
spectrum disorders. Pediatr Neurol 2001; 25:199-207
16. Widyawati I. Manajemen multidisiplin pada individu dengan autistic spectrum
disorder. Konferensi Nasional Autisme Pertama. Jakarta; 2003
17. Awad GA. the use of selective serotonin reuptake inhibitors in young children
with pervasive developmental disorders: some clinical observations. Can
J Psychiatry 1996; 41(6):361-6
18. Ferguson JM. ssrI, anti depressant medications, adverse effects and
tolerability. J Clin Psychiatry 2001; 3:22-7
19. Cook EH, Rowlett R, Jaselkis C. fluoxetine treatment of children and adults
with autistic disorder and mental retardation. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry 1992; 31(4):734-45
20. DeLong GR, Teagoe LA, Kamran M. Effect of fluoxetine treatment in young
children with idiopathic autism. Dev Med Child Neurol 1998; 40(8):551-62
21. Fatemi SH, Realmuto Gm, Khan L, et al. fluoxetine in treatment of adolescent
patients with autism: a longutudinal open trial. J Autism Dev Disord 1998;
28(4):303-7
22. DeLongGR, Ritch CR, Burch S. fluoxetine response in children with autistic
spectrum disorders: correlation with familial major affective disorder and
intelectual achivement. Dev Med Child Neurol 2002; 44(10): 652-9
23. Buchsbaum MS, Hollander E, Hazneder MM. Effect of fluoxetine on regional
cerebral metabolism in autistic spectrum disorder: a pilot study. Int J
Neuropsychopharmacol 2001; 4(2):119-25
TINJAUAN PUSTAKA
Disain Terapi Subjek
Open label trial 23 penderita
autisme
Open label trial Fluoxetine
Kajian data
retrospektif
Fluoxetine
20-80 mg/hari
Perbaikan pada Global
Clinical Impressions
pada 15 (65%) subjek
37 anak
autisme usia
antara 2-7 tahun
Perbaikan pada Independent
Developmental Testing
pada 22 (59%) subjek
Fluoxetine
20-80 mg/hari
7 pasien usia
9-20 tahun
Perbaikan Abberant
Behaviour Checklist
dalam hal iritabiltas 21%,
letargi 37%, stereotipik 27%,
dan gangguan bicara 21%
Open label trial
selama 1 tahun
Fluoxetine
20 mg/hari
12 pasien usia
3-13 tahun
Perbaikan pada
Global Clinical Impressions
Open label trial
(post hoc analysis)
selama rata-rata
32-36 bulan
Fluoxetine
0,15-0,5
mg/kg
129 anak
autisme
usia 2-8 tahun
Respon pada Autism
Diagnostic Observation
Schedule
- Sangat baik pada 17% kasus
- Baik pada 52% kasus
- Buruk pada 31% kasus
Hasil penelitian
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 177
Konsep Baru Kortikosteroid
Pada Penanganan Sepsis
IGP Suka Aryana, Sjaiful I Biran
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar - Bali
Abstrak. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat infeksi. Mekanisme terjadinya sepsis masih merupakan
mekanisme yang tidak sepenuhnya jelas. Sepsis yang sebelumnya dianggap sebagai peningkatan respon
inflamasi ternyata juga peningkatan respon antiinflamasi. Pada sepsis ternyata terjadi keadaan imunosupresif
di mana didapatkan peningkatan respon antiinflamasi, anergi dan apoptosis sel imun. Peranan genetik
juga berpengaruh pada prognosis dari sepsis. Pengobatan kortikosteroid masih merupakan kontroversi.
Penelitian-penelitian terbaru membuktikan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi tidak ada
manfaatnya pada terapi sepsis dan syok sepsis. Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid dosis rendah, dosis fisiologis dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik, perbaikan fungsi
organ dan menurunkan mortalitas. Tetapi belum banyak studi yang membuktikan hal tersebut. Pengobatan
kortikosteroid dosis rendah sebaiknya diberikan pada penderita sepsis dengan disertai adanya adrenal
insufisiensi.
Kata kunci: sepsis, kortikosteroid, proinflamsi, antiinflamasi
Pendahuluan Sepsis adalah merupakan respon inflamasi yang bersifat
sistemik akibat adanya infeksi berat. Respon imun
sistemik muncul setelah respon imun lokal tidak
berhasil mengeliminasi antigen dengan baik. Respon ini
dikenal sebagai istilah Systemic Inflammatory Responses
Syndrome (SIRS). Keberhasilan dari respon ini ditentukan
oleh kekuatan proses inflamasi dan keseimbangan antara
respon inflamasi dan kompensasi respon antiinflamasi.1,2
Beberapa istilah yang harus dipahami sehubungan dengan
sepsis antara lain infeksi, bakterimia, SIRS, sepsis, severe
sepsis, syok sepsis, dan Multiorgan Dysfunction (MOD). Infeksi
adalah respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme atau
invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril.
Bakterimia adalah ditemukannya bakteri pada darah. Systemic
Inflammatory Responses Syndrome adalah respon inflamasi
sistemik akibat berbagai sebab dengan 2 atau lebih manifestasi
berikut: temperatur >38oC atau <36oC, denyut jantung >90
kali/menit, respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg,
dan leukosit >12.000/mm2, <4.000/mm2 atau >10% bentuk
(band) immature. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik
akibat infeksi dengan manifestasi SIRS. Severe sepsis adalah
sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi dan kadang disertai laktoasidosis, oligouri dan
penurunan kesadaran. Syok sepsis adalah bagian dari severe
sepsis yang disertai dengan hipotensi. Multiorgan Dysfunction
adalah sepsis yang disertai dengan adanya gangguan fungsi
organ akibat homeostasis tidak bisa dipertahankan.1-3
Insiden sepsis mempunyai kecenderungan terus
meningkat. Sepsis merupakan penyebab kematian terpenting
pasien-pasien yang di rawat di ruang intensif. Laporan Central
Disease Control (CDC) di Amerika, insiden septikemia
meningkat dari 73,6 per 100.000 pasien pada tahun 1979
menjadi 175,9 per 100.000 pasien pada tahun 1987. Laporan
terakhir tahun 1990 insiden septikemia di Amerika 450.000
kasus pertahun dengan angka kematian lebih dari 100.000
orang.2,4 Di Eropa didapatkan 2-11% pasien yang dirawat
di Intensive Care Unit (ICU) menderita severe sepsis. Angka
mortalitas dari syok sepsis berkisar 40%. Angka kematian
sepsis di Amerika didapatkan lebih rendah, yaitu 9,3% pada
tahun 1995. Total biaya yang diperlukan per kasus berkisar
22.10 dolar. Tingginya angka mortalitas membuat sepsis
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200178 6
semakin diperdebatkan dalam hal patogenesis dan terapi
yang terus berkembang. Terapi kortikosteroid telah dimulai
sejak tahun 1950 ternyata masih menjadi perdebatan.
Pada tinjauan pustaka ini akan kami uraikan secara praktis
penggunaan kortikosteroid dalam terapi sepsis.1,2,5
Patofisiologi Sepsis
Sistem kekebalan alami (nonspesifik) adalah pertahanan
lini pertama tubuh terhadap infeksi yang diaktifkan bila ada
patogen masuk melewati pertahanan fisik, mekanik dan
kimiawi tubuh. Sistem kekebalan alami bisa berupa seluler
yang terdiri dari sel monosit, makrofag, neutrofil, eosinofil dan
sel Natural Killer (NK) dan humoral berupa protein terlarut
seperti komplemen, C Reactive Protein (CRP) dan sitokin.
Sistem kekebalan yang didapat (spesifik) akan membantu
sistem kekebalan alami melalui aktivitas dari sel limfosit.
Limfosit T bersifat seluler dan limfosit B bersifat humoral.
Sistem imun akan diaktifkan oleh protein patogen yang
dapat berasal dari berbagai jenis mikroorganisme, misalnya
endotoksin (lipopolysaccharide), peptidoglycan, lipoechoic acid,
lipopeptide, flagelin, mannan dan RNA virus. Kegagalan sistem
imun mengatasi infeksi dan menimbulkan reaksi imun yang
tidak sesuai dikatakan sebagai sepsis.4 Elemen kunci pada
patofisiologi sepsis adalah sitokin. Sitokin yang dihasilkan
oleh sel yang mengalami injuri bersifat sebagai peptida
imunoregulator yang polimorfik. Sitokin Tumor Necrosing
Factor (TNF), interleukin(IL)-1 dan IL-8 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-6, IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi.6
Toksin mikroba akan merangsang produksi TNF dan IL-1
menyebabkan terjadinya adhesi dari lekosit pada endotel dan
mensekresi protese dan metabolit arakidonat. Hal ini akan
mengaktifasi sistem pembekuan.6 Jadi ada beberapa faktor
yang berperan pada proses ini, yaitu: respon tubuh, peranan
sel endotel dan monosit dan aktivasi sistem inflamasi dan
koagulasi. Ketiga hal ini berperan dalam menentukan
prognosis dari pasien sepsis. Inflamasi dan koagulasi
merupakan 2 keadaan yang akan saling berpengaruh untuk
menentukan prognosis pasien yang mengalami infeksi.
Adanya infeksi menghasilkan endotoksin atau toksin
akan meningkatkan sitokin proinflamasi. Reaksi dari sitokin
proinflamasi ini yang bermanifestasi sistemik sebagai (Systemic
Inflamatory Responses Syndrome) SIRS. SIRS ditandai
dengan adanya hipersitokinemia. Peningkatan respon imun
berlebihan ternyata berakibat buruk pada pasien. Pasien
dapat mengalami fase syok dan MOD dan berakhir pada
Multiple Organ Faillure (MOF) dan kematian. Pada SIRS
terjadi patogenesis yang sangat kompleks, melibatkan banyak
sel, dan merangsang sekresi berbagai hormon. Terapi tidak
akan berhasil jika berkerja hanya pada satu titik saja. Terapi
dengan antibodi antiTNF gagal menunjukan hasil bermakna
pada peningkatan angka harapan hidup pasien dengan sepsis
berat.1,7 Hal ini menimbulkan munculnya teori baru tentang
sepsis tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa
ternyata pada sepsis tidak ada bukti bahwa peran reaksi
proinflamasi lebih dominan. Hal ini yang menyebabkan
kita harus lebih banyak mengerti konsep baru di mana
ditambahkan 2 istilah baru yang dapat terjadi pada sepsis,
yaitu Compensatory Anti Inflammatory Responses (CARS)
dan Mixed Proinflammatory and Antiinflammatory Responses
(MARS).1,7
Gambar 1. Konsep baru sepsis
Imunomodulasi pada sepsis sangat kompleks dan saling
tumpang tindih. Konsep baru ini menjelaskan bahwa ada 5
tahapan terjadinya MOD pada sepsis, yaitu:2
1. Stadium reaksi lokal
Respon awal tubuh adalah menginduksi mediator
proinflamasi untuk menghancurkan jaringan yang rusak,
benda asing, kuman dan merangsang pertumbuhan
jaringan baru. Kompensasi mediator antiinflamasi segera
muncul untuk mencegah agar proinflamasi tidak terlalu
destruktif. IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, reseptor TNFa
terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth factor
TINJAUAN PUSTAKA
Respon
proinflamasi
lokal
Respon
antiinflamasi
lokal
Sebaran sistemik
mediator proinflamasi
Luka awal
(bakteri, virus,
kondisi traumatis,
termal)
Sebaran sistemik
mediator antiinflamasi
Reaksi
sistemik:
SIRS (proinflamasi)
CARS (antiinflamasi)
MARS
(campuran)
C
Cardiovascular
compromise
(syok)
SIRS
Predominate
H
Homeostatis
Keseimbangan
CARS dan SIRS
A
Apoptosis
(sel-sel mati)
Kematian
dengan inflamasi
minimal
O
Disfungsi organ
SIRS
mendominasi
S
Supresi sistem
organ
CARS
mendominasi
Elemen kunci pada patofisiologi
sepsis adalah sitokin. Sitokin yang
dihasilkan oleh sel yang mengalami
injuri bersifat sebagai peptida
imunoregulator yang polimorfik.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 179
TINJAUAN PUSTAKA
(TGF)b dan mediator lainnya bertujuan mengurangi
ekspresi Major Histocompability Complex (MHC) klas II,
menurunkan aktivitas Antigen Precipating Cell (APC),
dan menurunkan aktivitas sel untuk memproduksi sitokin
inflamasi. Semua reaksi ini berlangsung lokal tanpa reaksi
sistemik berlebihan.
2. Stadium respon sistemik awal
Bila mediator proinflamasi didapatkan dalam sirkulasi
menandakan bahwa kerusakan/kuman tidak dapat
dikontrol oleh reaksi lokal saja. Mediator proinflamasi
bertujuan membantu menarik neutrofil, sel limfosit T,
dan B, trombosit dan faktor koagulasi untuk datang ke
injury location atau infeksi. Reaksi ini akan merangsang
respon kompensasi sistemik antiinflamasi. Tetapi respon
ini akan segera menurunkan respon sistemik proinflamasi.
Manifestasi klinis akan muncul tetapi tidak berat dan
jarang menimbulkan disfungsi organ.
3. Stadium inflamasi sistemik masif
Pada stadium ini terjadi kehilangan mekanisme regulasi
respon proinflamasi sehingga timbul manifestasi klinis
SIRS. Hal ini terjadi akibat dari: (1) progresivitas disfungsi
endotel sehingga terjadi peningkatan permiabilitas
mikrokapiler; (2) Trombosit yang memblok mikrosirkulasi
sehingga timbul iskemia atau injuri reperfusi dan
menginduksi Heat Shock Protein (HSP); (3) aktivasi
sistem koagulasi dan gangguan jalur inhibisi protein C dan
protein S; (4) adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran
darah sehingga pasien jatuh pada fase syok. Pada stadium
ini merupakan ancaman terjadinya disfungsi organ dan
MOF bila homeostasis tidak segera diatasi.
4. Stadium imunosupresi masif
Pada keadaan ini terjadi reaksi antiinflamasi kompensasi
yang tidak efektif dan menyebabkan terjadinya
imunodefisiensi. Keadaan ini sering disebut sebagai
immune paralysis atau CARS. Pada suatu penelitian
didapatkan bahwa pada pasien dengan SIRS. Pada CARS
didapatkan ekspresi human leucocyte antigen (HLA)
DR monosit menurun kurang dari 30%. Penambahan
interferon (IFN) g-1b dapat meningkatkan ekspresi HLA
DR pada permukaan monosit sehingga memperbaiki
fungsi monosit dan sekresi IL-6 dan TNFa sehingga
kondisi pasien membaik.
5. Stadium imunologi dissonance
Stadium akhir dari sepsis adalah imunologis dissonance,
jadi terjadi ketidaksesuaian atau sistem imunomodulator
berada di luar keseimbangan. Keadaan ini sering dianggap
sebagai keadaan yang persisten sehingga mempunyai
angka kematian yang tinggi.
Adanya kenyataan seperti ini berarti masih banyak
misteri sepsis yang belum terungkap dengan jelas. Sepsis yang
didefinisikan sebagai respon inflamasi sistemik ternyata tidak
sepenuhnya terjadi respon inflamasi. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa penelitian yang mencoba memberikan terapi
antiinflamasi dengan kortikosteroid, antibodi antiendotoksin,
antagonis TNF, antagonis reseptor IL-1 dan lainnya ternyata
gagal sebagai terapi pada sepsis. Penelitian lain mendapatkan
bahwa ternyata sepsis adalah suatu kondisi imunosupresif.
Hal ini didasari oleh didapatkannya bukti bahwa pada sepsis
terjadi kehilangan kemampuan pada reaksi hipersensitivitas
tipe lambat dan kemampuan eliminasi infeksi sehingga pada
sepsis mudah terjadi infeksi nosokomial. Ada beberapa teori
yang menjelaskan terjadinya imunosupresif pada sepsis,
yaitu: (1) perubahan/pergantian sitokin yang mulanya
proinflamasi menjadi antiinflamasi, (2) anergi: penurunan
respon terhadap antigen akibat kegagalan proliferasi dan
sekresi sitokin sehubungan dengan terjadinya apoptosis
limfosit akibat sepsis, (3) kematian sel imun akibat terjadinya
apoptosis baik pada sel B, sel T CD4 maupun sel dentritik
folikular. Peranan genetik dikatakan ikut mempengaruhi
prognosis pasien. Neutrofil yang sebelumnya diduga dapat
mengeradikasi kuman patogen ternyata juga dapat berakibat
kerusakan jaringan yang lebih luas karena produksi oksidan
dan protease yang berlebihan.8 Karena mekanisme sepsis
yang masih belum jelas diketahui, maka terapi kortikosteroid
juga masih merupakan kontroversi dan masih diperdebatkan.
Beberapa penelitian baru telah menunjukkan adanya manfaat
dari terapi kortikosteroid tersebut.
Perkembangan Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi
Sepsis
Kortikosteroid telah banyak digunakan pada beberapa
penyakit yang ditandai dengan peningkatan respon inflamasi
seperti asma, penyakit kolagen, vaskulitis, sarcoidosis dan
penyakit lainnya. Pada syok sepsis terjadi peningkatan respon
inflamasi yang disertai dengan manifestasi syok dengan
penurunan kesadaran, laktoasidosis, dan penurunan produksi
urin. Kortikosteroid dikatakan dapat mengatasi respon inflamasi
ini melalui beberapa cara seperti terlihat pada tabel 1.1
Beberapa penelitian sebelumnya
mendapatkan bahwa ternyata
pada sepsis tidak ada
bukti bahwa peran
reaksi proinflamasi
lebih dominan.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200180 6
Tabel 1. Efek kortikosteroid sebagai antiinflamasi1
Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek
adrenal pada orang sehat tanpa stress mempunyai kadar
diurnal sesuai dengan rangsangan kortikotropin yang disekresi
oleh kelenjar pituitaria. Sekresi kortikotropin dirangsang
oleh Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang berasal
dari hipotalamus (gambar 3). Kedua hormon ini mempunyai
negative feedback control. Kortisol dalam darah terikat dengan
Corticosteroid Binding Globulin (CBG), di mana <10% dalam
bentuk bebas. Pada keadaan infeksi berat/sepsis, trauma, luka
bakar, dan operasi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol
akibat peningkatan sekresi hormon kortikotropin dan CRH.
Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga
variasi diurnal sekresi kortisol tidak normal. Gangguan pada
mekanisme aksis hipotalamus-pituitaria-adrenal dikatakan
disebabkan oleh banyaknya sitokin di dalam sirkulasi pada
keadaan tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan
CGB sehingga kortisol bebas akan semakin tinggi. Proses
inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan
kortisol oleh enzim neutrofil elastase. Sitokin inflamasi
juga dapat meningkatkan kortisol di jaringan karena
sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan
meningkatkan afinitas reseptor glukokortikoid terhadap
kortisol. Tetapi tingginya kadar sitokin inflamasi pada sepsis
secara langsung dapat menghambat sintesis kortisol oleh
adrenal. Pemberian terapi kortikosteroid jangka lama dapat
menekan sekresi kortikotropin dan CRH akan menimbulkan
atropi adrenal terutama jika mendapat hidrokortison 30 mg
perhari selama lebih dari 3 minggu. Pada keadaan kadar
sitokin yang rendah dalam darah jaringan akan lebih sensitif
terhadap kortisol dibandingkan dengan keadaan sitokin
tinggi yang akan menyebabkan terjadi resistensi. Hal ini
menandakan perlukan respon adrenal yang normal untuk
dapat mengontrol inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai
functional adrenal insufficiency atau relative adrenal insufficiency
artinya walaupun kadar kortisol tinggi tetapi belum cukup
untuk menekan proses inflamasi.1,9
Gambar 2. Aksis hipotalamus-pituitaria-adrenal
Konsep Lama Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi
Sepsis
Sejak tahun 1950 penggunaan kortikosteroid pada sepsis
sudah diperdebatkan.1 Beberapa penelitian yang dilakukan
dari tahun 1950 sampai tahun 1971 menunjukkan banyaknya
kortikosteroid digunakan pada sepsis oleh karena bakteri.
Hasil-hasil penelitian ini sulit dievaluasi karena banyaknya
data-data dan metode yang tidak valid.5 Pada tahun 1970-an
beberapa penelitian menggunakan kortikosteroid dosis tinggi
pada sepsis berat dan syok sepsis. Schumer dkk., mendapatkan
pada studi prospektifnya bahwa pemberian metilprednisolon
30 mg/kg berat badan (BB) atau deksametason 3 mg/kg BB
diberikan 1 atau 2 kali dalam 24 jam dapat menurunkan
angka kematian dari 38,4% menjadi 10,5%. Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi didasarkan pada asumsi bahwa
pemberian kortikosteroid dosis tinggi akan dapat menguatkan
efek antiinflamasi untuk melawan efek proinflamasi yang
tidak terkontrol. Pemberian kortikosteroid juga diharapkan
dapat mengobati relative adrenal insufficiency yang biasanya
terjadi pada pasien sepsis.1,10-13
Konsep Baru Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi
Sepsis
Banyak studi mendapatkan bahwa pemberian
kortikosteroid dosis tinggi pada sepsis tidak bermanfaat
bahkan dapat merugikan karena dapat menimbulkan infeksi
sekunder, perdarahan saluran cerna dan peningkatan gula
darah. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah masih
diharapkan bermanfaat karena dapat menurunkan efek
kerusakan sistem imunologis dan menurunkan insiden
TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi nonstres normal
hipofisis andrenal
Hipotalamus
Corticotropin
releasing hormonie
Hipofisis
Kortikotropin
Andrenal
Terikatnya kortisol dengan
kortikosteroid - mengikat globulin
Aksis normal
pada jaringan
Fungsi normal aksis hipotalamushipofisis-
adrenal selama sakit
Mengurangi
asupan balik
Kortikotropin
melepaskan
hormon
Stress sitokin
Kortikotropin
Meningkatkan kortisol dan menurunkan
kortikostenoid-mengikat globulin
Sitokin, aktivasi
kortikostenoid lokal
Meningkatkan aksi
pada jaringan
Fungsi normal aksis hipotalamushipofisis-
adrenal selama sakit
penyakit sistem
saraf pusat,
Pelepasan hormon kortikostroid
kortikotropin Apoplexy hipofisis,
kortikosteroid
Kortikotropin Sitokin anastesi,
antiinfeksi,
kortikosteroid
hemorrhage
infeksi termasuk
infutrasi HIV
Menurunkan kortisol dan menurunkan
kortikosteroid-mengikat globulin
Menurunkan aksi
pada jaringan
A B C
Efek pada lipokortin:
1. Meningkatkan respon PMN pada rangsangan
2. Hambatan phospholipase A2 dan cegah aktivasi
prostaglandin
3. Perubahan membran sel pada pengikatan kalsium
4. Hambat kemampuan netrofil untuk melepaskan metabolit
oksigen aktif
Efek pada interleukin:
1. Hambat sintesis IL-1 dan hambat IL-6
2. Menurunkan waktu paruh mRNA IL-3
3. Down egulasi sitokin dan growth factor
4. Cegah TNF dan IL-1 dilepas oleh sel mononuklear
Efek pada netrofil:
1. Stabilisasi lisosom neutrofil
2. Hambat pelepasan enzim lisosom
3. Menormalkan respon inflamasi
4. Cegah hiperagregasi dan adesi lekosit oleh endotoksin
Lain-lain:
1. Cegah aktivitas kaskade koagulasi
2. Hambat sintesis NO eksogen
3. Menurunkan platelet-activating factor selama rangsangan
endotoksin
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 181
TINJAUAN PUSTAKA
terjadinya infeksi sekunder. Terapi ini menjadi rasional karena
dianggap pada keadaan sepsis terjadi relatif defisiensi adrenal.
Terapi ini sering disebut sebagai terapi fisiologi/replacement
dari kortikosteroid.5
Metaanalisis terakhir oleh Minneci mendapatkan bahwa
terapi kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu pendek dapat
menurunkan harapan hidup, sedangkan terapi kortikosteroid
dosis selama 5-7 hari dapat meningkatan umur harapan
hidup, dapat memperbaiki kondisi syok dan meningkatkan
respon vaskular terhadap vasopresor.11,14,15
Kelenjar adrenal mensekresi kortisol pada saat ada
stressor seperti pada sepsis. Baik tinggi maupun rendahnya
kadar kortisol endogen yang disekresi akan berhubungan
dengan mortalitas yang terjadi pada penderita sepsis.
Manfaat dari kortisol adalah dapat sebagai antiinflamasi
(menghambat sekresi sitokin dan migrasi sel radang) dan
efek kardiovaskularnya dapat menghambat rangsangan
sintesis Nitric Oxide (NO) dan meningkatkan respon
vasokonstriksi vaskular terhadap katekolamin.16 Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi tidak dianjurkan karena lebih
banyak merugikan. Pemberian kortikosteroid dosis rendah
dikatakan lebih memberikan manfaat tetapi masih belum
disepakati. Penelitian terbaru yang sedang berjalan dilakukan
oleh Sprung dkk., dalam studi yang disebut CORTICUS
akan menjawab pertanyaan penggunaan steroid pada sepsis.
Sementara menunggu hasil studi pemberian kortikosteroid
dosis rendah hanya direkomendasi apabila didapatkan adanya
adrenal insufisiensi pada sepsis.12-14,17
Kesimpulan
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat infeksi.
Mekanisme terjadinya sepsis masih merupakan mekanisme
yang tidak sepenuhnya jelas. Sepsis merupakan kombinasi
kompleks peningkatan respon inflamasi, peningkatan respon
antiinflamasi, dan genetik. Pengobatan kortikosteroid
masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian baru
menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dosis rendah,
dosis fisiologis dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik,
perbaikan fungsi organ dan menurunkan mortalitas.
Daftar Pustaka
1. Chacko J. Steroid in sepsis. Crit Care & Shock 2004; 7:129-33
2. Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple
dysfunction syndrome. Blood 2003; 101:3765-77
3. Abraham E, Matthay MA, Dinarello CA, et al. Consensus conference
definitions for sepsis septic shock, acute lung injury, and acute
respiratory distress syndrome: time for a reevaluation. Crit Care
Med 2000;28:232-5.
4. Bochud PY, Calandra. Pathogenesis of sepsis: new concepts and
implications for future treatment. BMJ 2003; 326:262-6
5. Sessler CN. Steroid for septic shock. Back from the dead?(Con).
Chest 2003; 123:482S-489S
6. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl
J Med 1999; 340:207-14
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis
of the disease process. Chest 1997; 112:235-43
8. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis.
N Engl J Med 2003; 384:138-50
9. Cooper MS, Stewart. Coricosteroid insuffeciency in acutle ill patients.
N Engl J Med 2003; 348:727-34
10. Lamberts SW, Bruining HA, DeJong FH. Corticosteroid therapy in
severe illness. N Engl J Med 1997; 337:1285-92
11. Minneci PC, Deans KJ, Banks SM, et al. Meta-analysis: the effect of
steroid on survival and shock during sepsis depends on the dose. Ann
Intern Med 2004; 141:47-56
12. Luce MJ. Physician should administer low dose corticosteroid
selectively to septic patients untill an ongoing trial is completed.
Ann Intern Med 2004; 141:70-2
13. Bornstein SR. A new role for glucocorticoid in septic shock. Am J
Respir Crit Care Med 2003; 167:485-9
14. Balk RA. Steroid for septic shock. Back from the dead?(pro). Chest
2003; 123:490S-499S
15. VanAmersfoort ES, VanBerkel TJ, Kuiper J. Receptors, mediators, and
mechanism involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin
Microbiol R 2003; 16:379-414
16. Burry LD, Pharm B. Role of corticosteroids in septic shock. Annals
Pharm 2004; 38:464-72(abstract)
17. Annene D, Bellisant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid for severe
sepsis and septic shock: a systematic review and meta-analysis.
BMJ 2004; 329:480
Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi didasarkan pada
asumsi bahwa pemberian
kortikosteroid dosis tinggi
akan dapat menguatkan efek
antiinflamasi untuk melawan
efek proinflamasi yang
tidak terkontrol.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200182 6
Patogenesis dan Respon Imun Tubuh
terhadap Infeksi Virus Herpes Simpleks
Ary Widhyasti Bandem, Satiti Retno Pudjiati
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito
Yogyakarta
Pendahuluan Herpes Genitalis (HG) adalah infeksi genital yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS)
ditandai secara klasik dengan timbulnya erupsi
papulovesikular dengan dasar eritema pada kulit, dan pada
mukosa dengan mudah menjadi ulkus dangkal. Virus Herpes
Simpleks merupakan virus DNA dari famili Herpesviridae
dan menginfeksi epitel mukokutan secara inokulasi langsung
melalui lesi abrasi. Pada saat terjadinya infeksi di mukokutan,
VHS juga menginfeksi sel saraf sensoris, menuju ganglion
sakralis (S2-S4), selanjutnya menetap sebagai infeksi laten.
Pada beberapa keadaan seperti adanya trauma lokal, menstruasi,
stres emosi, demam, dan paparan sinar ultraviolet, VHS ini
mengalami reaktivasi, secara axonal kembali ke mukokutan
dan memberikan gambaran klinis sebagai infeksi rekuren.1-8
Prevalensi HG di Amerika Serikat meningkat dari 100.000
di tahun 1970-an menjadi 200.000 di tahun 1990. Hal ini di
samping karena jumlah kasus yang memang meningkat, juga
disebabkan karena perbaikan dalam menegakkan diagnosis
dan meningkatnya kepedulian pasien.9 Pada tahun 1988-1994,
seroprevalensi VHS-2 pada penduduk Amerika Serikat yang
berusia di atas 12 tahun sebesar 21,9% dari 45 juta penduduk
yang terinfeksi. Saat ini secara nasional di Amerika Serikat
dideteksi VHS-2 positif pada 1 dari 5 orang yang berusia di atas
12 tahun.6 VHS-1 sebagai penyebab HG di Amerika Serikat
telah didapatkan meningkat sampai 20% dan disebabkan
karena dari hubungan oral-genital.10
Manifestasi klinis HG bervariasi, dikenal dengan infeksi
primer, infeksi rekuren, dan bahkan infeksi dapat tidak
dirasakan penderita (asimptomatis) tetapi terjadi viral
shedding yang dapat menularkan kepada orang lain. Tentunya
transmisi ini berbahaya apalagi dengan adanya infeksi HG juga
memudahkan transmisi HIV ataupun penyakit menular seksual
lainnya.11-13 Manifestasi klinis yang bervariasi, rekureni yang
tinggi dan komplikasi berat pada penderita imunocompromise,
serta kesembuhan permanen yang tidak pernah terjadi, maka
diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis
dan respon imun tubuh terhadap infeksi VHS. Dengan
demikian, diharapkan dapat membantu menegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan yang lebih tepat untuk penderita HG.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai karakteristik
VHS, patogensis infeksi VHS pada mukokutan, diagnosis
HG serta respon imun tubuh terhadap infeksi VHS baik yang
bersifat alamiah dan adaptif.
Karakteristik VHS
Virus herpes simpleks tergolong ke dalam virus Herpes tipe
alfa yang mempunyai sifat neurotropik dan replikasi virus yang
relatif cepat serta dapat menginfeksi berbagai sel pada kultur.
Sejak tahun 1960 dikenal ada dua serotipe, yaitu VHS-1 dan
Abstrak. Herpes genital (HG) disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS) yang bermanifestasi sebagai papule vesicle
yang dengan mudah menjadi ulkus dangkal pada genital. Infeksi HG dapat berupa infeksi primer, rekuren dan bahkan
asimptomatis sehingga dengan mudah dapat menular kepada orang lain. Infeksi HG prevalensinya makin meningkat
dan memudahkan transmisi infeksi HIV maupun penyakit menular seksual lainnya. Manifestasinya dapat ringan
maupun berat pada penderita imunocompromise sehingga penting untuk diketahui patogenesis dan respon imun
tubuh terhadap infeksi VHS. Pada tulisan ini akan diuraikan tentang karakteristik VHS, patogenesis infeksi VHS pada
mukokutan, diagnosis HG serta respon imun tubuh terhadap infeksi VHS baik yang bersifat alamiah dan adaptif.
Kata kunci: Herpes genital, patogenesis, diagnosis, karakteristik, respon imun
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 183
TINJAUAN PUSTAKA
VHS-2. Strain VHS-1 umumnya diisolasi dari labia, fasial dan
okular sedangkan strain VHS-2 dari lesi genital dan dari bayi
baru lahir yang terinfeksi lewat jalan lahir. Akan tetapi kedua
strain ini dapat dijumpai pada tempat yang sebaliknya. Kedua
strain ini sulit dibedakan dari patogenesisnya, hanya disebutkan
bahwa VHS-2 lebih sering menimbulkan infeksi rekuren pada
daerah genital daripada oral dan demikian sebaliknya.2,3
VHS mempunyai genom yang linier, double stranded DNA,
dengan ukuran 160 x 103 kDa, dikelilingi selubung protein
dan amplop lipid. Virion VHS terdiri dari inti DNA, kapsid
ikosahedral berdiameter 100 nm dengan permukaannya ditutupi
162 kapsomer serta dibatasi oleh amplop yang mengandung
lipid. Antara nukleokapsid dan amplop dipisahkan oleh
tegumen. Genom VHS-1 dan VHS-2 mempunyai 50% sekuen
nukleotida yang sama (homolog) sedangkan 50% lainnya
berbeda. Genom virus mengkode 50 protein virus spesifik
termasuk 5-6 glikoprotein spesifik yang dipresentasikan pada
permukaan virus dan pada permukaan sel yang terinfeksi
virus. Glikoprotein VHS ditemukan ada 11 dan yang berfungsi
sebagai attachment pada hospes adalah glikoprotein B dan C,
sedangkan untuk entry dan terpenting dalam menginduksi
antibodi netralisir terhadap virus adalah glikoprotein D. dari 5-
6 glikoprotein pada VHS tersebut, hanya satu dari glikoprotein
permukaan ini yang bersifat spesifik, gG1 untuk VHS-1 dan
gG2 untuk VHS-2. Secara signifikan didapatkan adanya
reaktivitas silang pada antibodi yang terbentuk di antara kedua
tipe virus tersebut.1,14-16
Genom VHS juga menyandi sejumlah protein non-struktural
yang penting untuk replikasi DNA virus, termasuk virus
timidin kinase, DNA polimerase, ribonukleotida reduktase dan
alkaline DNase. Enzim virus ini berbeda dengan enzim sel yang
terinfeksi dan menjadi dasar penghambat obat antivirus.1
Patogenesis
VHS masuk ke dalam tubuh manusia untuk pertama kali
(infeksi inisial, infeksi primer) melalui kontak virus dengan
mukosa atau lesi abrasi. VHS-2 menginfeksi pejamu di mukosa
genital dan mengadakan replikasi dalam sel epitel. Virus
memasuki sel secara fusi dimulai dengan glikoprotein amplop
VHS mengikat reseptor spesifik sel pejamu, yaitu heparin sulfat
permukaan sel. Nukleokapsid ditransfer ke inti sel pejamu
melewati sitoplasma, terjadi uncoating (selubung VHS lepas),
dan akhirnya genom (DNA) VHS ditransfer ke inti sel pejamu.
Setelah terjadi fusi amplop virion dengan membran sel pejamu,
beberapa protein virus dilepaskan dari virion VHS. Beberapa
protein tersebut menghentikan sintesa protein pejamu dan
yang lainnya menghidupkan transkripsi early-genes untuk
replikasi VHS. Early genes atau gen alfa diperlukan untuk
sintesis kelompok polipetida, atau gen beta yang merupakan
protein regulator dan enzim yang diperlukan untuk replikasi
DNA. Kelompok gen VHS yang ketiga adalah gen gamma
yang dibutuhkan untuk replikasi DNA, yaitu untuk ekspresi
dan penggantian protein struktural virus. Setelah replikasi
genom virus dan pembentukan protein struktural virus,
nukleokapsid di susun di inti sel pejamu. Pembentukan amplop
melalui budding melewati membrana inti, ruang perinuclear
dan akhirnya virion ditransfer melalui retikulum endoplasma
dan apparatus golgi ke permukaan sel. Seluruh siklus replikasi
ini membutuhkan waktu 12-16 jam.14,15
Replikasi VHS dalam sel epidermis dan dermis menghasilkan
kerusakan sel dan inflamasi. Secara klinis tampak lesi
vesikular di atas kulit eritem dan secara mikroskopis dijumpai
multinucleated giant cells, nekrosis sel setempat dan degenerasi
balon pada sel yang terinfeksi. Infeksi virus menyebabkan
degenerasi balon dengan kromatin yang padat di dalam inti sel,
diikuti degenerasi selular inti sel parabasal dan sel intermediate.
Sel yang terinfeksi kehilangan kontak dengan plasma membran
dan membentuk multinucleated giant cells. Bila sel mengalami
lisis akan terlihat sebagai vesikel pada lapisan epidermis dan
dermis. Cairan vesikel mengandung depris sel, sel-sel inflamasi,
dan multinucleated giant cell. Pada lapisan subdermis terjadi
respon inflamasi yang intens dan penyembuhan pada kulit di
mulai dengan vesikel menjadi pustul dan akhirnya menjadi
krusta. Pada mukosa tidak terbentuk krusta tetapi mudah
menjadi ulkus dangkal. Pada infeksi inisial penyebaran infeksi
virus dapat melalui sistem limfatik ke limfonodi regional.
Saat infeksi inisial, virus secara asenden mencapai neuron
sensoris perifer dan mengalami latensi pada ganglia saraf sensoris
maupun autonom serta mempunyai hubungan permanen
antara virus dengan pejamu. Saat latensi di ganglion dorsalis,
virus melakukan replikasi dalam jumlah sangat terbatas dan
transkripsi yang terjadi dikenal dengan LAT (latentcy associated
transcripts).2,8,15-17
Pada model binatang percobaan, VHS terdeteksi di neuron
ganglion 2 hari setelah infeksi. Replikasi virus dalam jaringan
saraf terbatas tetapi mempunyai kemampuan untuk migrasi
Manifestasi klinis yang bervariasi,
rekureni yang tinggi dan komplikasi berat
pada penderita imunokompromais, serta
kesembuhan permanen yang tidak pernah
terjadi, maka diperlukan pemahaman yang
lebih baik tentang patogenesis dan respon
imun tubuh terhadap infeksi VHS. Dengan
demikian, diharapkan dapat membantu
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang lebih tepat untuk penderita HG.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200184 6
kembali ke akson dekat tempat inokulasi awal sehingga dapat
memperjelas luasnya area permukaan yang terlibat pada infeksi
primer. Pada penderita yang imunokompeten replikasi virus ini
terkendali dan terjadi penyembuhan (reepitealisasi).3
Reaktivasi dan replikasi VHS laten (infeksi rekuren) terjadi
karena adanya stimuli multipel seperti dengan adanya pajanan
sinar ultraviolet, immunsupreisan, demam, infeksi dan trauma
pada neuron yang terinfeksi. Virus diantarkan di kulit kembali
melalui saraf sensoris tepi dan mengadakan replikasi lagi di
epidermis. Gejala yang timbul lebih ringan dibandingkan infeksi
inisial, tergantung dari jumlah virus yang mengalami replikasi,
virulensi strain VHS dan status imun penderita. Reaktivasi
dan replikasi virus dapat terjadi secara periodik pada penderita
asimtomatis dan pada fase ini virus dapat dideteksi walaupun
tanpa gejala dan tanda dari penyakit.10,15
Respon Alamiah dan Adaptif Tubuh terhadap Infeksi VHS
Virus adalah mikroorganisme obligat intraselular dan
saat masuk ke dalam sel epitel, pertama kali direspon tubuh
pejamu melalui barier mekanis, misalnya pada genitalia wanita,
dengan adanya mukus, flora normal dan glikokaliks. Sekresi
tersebut mengandung pula komplemen dan IgM alamiah
yang akan mengurangi jumlah sel yang terinfeksi akan tetapi
bila virus dapat menembus pertahanan ini tubuh berespon
dengan stimulasi respon imun alamiah lainnya. Replikasi virus
mengaktifkan komplemen, stimulasi kemokins dan interferon
(IFNab). Substansi-substansi ini mengaktifkan endotel kapiler,
menjadi bocor (leaky) dan mengekspresikan molekul adesi.
Substansi tersebut pula yang mengaktifkan sel dentritik dan
makrofag residen untuk mempresentasikan patogen. Sel
dentritik imatur memakan antigen atau partikel VHS dan
mengantarkan ke limfonodi regional untuk aktivasi sel T
sebagai permulaan respon imun adaptif. Saat sel dentritik keluar
dari mukosa yang terinfeksi, terjadi influks neutrofil, monosit
dan sel pembunuh alami, atau sel NK (natural killer). Sel-sel
ini melewati kapiler endotel yang teraktifasi dan mengikuti
kemokins di tempat yang terinfeksi. Sel- sel ini berusaha untuk
memfagositosis partikel virus dan sel-sel yang terinfeksi.13
Respon imun alamiah (innate) yang paling berperan
terhadap infeksi virus adalah interferon tipe I (IFN) dan
dimediasi oleh sel NK. Sel yang terinfeksi virus secara langsung
memproduksi IFN dan menginduksi sel yang belum terinfeksi
virus ke dalam antiviral state (keadaan di mana sel-sel pejamu
mendapatkan kekebalan terhadap infeksi virus). IFN gamma
mengaktifkan sel NK dan memfokuskan sel ini pada tempat
infeksi. Sel NK juga merupakan mediator utama dalam antibodydependent
cellular cytotoxicity (ADDC), yaitu sitotoksisitas sel
yang tergantung antibodi. Sel NK melisiskan sel yang telah
terinfeksi dan berperan penting sebelum terbentuknya respon
imun yang adaptif. Sel NK aktif dapat terdeteksi 2 hari setelah
infeksi virus. Sel NK mengenali sel yang terinfeksi karena tidak
terekspresikan MHC kelas I.13,18-21
Respon imun adaptif dimulai dengan adanya sel
dentritik membawa antigen atau partikel virus ke limfonodi,
mempresentasikan MHC (Major Histocompability Complex),
mensekresikan sitokin dan menstimulasi sel T untuk
berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2.13 Respon imun adaptif
diperankan oleh antibodi dan sel limfosit sitotoksik. Antibodi
berperan saat virus berada di ektraseluler, yaitu saat virus
akan masuk ke dalam sel pejamu atau saat virus berada di luar
sel, saat sel pejamu lisis akibat efek sitopatik virus. Antibodi
berfungsi sebagai antiviral dengan atau tanpa bantuan
komplemen. Antibodi antiviral ini berfungsi sebagai antibodi
netralisir yang mencegah attachment dan entry ke dalam sel
pejamu. Antibodi netralisir ini menyatu dengan amplop
virus atau antigen kapsid. Antibodi netralisir menghambat
terjadinya infeksi virus dan penyebaran virus dari sel ke sel,
tetapi bila virus dapat masuk ke dalam sel, antibodi sudah tidak
berperan. Sehingga pemberian vaksinasi ataupun imunitas
humoral yang terbentuk dari infeksi sebelumnya hanya dapat
memproteksi dengan mencegah terjadinya infeksi tetapi tidak
dapat mengeliminasi infeksi virus yang telah terjadi.20
Untuk virus yang dapat masuk ke dalam sel pejamu
(intraseluler), diatasi oleh respon imun adaptif yang diperankan
oleh sel T sitotoksik (CD8). Sel T (CD8) mengenali sel terinfeksi
karena adanya presentasi antigen oleh sel panyaji antigen,
yaitu adanya ekspresi MHC kelas I. Diferensiasi sel CD8 juga
memerlukan sitokin yang dihasilkan oleh sel CD4 T helper. Efek
antiviral CD8 dengan cara melisiskan sel yang terinfeksi dan
aktivasi enzim nuklease di dalam sel terinfeksi sehingga genom
virus terdegradasi dan tersekresi sitokin dengan aktivitas IFN.
Virus Herpes Simpleks tetap mengadakan upaya untuk
menghindarkan diri dari pengenalan oleh CD8, yaitu dengan
menghasilkan protein ICP-47 yang mengikat pada TAP
(transporter associated within antigen processing). Hal ini akan
mencegah transporter menangkap peptida sitosolik yang
dibawa ke dalam retikulum endoplasma untuk pengikatan
molekul kelas I. Ini dikenal dengan mekanisme shutt off MHC
kelas I. (bagan pathway class I MHC). Dengan demikian MHC
kelas I tidak terekspresikan sehingga sel terinfeksi tersebut
tidak dikenali oleh sel CD8. Akan tetapi tubuh mengatasi hal
ini dengan adanya sel NK yang dapat berespon melawan sel
terinfeksi virus tersebut walaupun tidak mengekspresikan
MHC kelas I.19,20
Pada fase laten, virus di neuron tidak melakukan replikasi
dan tidak menimbulkan penyakit (infeksius). Sel neuron
sensoris tetap terinfeksi namun virus dalam keadaan quiescent
(diam, tanpa gerak) dan peptida yang dihasilkan sedikit,
sehingga hanya sedikit pula yang dipresentasikan sebagai MHC
kelas I. Neuron yang tidak mengekspresikan MHC kelas I
membuat sel T sitotoksik (CD8) tidak mengenalinya. Keadaan
ini menguntungkan, karena sel T (CD8) tidak merusak neuron
yang mempunyai regenerasinya memang lambat. Pada keadaan
tertentu virus dapat menjadi aktif, menuju ke sel epidermis yang
diinervasi saraf terinfeksi tersebut dan mengadakan replikasi
sehingga siklus berulang kembali dan menjadi infeksius yang
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 185
TINJAUAN PUSTAKA
disebut infeksi rekuren.22,23
Diagnosis
1. Manifestasi klinis
Gambaran klinis HG primer dan HG rekuren sangat berbeda.
Pada infeksi primer disertai dengan adanya gejala sistemik
(demam, nyeri kepala, malaise dan myalgia), durasi penyakit
lebih lama (bisa sampai 20 hari), lesi genital yang multipel
dan disertai lesi ektragenital. Gejala lokal antara lain: nyeri,
gatal, disuria, discar uretra atau vagina, dan pembengkakan
limfonodi inguinal. Lesi klasik dimulai dengan makula dan
papul yang berkembang menjadi vesikel, pustul dan ulkus.
Kulit akan menjadi krusta sedangkan pada mukosa terjadi
ulkus dangkal.10 Penderita yang mengalami infeksi primer
(baik infeksi VHS1 atau VHS2) mengalami gejala penyakit
yang lebih berat dibandingkan yang secara klinis ataupun
serologis telah terinfeksi VHS-1 sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi berikutnya sudah terbentuk
antibodi spesifik dan infeksi VHS-1 dapat memberikan
proteksi parsial terhadap infeksi VHS-2.24
Gambaran klinis herpes genitalis rekuren lebih terlokalisasi
di genital area. Gejala nyeri, gatal lebih ringan dibandingkan
pada infeksi primer. Pada infeksi rekuren, 90% didahului
adanya gejala prodromal sebelum timbul erupsi. Gejala
prodromal hanya berupa rasa tingling selama 0,5 sampai 48
jam, akan tetapi dapat pula disertai nyeri menusuk pada
pantat, paha dan pinggang yang dapat berlangsung 1-5 hari
sebelum timbul erupsi.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan bila secara klinis
tidak menunjukkan gejala dan tanda khas (klasik) apalagi
pada herpes genitalis dapat bersifat asimtomatis sehingga
penderita tidak menyadari menjadi sumber penularan.
Kultur viral dan viral typing masih merupakan baku emas
dalam mendiagnosis infeksi herpes dengan spesifisitas
100% akan tetapi sensitivitasnya tergantung dari episode
infeksinya. Pada infeksi primer sensitivitasnya 74% dan
50% pada infeksi rekuren. Sampel sebaiknya diambil pada
awal penyakit dan tidak melewati fase erupsi vesikuler.
Sel yang terinfeksi virus banyak didapatkan pada tepi dan
di dasar lesi. VHS adalah virus yang tumbuh cepat dan
memperlihatkan efek sitopatik pada kultur sel dalam 24
jam. Virus ini dapat diisolasi dalam berbagai sel, seperti
sel embrionik paru manusia, ginjal kelinci, HEp2 (berasal
dari karsinoma laring manusia) dan A549 (karsinoma paru
manusia).4,15,17,25
Deteksi antigen VHS dapat dilakukan dengan metode
PCR (polymerase chain reaction) walaupun penggunaannya
masih terbatas untuk penelitian. Metode ini mempunyai
spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dari kultur.
Pemeriksaan ini berdasarkan amplifikasi DNA VHS dan
hasil dapat diketahui dalam 2 hari.18,26,27
Tes Tzanck (pemeriksaan sitologi) bertujuan untuk
melihat efek sitopatik pada sel epitel. Sel membesar,
dengan intranuclear inclusion dan sering terjadi fusi sel yang
memberi gambaran multinucleated giant cell. Pemeriksaan
Tzanck mempunyai sensitivitas yang rendah dan tidak
dapat membedakan VHS-1 dan VHS-2 ataupun virus
varisela-zoster.24,28
Pemeriksaan penunjang secara indirek (serologis) saat ini
ada 3 macam yang telah disetujui oleh FDA (Food and
Drug Association), yaitu Herpes Western Blot, Herpect Select
(Elisa dan Immnublot Kit) dan POC Rapid Test. Herpes
Western Blot merupakan baku emas dalam mendeteksi
antibodi terhadap VHS dan dengan pemeriksaan ini dapat
membedakan VHS-1 dan atau VHS-2. Dengan demikian
tes ini dapat mengetahui adanya serokonversi awal VHS-
2 pada penderita yang sebelumnya terinfeksi VHS-1.
Kekurangan pemeriksaan ini adalah harganya mahal, tidak
tersedia secara komersil (University of Washington, Amerika
Serikat) dan masih memerlukan 2-5 hari untuk mengetahui
hasil.26-29
Pemeriksaan EIAs (enzyme-linked immunosorbent assays)
berdasarkan deteksi glikoprotein yang spesifik seperti
glikoprotein G meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya
menjadi 93-98%. Test ini masing-masing untuk VHS-1 dan
ada untuk VHS-2. Tes ini diproduksi oleh Focus Technologies,
dengan nama ELISA Kits dan Immunoblot Kit.24,26,27
Saat ini juga tersedia pemeriksaan yang dapat dipakai
mendeteksi antibodi secara lebih cepat dan dapat dipakai
langsung di klinik. Contoh yang telah mendapatkan
persetujuan FDA dan khusus untuk mendeteksi antibodi
terhadap VHS-2 adalah POCkit HSV-2 Rapid Test
(Diagnology Incoporation) yang mempunyai sensitivitas 96%
Pada infeksi rekuren, 90%
didahului adanya gejala prodromal
sebelum timbul erupsi. Gejala
prodromal hanya berupa rasa
tingling selama 0,5 sampai 48 jam,
akan tetapi dapat pula disertai nyeri
menusuk pada pantat, paha dan
pinggang yang dapat berlangsung
1-5 hari sebelum timbal erupsi.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200186 6
dan spesifisitas 87-98%.15,16,18 Tes ini lebih cepat hasilnya
karena memerlukan hanya kurang dari 10 menit dan darah
diambil dari tusukan jari saja.30,31
Tes serologis berguna pada penderita dengan manifestasi
klinis yang tidak klasik (konfirmasi diagnosis), untuk
skrining pada yang orang yang berisiko tinggi terinfeksi VHS
seperti pada penderita HIV, penderita dengan penyakit
menular seksual lainnya, atau penderita dengan partner
dengan riwayat herpes. Semua tes ini direkomendasikan
untuk dikerjakan 12-18 minggu setelah paparan VHS,
karena pada saat itu telah melewati window period dan
telah terbentuk antibodi.30,31
Kesimpulan
Virus herpes simpleks (VHS) adalah virus double standed
DNA yang terdiri dari dua serotipe VHS1 dan VHS2. VHS
sebagai penyebab herpes genital menginfeksi tubuh melalui lesi
abrasi yang secara klinis dapat ditegakkan dengan dijumpai lesi
papul vesikel yang menjadi ulkus dangkal pada area genital.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dikerjakan
adalah tes Tzanck dengan menemukan multinucleated giant cell
sedangkan secara serologis dengan pemeriksaan Herpes Western
Blot, Herpect Select (Elisa dan Immunublot Kit) dan POC Rapid
Test.
Herpes genital masih merupakan penyakit menular seksual
yang tidak dapat sembuh permanen. Berat ringannya penyakit
yang diakibatkan virus ini tergantung oleh respon imun tubuh
dalam usahanya mengeliminasi virus. Respon imun pada
penderita dengan infeksi VHS terdiri dari respon imun alamiah
dan adaptif, baik selular maupun humoral. Virus yang berada
di ekstraselular dihambat oleh INF dan antibodi netralisir
sedangkan yang berperan dalam menghambat virus intraselular
adalah sel NK dan sel CD8 sitotoksik. Akan tetapi infeksi VHS
tetap dapat berlangsung seumur hidup karena selalu adanya
upaya penghindaran VHS terhadap sistem imun pejamu.
Daftar Pustaka
1. Crumpacker CS. Herpes simplex. In: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, et al.(eds). Dermatology in General Medicine. 4th ed. New
York:McGraw-Hill, 1999.p.2414-25
2. Pertel PE and Spear PG. Biology of herpesviruses. In: Holmes KK,
Sparling PF, Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases.
3rd ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.269-78
3. Corey L and Wald Ann. Genital herpes. In: Holmes KK, Sparling PF,
Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New
York:McGraw-Hill; 1999.p.285-306
4. Oates JK. Anogenital herpes. In: Csonka and Oates (eds). Sexually
Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London:
Bailleire Tindall; 1990.p.129-51
5. Berger TG, James WD, and Odom RB (eds). Herpes simplex. In:
Andrew’s Diseases of the Skin. 9th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2001.p.473-82
6. Habib TP. Genital herpes simplex. In: Clinical Dermatology. 4th ed.
Edinburgh:Mosby; 2004.p.346-55
7. Heaton CL. Herpes simplex. In: Moschella SL and Hurley HJ (eds).
Dermatology. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders Company; 1992.
p.791-6
8. Patel R. Genital Herpes. In: Medicine International. Vol 36; 1996.p.80-2
9. Patrick TB, Johnson RA, Surmond D, et al. Herpes simplex virus: Genital
infection. In: Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 4th ed.
International Edition; 2001.p.874-81
10. Kimberlin DW and Rouse DJ. Genital herpes. N Engl J Med 2004;
350:1970-7
11. Arvin AM. Herpes simplex virus type 2. A persistent problem. N Engl
J Med 1997; 337:1158-9
12. Roe VA. Living with genital herpes. How effective is antiviral therapy?
J Perinat Neonat Nurs 2004; 18(3):206-15
13. Ashley RL and Wald A. Genital herpes: Review of the epidemic and
potensial use of type-spesific serology. Clinical Microbiology
Review 1999; 12(1):1-8
14. Brooks GF, Butel JS, and Ornston LN. Herpes viruses. In: Jawets,
Melnick and Adelberg’s. Medical Microbiology. 20th ed. London:
Prentice International Hall; 1995.p. 358-67
15. Duerst RJ and Morrison LA. Review innate immunity to herpes simples
virus type 2. Viral Immunology 2003; 16(4):475-90
16. Whitley RJ, Kimbelin DW, and Roizman B. Herpes simples virus.
Clinical Infectious Diseases 1998; 26:541-55
17. Morrison LA. Vaccine against genital herpes. Drugs 2002; 62(8):1119-29
18. Bellanti JA. Mechanisms of immunity to viral diseases. In: Immunology
III. 2nd ed. Philadelphia:Saunders Co.; 1985.p.283-305
19. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunity to viruses. In: Immunology. 6th ed.
London:Mosby; 2001.p.235-42
20. Abbas AK, Lichtman AH, and Pober JS. Immunity to microbes. In:
Cellular and Molecular Immunology. 4th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2000.p.343-62
21. Mary Norval. Viral infection. In: Bos JD (ed). Skin Immune System (SIS).
2nd edition. New York:CRP Press; 1997.p.555-68
22. Lemon SM and Sparling PF. Pathogénesis of sexually transmitted
viral and bacterial infections. In: Holmes KK, Sparling PF, Mardh
PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill; 1999.p.205-11
23. Janeway CA, Travers P, Walport M, et al. Failure of host defence
mechanism. In: Janeway (ed), Immunobiology. 4th ed. New York:
Garland Publishining; 2001.p.425-65
24. Xu F, Schillinger JA, Stenberg MR, et al. Seroprevalence and co
infection with herpes simples virus type 1 and type 2 in the
United Status, 1988-1994. The Journal Infectious Diseases 2002;
185:1094-24
25. Barton S, Brown D, Cowan FM, et al. National guidelines for
management of genital herpes. Diakses melalui internet http://
search epnet.com
26. Davison VE and Alderson GL. Clinical virology. In: Mahon CR (eds).
Textbook of diagnostic microbiology. Philadelphia. WB Saunders,
1995.p.796-826
27. Lowy, DR. Viral diseases: General considerations. In: Freeberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, et al.(eds) Dermatology in General Medicine. 4th
ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.2389-2394
28. Cusini M and Ghislanzoni M. The importance of diagnosing genital
herpes. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2001;47:9-16
29. Stanberry L, Cunningham A, Mertz G, et al. Mini review: New
developments in the epidemiology, natural history and
management of genital herpes. Antiviral Research 1999; 42:1-14
30. Mark HD, Hanahan AP and Stender SC. Herpes simplex virus type 2:
An update. The Nurse Practioner 2003; 28(11):34-40
31. Wald A and Asley-Morrow R. Serological testing for herpes simplex
virus (HSV)-1 and HSV-2 infection. Clinical Infectious Diseases
2002; 35:S173-82
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 187
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan
oleh Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator
americanus (N. americanus).1,2 Kedua spesies ini termasuk
dalam famili Ancylostomidae dari filum Nematoda.3 Selain
kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh
A. braziliense dan A. caninum yang ditemukan pada berbagai
jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih
ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva migrans.
Terdapat juga infeksi A. ceylanum yang diduga menyebabkan
enteritis eosinofilik pada manusia.2
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia
yang menderita infeksi cacing tambang dengan populasi
penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama
di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas
penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini
juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di
Indonesia.1
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan
penyebab terpenting dari anemia defisiensi besi. Selain
itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab
hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin
karena perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses
tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu
kecerdasan anak usia sekolah.1,2
Penyakit akibat cacing tambang lebih banyak didapatkan
pada pria yang umumnya sebagai pekerja di keluarga. Hal
ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih besar
terhadap tanah terkontaminasi larva cacing.2,4,5
Sampai saat ini infeksi cacing tambang masih merupakan
salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan produktivitas
sebagai indikator beratnya gangguan penyakit ini,
menempatkan infeksi cacing tambang di atas tripanosomiasis,
demam dengue, penyakit chagas, schisostomiasis dan lepra.2
Siklus Biologis Cacing Tambang
Cacing tambang jantan berukuran 8-11 mm sedangkan
yang betina berukuran 10-13 mm. Cacing betina
menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host)
dan mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur
akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang
selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2)
atau larva rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat
ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga
disebut sebagai larva filariform. Proses perubahan telur
sampai menjadi larva filariform terjadi dalam 24 jam.3,5 Larva
filariform kemudian menembus kulit terutama kulit tangan
Infeksi
Cacing Tambang
Mangatas SM Manalu*, SI Biran**
* Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
** Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian/SMF ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar - Bali
Abstrak. Infeksi cacing tambang masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia karena merupakan
salah satu penyebab utama anemia defisiensi besi. Dan juga menyebabkan kekurangan protein. Pada akhirnya
infeksi ini dapat menyebabkan gangguan pada neonatus, hambatan tumbuh kembang balita dan penurunan
kecerdasan anak usia sekolah serta produktivitas kerja orang dewasa. Pengenalan dan pemahaman akan penyakit
yang “sederhana” ini serta pengkajian terapinya diharapkan akan membantu para klinisi untuk dapat melakukan
pencegahan dan diagnosis, mengingat belum ditemukannya vaksinasi dan terapi imunologis yang efektif untuk
infeksi cacing tambang.
Kata kunci: Infeksi cacing tambang, anemia, diagnosis, pencegahan
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200188 6
dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit
perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan
larva filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di
bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan
rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus
yang disebut sebagai ground itch.2,4,6
Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi migrasi
larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi
ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu
lalu naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan,
dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang
terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan
larva menjadi cacing dewasa terjadi disini. Proses dari mulai
penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa
memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina
berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina
memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan
feses manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama
terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan
lembab dengan suhu antara 23-33o C. Penularan A. duodenale
selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal,
akibat kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga
bentuk penularan melalui hewan vektor (zoonosis) seperti
pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum.
Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanum. Jenis
cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut
tidak mengalami maturasi dalam usus manusia.2,5,6
Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.000-
10.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5
tahun, sedangkan A. duodenale menghasilkan 10.000-30.000
telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.4,5
Selengkapnya siklus biologis cacing tambang dapat dilihat
pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Siklus biologis cacing tambang2
Patofisiologi
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting
yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan
submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan,
otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang
menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan
arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim
hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan
pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi
berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor
VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna
sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim
hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut
akan keluar melalui saluran cerna.2,4,5
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai
dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar
antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan
kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat
dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari, meskipun
pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang
terjadi perlahan-lahan.1,2,4,5
Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing
tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu,
beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta
spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale
menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan
N. americanus.2,4,5
Manifestasi Klinis
Anemia defisiensi besi akibat infeksi cacing tambang
menyebabkan hambatan pertumbuhan fisik dan kecerdasan
anak. Pada wanita yang mengandung, anemia defisiensi besi
menyebabkan peningkatan mortalitas maternal, gangguan
TINJAUAN PUSTAKA
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa
pada usus sampai dengan timbulnya gejala
klinis seperti nyeri perut, berkisar antara
1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia
diperlukan kurang lebih 500 cacing
dewasa. Pada infeksi yang berat dapat
terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/
hari, meskipun pada umumnya didapatkan
perdarahan intestinal kronik yang terjadi
perlahan-lahan
Larva di atas rumput
Larva menetas
dan berkembang
didalam
Larva masuk/
penetrasi ke kulit,
masuk ke aliran
darah
Telur dikeluarkan
bersama dengan
feces
Larva dewasa masuk Larva dibatukkan dan tertelan
ke usus halus
Cacing dewasa
Larva
Telur
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 189
TINJAUAN PUSTAKA
laktasi dan prematuritas. Infeksi cacing tambang pada wanita
hamil dapat menyebabkan bayi dengan berat badan lahir
rendah. Diduga dapat terjadi transmisi vertikal larva filariform
A. duodenale melalui air susu ibu.1,2,5
Pada daerah subsahara Afrika sering terjadi infeksi
campuran cacing tambang dan malaria falsiparum. Diduga
infeksi cacing tambang menyebabkan eksaserbasi anemia
akibat malaria falsiparum dan sebaliknya.2
Kebanyakan infeksi cacing tambang bersifat ringan bahkan
asimtomatik. Dalam 7-14 hari setelah infeksi terjadi ground
itch. Pada fase awal, yaitu fase migrasi larva, dapat terjadi
nyeri tenggorokan, demam subfebril, batuk, pneumonia dan
pneumonitis. Kelainan paru-paru biasanya ringan kecuali
pada infeksi berat, yaitu bila terdapat lebih dari 200 cacing
dewasa. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal kerongkongan,
suara serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat
cacing dewasa berkembang biak dalam saluran cerna, timbul
rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal discomfort).
Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan
perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia yang
bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau
perut, bahkan edema anasarka.1,2,4,5
Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing
tambang selain memiliki gejala dan tanda umum anemia,
juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah,
telapak tangan berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga
terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi
gagal jantung akibat penyakit jantung anemia.3
Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
a. Terhadap larva filariform
Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian
luar kutikula dan mensekresi berbagai enzim yang
mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva
yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul
imunoreaktif oleh tubuh. Saat memasuki sirkulasi,
terutama sirkulasi peparu, larva filariform menghasilkan
berbagai antigen yang bereaksi dengan sistem imun
peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil
alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi
creeping eruption atau ground itch akibat terperangkapnya
larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk
ke sirkulasi jauh lebih banyak dari yang berdiam di kulit.
Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia) tidak
terjadi kumpulan larva di kulit.3
Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif
terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan
mengenai minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini.
Antibodi yang berperan ialah Imunoglobulin M (IgM),
IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat
cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II
(antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan
disini.2,3
Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang
terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal ini dicerminkan
oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil
melepaskan superoksida yang dapat membunuh larva
filariform. Jumlah eosinofil makin meningkat saat larva
berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran
cerna. Sistem komplemen berperan dalam perlekatan
larva pada eosinofil.3,7
Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa eosinofil
lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan
terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil
meningkat pada infeksi larva yang diinokulasikan pada
tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum
terbukti.3
b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa
Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE,
yang dikontrol oleh pelepasan sitokin pengatur sel Th2.
Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah
1 tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus,
didapatkan bahwa kadar IgG terus menurun sementara
kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak
setinggi seperti sebelum dilakukan terapi. Di sini kadar
IgE hanya menurun sedikit, sedangkan kadar IgA
dan IgD meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para
pakar menyimpulkan bahwa dibutuhkan lebih sedikit
paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD
dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain
itu disimpulkan bahwa kadar IgG dan IgM merupakan
indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa
dan untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti
yang menyatakan bahwa kadar antibodi berhubungan
dengan imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang
Anemia defisiensi besi
yang terjadi akibat infeksi
cacing tambang selain memiliki
gejala dan tanda umum anemia, memiliki
manifestasi khas seperti atrofi papil lidah,
telapak tangan berwarna jerami, serta kuku
sendok. Terjadi pengurangan kapasitas
kerja, bahkan dapat terjadi gagal jantung
akibat penyakit jantung anemia.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200190 6
dewasa.3
Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4,
IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan
sitokin yang predominan, sedangkan sitokin perangsang
sel Th1 seperti interferon yang menghambat produksi IgE,
lebih sedikit ditemukan. Para peneliti membuktikan bahwa
IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik
infeksi larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan
IgG4 lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa
N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih
spesifik dibandingkan IgG4.2,3
Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan
IgG4 berperan menghambat respons imun dengan
inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan tubuh
yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast.
Imunoglobulin G4 tidak mengikat komplemen dan hanya
mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada infeksi cacing
tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibodi
IgG terhadap IgE.3
Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang
dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang
mengatur produksi IgE dan menyebabkan eosinofilia.
Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus
kulit dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64
setelah infeksi.
Sel mast yang terdegradasi akibat pengaruh IgE
melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen
N. americanus. Selain itu terjadi pelepasan neutralizing
antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan
sel mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing
tambang tampaknya lebih tahan terhadap reaksi inflamasi
dibandingkan dengan famili nematoda lainnya.3,7
c. Bentuk larva hipobiosis
Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis
di mana terjadi penghentian pertumbuhan larva pada
jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai
bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal
untuk pelepasan larva A. doudenale. Penyebab fenomena
tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis pelepasan
telur cacing melalui feses baru terjadi 40 minggu setelah
masuknya larva A. duodenale melalui kulit. Fenomena ini
juga terjadi pada infeksi A. caninum pada anjing. Buktibukti
menunjukkan bahwa aktivasi bentuk hipobiosis
pada akhir kehamilan yang berakhir dengan penularan
transmamaria/transplasental dari A. duodenale.3
Proteksi Sistem Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
Tidak terdapat bukti yang jelas mengenai proteksi
imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang. Beberapa
penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa
penderita yang memiliki titer IgE lebih tinggi, lebih jarang
mengalami reinfeksi N. americanus.3,7
Diagnosis Cacing Tambang
I. Secara klinis dan epidemiologis
II. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi
(fase migrasi larva) mendapatkan:
a. eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml)
b. feses normal
c. infiltrat patchy pada foto toraks
d. peningkatan kadar IgE
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10%
dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. americanus
dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan
kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper
strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara
mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing
tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis.4-6,8
III. Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa
1. Didapatkan telur cacing dan atau cacing dewasa pada
pemeriksaan feses.
2. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering
dijumpai adalah anemia mikrositik-hipokrom, kadar
besi serum yang rendah, kadar total iron binding
capacity yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab
anemia hipokrom mikrositer lainnya.
3. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4, tetapi
pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena
tinggi biayanya.2,4,5,8
Pengobatan Infeksi Cacing Tambang
1. Pada fase migrasi larva
Batuk-batuk dan bronkokonstriksi diatasi dengan
agonis b2 inhalasi. Pemberian inhalasi steroid
dapat menyebabkan eksaserbasi gejala pulmonal,
terutama bila terdapat ko-infeksi cacing strongyloides
stercoralis.2,4
2. Fase infeksi awal (ground itch)
Diatasi terutama dengan thiabendazole topikal
3. Fase infeksi lanjut
Diet tinggi protein dan suplemen besi diperlukan untuk
mengatasi anemia dan hipoproteinemia. Jika terjadi
perdarahan yang hebat (>200 ml/hari) diperlukan
transfusi darah, demikian juga jika terjadi penyakit
jantung anemia.2,4,8
Badan kesehatan dunia (WHO) menganjurkan pemberian
mebendazole dan pirantel pamoate, dengan pemberian ½ dosis
dewasa untuk anak-anak usia 2-12 tahun. Pemberian obat
antihelmintik untuk anak berusia di bawah 2 tahun belum
direkomendasikan keamanannya, sedangkan untuk wanita
hamil, obat cacing tambang dapat diberikan pada trimester
II dan III. Selengkapnya obat-obatan anti cacing tambang
terdapat pada tabel 1 berikut ini.
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 191
Tabel 1. Obat yang direkomendasikan WHO untuk infeksi cacing tambang.4
Dalam 2-3 minggu setelah terapi selesai, dilakukan
pemeriksaan ulang feses. Jika masih terdapat telur maupun
cacing dewasa, dilakukan terapi ulang.
Pencegahan dan Imunisasi
Perbaikan lingkungan dengan meniadakan tanah
berlumpur serta pemakaian alas kaki saat melewati daerah
habitat cacing tambang, sangat dianjurkan. Cuci tangan
sebelum dan sesudah makan menurunkan kemungkinan
infeksi A. duodenale. Belum terdapat vaksin cacing tambang
yang efektif untuk manusia.2,3
Kesimpulan
Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia. Spesies cacing tambang
yang terutama di Indonesia ialah N. americanus. Siklus
biologis cacing tambang berupa perubahan telur menjadi
larva (L1) sampai bentuk filariform (L3) di tanah, yang
kemudian menembus kulit manusia sampai akhirnya masuk
ke saluran cerna dan menjadi dewasa di sini. Terdapat
penularan melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala
klinis berupa ground itch dan creeping eruption. Pneumonitis,
abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia defisiensi
besi merupakan manifestasi infeksi antropofilik. Komponen
sistim imun yang berperan utama ialah eosinofil, IgE, IgG4
dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan yang permanen dan
adekuat terhadap infeksi cacing tambang. Diagnosis data
epidemiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang
termasuk pemeriksaan imunologis. Pengobatan dilakukan
dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan
berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif
terhadap cacing tambang sehingga perbaikan higiene dan
sanitasi adalah hal yang terutama.
Daftar Pustaka
1. Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In: Noer
HMS editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, 3rd ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1996.p.515-6
2. Hotez PJ, Broker S, Bethony JM, et al. Hookworm infection. N Engl J
Med 2004; 351(8):799-807
3. Loukas A, Prociv P. Immune responses in hookworm infection. Clin
Microbiol Rev 2001:689-703
4. Weiss EL. Hookworm. 2001. Available from:http://www.eMedicine.com.
Downloaded in June 23, 2005
5. Keshavarz R. Hookworm infection. 2000. Available from: http://www.
eMedicine.com. Downloaded in June 23, 2005
6. Montressor A, Sanioli L. Ancylostomiasis. 2004. Available from: http://
www.orphanet.com. Downloaded in July 2, 2005
7. MacDonald AS, Araujo MI, Pearce EJ. Immunology of parasitic
helminth infections. Infect and Immun 2002; 70(2):427-33
8. Mahmoud AAF. Intestinal Nematodes. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin
R, editors. Principles and Practice of Infectious Diseases. 4th ed. New
York:Churchill Livingstone; 1995.p.2529-31
Nama Obat
Pyrantel pamoate (Antimint, Pin-Rid, Pin-X) agen penghambat
depolarisasi neoromuskular. Menghambat kolinesterase, sehingga
menyebabkan poralisis spastik pada cacing. Aktif melawan Enterobius
Vermicularis (pinworm), ascaris lumbricoides (round-worm),
A.duodenale (hook worm) obat pencahar tidak dibutuhkan dan boleh
diminum dengan susu atau Jus buah.
Dosis dewasa 11 mg/kg/hari peroral selama 3 hari, tidak lebih dari 1 gr/hari.
Dosis anak 11 mg/kg/hari peroral selama 3 hari, tidak lebih dari 500 gr/hari.
Kontraindikasi Hipersensitif, penyakit hati
Interaksi Kadar serum teofilin dapat meningkat pada pasien anak-anak setelah
pemberian pirantel pamoet
Kehamilan
C - keamanan untuk penggunaan pada wanita hamil belum
ditetapkan
Perhatian perhatian pada kerusakan hati, anemia dan mal nutrisi
Nama Obat
Mebendazole (vermox) menyebabkan kematian cacing secara efektif
dan secara irreversible menghambat uptake glukosa dan nutrien lain
pada usus manusia yang rentan , yang menjadi tempat tinggal bagi
cacing
Dosis dewasa 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 3 hari atau 500 mg per oral sekali
Dosis anak < 2 tahun : belum ditentukan
> 2 tahun : berikan seperti orang dewasa
Kontraindikasi hipersensitif
Interaksi karbamazepin dan fenitroin dapat menurunkan efek mebendazole
cimeditin dapat meningkatkan kadar mebendezole
Kehamilan C – keamanan untuk penggunaan pada wanita hamil belum
ditetapkan.
Perhatian Penyesuaian dosis pada gangguan hati
Nama Obat
Albendazole (Albenza) – menurunkan produksi atp pada cacing,
menyebabkan penurunan energi, immobilisasi, dan akhirnya cacing
menjadi mati
Dosis dewasa 400 mg sekali per oral
Dosis anak 200 – 400 mg sekali per oral
Kontraindikasi Hipersensitif
Interactions
Pemberian bersamaan dengan karbamazepin dapat menurunkan
efikasi, deksametason, cimisidine dan praziquantel dapat meningkatkan
toksisitas
Pregnancy C – Kehamilan untuk penggunaan pada wanita hamil belum ditetapkan
Perhatian Hentikan jika terjadi peningkatan LFTs yang signifikan (lanjutan
pengobatan jika kadar menurun untuk menilai protest)
Nama Obat
Thiabendazole (Mintezol) – menghambat cacing yang spesifik pada
microchondria fumarate reductase dan mengurangi gejala trikinosis
selama fase infasiv untuk penggunaan topical.
Dosis dewasa 0.25 – 1.5 g per oral 2 kali sehari selama 2 hari, tidak lebih dari 3 g/hari
Dosis anak 50 mg /kg/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, tidak lebih
dari 3 g/hari
Kontraindikasi Hipersensitif
Interaksi Dapat meningkatkan kadar serum teofillin , meningkatkan toksisitas
(amati kadar serum dan kurangi dosis bila perlu)
Pregnancy C – Kehamilan untuk penggunaan pada wanita hamil belum ditetapkan
Perhatian
Pengawasan yang ketat pada disfungsi hati atau ginjal , sebelum memulai
terapi, terapi suportif perlu dilakukan pada pasien anemia , dehidrasi , atau
mal nutrisi digunakan bila benar ada parasit cacing (bukan profilaksis),
dapat menyebabkan mual, muntah dan depresi susunan saraf pusat.
Perbaikan lingkungan dengan meniadakan
tanah berlumpur serta pemakaian alas kaki saat
melewati daerah habitat cacing tambang, sangat
dianjurkan. Cuci tangan sebelum dan sesudah
makan menurunkan kemungkinan infeksi A.
duodenale. Belum terdapat vaksin
cacing tambang yang efektif untuk
manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200192 6
Pemberian Glutamin Menurunkan Kadar Bilirubin
Darah serta Mengurangi Nekrosis Sel-Sel Hati
setelah Pemberian Aktivitas Fisik Maksimal dan
Parasetamol pada Mencit
I Made Jawi*, I B Rai Manuaba**, I W P Sutirtayasa***
dan Gopinath Muruti****
* Staf Pengajar Bagian Farmakologi - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
** Staf Pengajar Bagian Patologik Anatomi - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
*** Staf Pengajar Bagian Patologi Klinik - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
**** Mahasiswa Semester VIII - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak.Stres oksidatif dapat terjadi akibat pemberian beban maksimal dan parasetamol secara bersamaan, yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan organel sel, termasuk sel hati. Banyak penelitian telah dilakukan untuk
melihat kerusakan sel hati akibat beban maksimal dengan mengukur kadar bilirubin dan SGPT darah. Penelitian yang
melihat pengaruh beban maksimal dan parasetamol serta efeknya terhadap gambaran histologis hati yang diawali
pemberian glutamin yang merupakan bahan baku glutathione nampaknya belum ada. Tujuan dari penelitian ini adalah
melihat pengaruh glutamin terhadap kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah pemberian parasetamol dan
beban maksimal pada mencit. Penelitian dilakukan terhadap 40 ekor mencit jantan umur 4–5 bulan jenis Balb/C yang
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok glutamin dan non-glutamin masing-masing 20 ekor. Masing-masing
kelompok dibagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu kelompok kontrol, kelompok renang maksimal dengan parasetamol,
masing-masing terdiri dari 10 ekor, dengan rancangan randomized control group post test only design. Terhadap
semua kelompok dilakukan pengamatan kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah perlakuan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan uji T untuk bilirubin, dan data tentang gambaran histologis hati dianalisis secara nonparametrik,
yaitu dengan Mann-Whitney U dengan program SPSS. Hasil yang didapat menunjukan terjadi peningkatan
kadar bilirubin yang bermakna (p<0,05) pada kelompok glutamin dan non-glutamin setelah perlakuan. Peningkatan
bilirubin lebih tinggi pada kelompok non-glutamin dibandingkan kelompok dengan glutamin (p<0,05). Sel hepatosit
menunjukkan tingkat degenerasi, nekrosis yang lebih banyak dan peningkatan sel-sel radang setelah perlakuan
dengan glutamin dan non-glutamin (p<0,05). Kelompok non-glutamin mengalami peningkatan sel nekrosis dan sel
radang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok glutamin (p<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
glutamin dapat melindungi fungsi hati pada pemberian parasetamol dan beban maksimal pada mencit.
Kata kunci: Renang maksimal, glutamin, parasetamol, radikal bebas, kerusakan sel hati, mencit
Pendahuluan Hati merupakan organ tubuh yang penting dalam menjaga
dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Dalam
menjalankan fungsi tersebut hati akan dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik dari dalam tubuh maupun dari
lingkungan. Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini
menyebabkan perubahan lingkungan yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap hati. Penggunaan berbagai zat kimia baik
berupa food additive maupun berupa pestisida serta obat-obatan,
akan ikut memperberat kerja hati. Di samping itu kehidupan
yang semakin susah dan selalu dituntut untuk bekerja keras
dalam mempertahankan kehidupan, sering menyebabkan lupa
untuk mengatur waktu istirahat. Kerja keras tanpa istirahat
pada akhirnya akan membebani hati. Aktivitas fisik yang berat
ternyata akan menimbulkan perubahan metabolisme dalam
tubuh yang akan menghasilkan radikal bebas (oxidant) yang
merusak sel-sel termasuk sel-sel hati.
Pada penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti,
ditemukan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS)
yang akan menimbulkan oxidative damage setelah melakukan
latihan fisik yang berat.1 Pada latihan fisik berat berupa lari
80 km terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan
antioksidan intraselular yang dapat menimbulkan kerusakan
sel hati sehingga terjadi peningkatan plasma aspartat
transaminase (AST/SGOT) 4 kali lipat dan peningkatan
kadar bilirubin yang merupakan tanda dari gangguan fungsi
hati.2 Setelah melakukan lari jarak jauh terjadi peningkatan
yang signifikan dari SGOT/AST 193% dan SGPT/ALT 42%
serta bilirubin total 106%. Hal ini terjadi karena kerusakan
hati dan kerusakan otot serta terjadi hemolisis.3 Pada
ARTIKEL PENELITIAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 193
penelitian terhadap pelari maraton ditemukan peningkatan
yang signifikan dari SGOT, SGPT dan bilirubin.4
Latihan yang dilakukan sesaat, juga dapat meningkatkan
AST/ SGOT dan Alanin aminotransaminase (ALT/SGPT)
dalam darah.5 Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar
malandialdehyde (MDA) sangat bermakna pada hati, yang
merupakan pertanda dari meningkatnya oxidative stress akibat
oxidant/radikal bebas.6
Penelitian yang dilakukan pada mencit dengan memberikan
beban aktivitas fisik berupa gerakan cepat 10 m/menit selama 2
jam dalam suatu rotating cage yang diikuti pemberian paracetamol/
acetaminophen 700 mg/Kg BB, terjadi peningkatan efek
hepatotoksik dibandingkan dengan tanpa beban maksimal.
Pada penelitian tersebut terjadi peningkatan kadar SGOT
dan SGPT yang diukur setelah 24 jam kemudian.7 Peningkatan
SGPT, SGOT dan bilirubin setelah aktivitas fisik dan setelah
pemberian acetominophen adalah akibat menurunnya kadar
glutathione yang merupakan antioksidan8 yang melindungi
sel-sel hati.9 Glutathione adalah suatu tripeptida yang terdiri
dari glycine-glutamate-cysteine.10
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan
kadar glutathione sehingga efek hepatotoksik dari radikal
bebas dapat diatasi. Pemberian n-acetylcystein pada saat
melakukan aktivitas fisik berat ternyata dapat meningkatkan
kadar glutathione tapi tidak dapat mengurangi kelelahan.9
Penelitian lain yang meneliti pengaruh pemberian
nacetylcystein pada penderita hepatitis oleh karena virus ternyata
tidak mampu meningkatkan kadar glutathione dalam sirkulasi.11
Meskipun peran glutathione dalam mengatasi keracunan hati
oleh parasetamol/acetaminophen telah jelas12,13 namun pemberian
enzim glutathione sintetase pada mencit yang diberikan
parasetamol/acetaminophen ternyata tidak mampu meningkatkan
kadar glutathione.14 Nampaknya perlu dicari usaha lain untuk
dapat meningkatkan kadar glutathione saat melakukan aktivitas
fisik berat dan setelah pemberian acetaminophen.
Glutamin adalah salah satu asam amino yang diperlukan
untuk sintesa glutathione dalam sel. Glutamat yang
merupakan salah satu komponen dari glutathione baru bisa
terpenuhi bila ada glutamin yang cukup dalam darah.10 Peran
glutamin dalam mempercepat waktu pemulihan jumlah
limfosit lien dan limfosit darah setelah beban aktivitas fisik
berat pada mencit telah terbukti.15 Sehingga perlu diteliti
peran glutamin dalam mencegah gangguan fungsi hati akibat
pemberian parasetamol dan beban aktivitas fisik maksimal,
dengan mengukur kadar bilirubin darah dan melihat gambaran
histologis jaringan hati.
Masalah dalam penelitian ini apakah pemberian glutamin
dapat memperkecil kenaikan bilirubin darah akibat olahraga
berat/aktivitas fisik maksimal dan parasetamol? Masalah lain
apakah pemberian glutamin dapat mengurangi terjadinya
perubahan gambaran histologis hepar akibat olahraga
berat/aktivitas fisik maksimal dan parasetamol? Tujuan
dari penelitian ini mengetahui efek glutamin terhadap
kadar bilirubin darah setelah melakukan aktivitas fisik
renang maksimal dan pemberian parasetamol pada mencit,
mengetahui efek glutamin terhadap perubahan gambaran
histologis hati setelah pemberian beban aktivitas fisik renang
maksimal dan parasetamol pada mencit.
Bahan dan Cara Kerja
Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan
rancangan randomized control group posttest only. Sampel
dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C jantan dengan
umur 4-5 bulan yang diperoleh dari kandang hewan coba Lab.
Farmakologi FK Unud. Besar sampel dalam penelitian ini adalah
40 ekor. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok masingmasing 10
ekor mencit. Kelompok 1 atau kelompok kontrol tanpa diberi
perlakuan. Kelompok 2 adalah kelompok kontrol dengan
glutamin secara oral dengan dosis 3,2 mg/hari/ekor selama
satu minggu. Kelompok 3 diberi perlakuan parasetamol secara
oral 7,5 mg/ekor dan latihan fisik berupa renang sekuatkuatnya
sampai hampir tenggelam atau nampak tandatanda
kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan
kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak serta
menurunnya waktu reaksi. Lamanya renang berkisar antara
45-50 menit. Perlakuan ini dilakukan di Lab. Farmakologi FK
Unud, hanya satu kali dilanjutkan dengan pengambilan darah
secara intrakardial sehingga mencit mati. Darah dikirim ke
Lab. Patologi Klinik FK Unud untuk dilakukan pemeriksaan
kadar bilirubin. Setelah mencit mati dilakukan pembedahan
laparatomi untuk mengambil hati. Hati direndam dengan
formalin 10% lalu dikirim ke Lab. Patologi Anatomi FK Unud
untuk dibuat sediaan PA. Kelompok 4 diberikan glutamin
secara oral dengan dosis 3,2 mg/ekor/hari selama seminggu
sebelum perlakuan renang maksimal. Setelah seminggu mencit
diberi perlakuan seperti kelompok 3. Terhadap kelompok
kontrol dilakukan pengambilan darah dan pengambilan hati
tanpa diawali dengan renang.
Variabel dalam penelitian ini meliputi: (a) variabel bebas,
yaitu renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam,
dengan parasetamol dan glutamin serta tanpa glutamin,
(b) Variabel tergantung, yaitu kadar bilirubin darah serta
gambaran histologis hati, (c) Variabel kendali, yaitu jenis
hewan coba, umur, kandang hewan coba.
Variabel gambaran histologis hati adalah keadaan sel-sel
hati serta adanya tanda-tanda degenerasi yang dilihat dengan
mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada 10
lapangan pandang untuk setiap sediaan, dan dilakukan oleh
seorang ahli patologi.
Uji statistik yang digunakan adalah uji T dan statistik
non-parametrik, yaitu uji Mann Whitney.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian berupa kadar bilirubin darah dapat dilihat
pada tabel 1,dan gambaran histopatologi jaringan hati dapat
dilihat pada grafik 1 dan 2 serta tabel 2.
ARTIKEL PENELITIAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200194 6
Tabel 1. Rata-rata kadar bilirubin dari ke empat kelompok percobaan
Keterangan:
Kelompok I:
Kelompok kontrol tanpa glutamin
Kelompok II:
Kelompok kontrol dengan glutamin
Kelompok III:
Kelompok perlakuan yang diberikan
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal
Kelompok IV: Kelompok perlakuan yang diberikan glutamin,
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal
Pada tabel 1 terlihat terjadi kenaikan bilirubin darah setelah
pemberian parasetamol dan aktivitas fisik maksimal. Pada ratarata
kontrol bilirubin darah baik yang diberikan glutamin dan
tanpa glutamin hampir sama, yaitu 0,7370 dan 0,7350.
Setelah diberikan perlakuan parasetamol dan aktivitas
fisik maksimal tanpa glutamin menjadi 1,2450. Secara
statistik perbedaan ini bermakna (p<0,05). Sedangkan
pada kelompok yang diberikan glutamin, parasetamol dan
aktivitas fisik maksimal kadar bilirubin darah naik menjadi
0,8200, secara statistik tidak berbeda dibandingkan kontrol
(p>0,05). Perbandingan keadaan sel-sel jaringan hati dapat
dilihat pada grafik 1 dan 2.
Grafik 1. Perbandingan gambaran PA pada kelompok tanpa glutamin
dan kelompok dengan glutamin
Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25%, 2=26%-
50%, 3=51%-75%, 4= 76%-100%. (dalam lapangan pandang 10x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2= 26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam 10 lapangan pandang)
Pada Grafik 1 terlihat perbandingan fokus degenerasi dan
nekrosis pada kontrol adalah 0 baik tanpa glutamin maupun
dengan glutamin (tidak ada degenerasi dan nekrosis). Setelah
pemberian beban renang maksimal terjadi peningkatan
jumlah degenerasi dan nekrosis sel pada kelompok tanpa
glutamin maupun dengan glutamin.
Secara statistik perbedaan tersebut bermakna dibandingkan
dengan kontrol (p<0,05). Begitu juga sel-sel PMN dan
limfosit (p<0,05). Kalau dibandingkan antara kelompok
tanpa glutamin dengan kelompok dengan glutamin setelah
diberikan beban maksimal terlihat perbedaan jumlah selsel
yang mengalami degenerasi dan nekrosis. Terlihat sel-sel
yang mengalami nekrosis lebih banyak pada kelompok tanpa
glutamin, dan secara statistik signifikan (p<0,05). Sel-sel yang
mengalami degenerasi tidak berbeda secara statistik(p>0,05).
Grafik 2. Perbandingan sel yang mengalami degenerasi dan nekrosis
serta PMN dan sel limfosit pada kelompok tanpa glutamin dan
kelompok dengan glutamin
Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25 %, =26%-
50%, 3=51%-75%, 4=76%-100%. (dalam lapangan pandang 10 x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2=26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam lapangan pandang 10x)
Pada Grafik 2 terlihat tidak ada perbedaan sel yang mengalami
degenerasi pada kelompok glutamin dengan kelompok tanpa
glutamin (P>0,05). Sel yang mengalami nekrosis dan sel-sel
radang lebih tinggi pada kelompok tanpa glutamin.
Dengan uji Mann-Whitney perbedaan tersebut bermakna
(p<0,05). Gambaran jaringan hati pada ke-4 perlakuan dapat
dilihat pada gambar 1 berikut.
A.
B.
C.
Kelompok
Std Deviasi
N Rata-rata
I. 0,3557 10 0,7370
II. 0,3554 10 0,7350
III. 0,4889 10 1,2450
IV. 0,2884 10 0,8200
ARTIKEL PENELITIAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 195
D.
Gambar 1. Gambaran histologis hati mencit kontrol dan setelah
perlakuan dengan pembesaran 400x
Keterangan:
A. Kontrol tanpa glutamin nampak sel hepatosit normal
B. Kontrol dengan glutamin nampak sel hepatosit normal
C. Renang, parasetamol tanpa glutamin nampak degenerasi dan
nekrosis yang banyak
D. Renang, parasetamol dengan glutamin nampak degenerasi
dan nekrosis yang lebih jarang dibandingkan tanpa glutamin.
Pembahasan
Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar bilirubin darah
setelah pemberian parasetamol dan aktivitas fisik maksimal.
Parasetamol dosis tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan
hati melalui beberapa mekanisme, yaitu akibat dari terbentuknya
metabolit toksik atau metabolit reaktif dari parasetamol, yaitu
N-acetyl-p-benzoquinon imine (NAPQI) yang terjadi akibat
dari aktivasi enzim cytochrom P450. NAPQI akan ditoksifiksi
oleh glutathion (GSH) menjadi acetaminophen-GSH. Pada
keracunan parasetamol GSH menurun hingga 90%. Akibatnya
metabolit reaktif NAPQI akan berikatan dengan cystein group
protein membentuk acetaminophen-protein adducts baik dengan
enzim maupun protein dalam sel maupun dalam mitochondria
sehingga terjadi gangguan fungsi pada akhirnya terjadi kerusakan
sel/lisis/nekrosis. Gangguan pada mitochondria menyebabkan
kekurangan ATP. Gangguan tersebut menyebabkan hilangnya
keseimbangan ion dalam sel dan mitokondria sehingga terjadi
peningkatan kalsium sitosolik pada akhirnya menyebabkan
aktivasi protease, endonuklease dan kerusakan DNA.16 Selain
mekanisme tersebut akibat pemberian parasetamol dosis tinggi
menyebabkan stres oksidatif.
Selama pembentukan NAPQI oleh Cytochrome P450 juga
terbentuk ion superoksida yang sangat reaktif. Kurangnya
glutathion akibat NAPQI akan menyebabkan ion superoksida
tidak dapat dinetralisir sehingga terjadi stres oksidatif.
Aktivitas fisik berat yang diberikan berupa renang
maksimal pada mencit akan memperberat terjadinya stres
oksidatif karena meningkatkan terbentuknya radikal bebas2
sehingga terjadi kerusakan sel-sel hati yang terlihat dari
meningkatnya SGOT, SGPT dan bilirubin.4,17 Meningkatnya
bilirubin juga disebabkan oleh karena terjadi kerusakan otot
dan hemolisis akibat aktivitas fisik berat.3,17
Pemberian glutamin sebelum pemberian parasetamol dan
beban maksimal dapat memperingan kerusakan jaringan hati
sehingga kadar bilirubin darah lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa glutamin.
Seperti telah disebutkan bahwa glutathione merupakan
antioksidan yang penting dalam sel hati yang akan mengikat
radikal bebas serta metabolit toksik parasetamol.16 Glutamin
adalah salah satu asam amino yang diperlukan untuk sintesa
glutathione dalam sel. Glutamate yang merupakan salah satu
komponen dari glutathione baru bisa terpenuhi bila ada
glutamin yang cukup dalam darah.10
Kesimpulan dan Saran
Pembebanan aktivitas fisik maksimal dan parasetamol
dapat meningkatkan kadar bilirubin darah dan dapat
meningkatkan degenerasi serta nekrosis sel hati mencit.
Pemberian glutamin sebelum pembebanan aktivitas fisik dan
parasetamol dapat melindungi fungsi hati serta mengurangi
nekrosis sel hati mencit.
Agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat kadar
radikal bebas pada jaringan hati setelah aktivitas fisik dengan
pemberian parasetamol dan dilindungi dengan glutamin.
Daftar Pustaka
1. Li Li Ji. Antioxidants and oxidative stress in exercise. Proceedings of the Society for
Experimental Biology and Medicine 1999;222:283-92
2. Chevion S, Molan DS, Heled Y, et al. Plasma antioxidant status and cell injury after
severe physical exercise. PNAS 2003;100(9):5119-23
3. De Paz JA, Villa JG, Lopez P, et al. 1995. Effect of long-distance running on serum
bilirubin. Med Sci Sports Exerc 1995;27(12):1590-4
4. Wu HJ, Chen KT, Shee BW, et al. Effect of ultra-marathon on biochemical and
hematological parameters. World J Gastroenterol 2004;15; 10(18):2711-4
5. Koutedakis Y, Raafat A, Sharp NC, et al. Serum enzyme activities in individuals with
different levels of physical fitness. J Spotts Med phys Fitness 1993;33(3):252–7
6. Liu J, Yeo HC, Hagen T, et al. Chronically and acutely exercised rats: biomarkers of
oxidative stress and endogenous antioxidants. J Appl Physiol 2000;89: 21-8
7. Yoon MY, Kim SN, Kim YC. Potentiation of acetaminophen hepatotoxicity by acute
physical exercise in rats. Res Commun Mol Pathol Pharmacol 1997;96(1):35-44
8. Phels DT, Deneke SM, Daley DL, et al. Elevation of glutathione levels in bovine
pulmonary artery endothelial cells by N-acetylcysteine. J Appl Physiol
1992;7(3):293-9
9. Medved, Brown MJ, Bjorksten AR, et al. N-acetylcysteine infusion alters blood redox
status but not time to fatigue during intense exercise in humans. J Appl Physiol
2003;94:1572-82
10. Frick R. Function of glutamine. Available at: http://www.medfaq.com/glulong 3.htm
11. Bernhard MC, Junker E, Hettinger A, et al. Time Course of total cystein, glutathione
and homocysteine in plasma of patients with chrinic hepatitis C treated with
interferon-alpha with and without supplementation with N-acetylcysteine. J
Hepatol 1998; 28(5):751-5
12. Song H, Chen TS. p-Aminophenol-induced liver toxicity: tentative evidence of a
role for acetaminophen. J Biochem Mol Toxicol 2001; 15(1):34-40
13. Chen TS, Richie JP, Nagasawa HT, et al. Glutathione monoethyl ester protects
against glutathione deficiencies due to aging and acetaminophen in mice.
Mech Ageing Dev 2000;120(1-3):127-39
14. Rzucidlo SJ, Bounous DI, Jones DP, et al. Acute acetaminophen toxicity in transgenic
mice with elevated hepatic glutathione. Vet Hum Toxicol 2000; 42(3):146-50
15. Jawi M. Glutamin mempercepat waktu pemulihan limfosit darah dan limfosit lien
setelah pemberian beban aktivitas fisik maksimal pada mencit. Penelitian Duelike
2002. Konas Ikafi XI Denpasar 2004
16. James LP, Mayyeux PR, Hinson JA. Acetaminophen-induced hepatotoxicity. Drug
Metabolism and Disposition 2003;31:1499-506
17. Fallon KE, Sivyer G, Sivyer K, et al. The biochemistry of runners in a 1600 km
ultramarathon. Br J Sports Med 1999;33(4):264-9
ARTIKEL PENELITIAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200196 6
ARTIKEL PENELITIAN
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Gagal Jantung Diastolik
L. Liza Nellyta* , Eko Purnomo**
* Alumni FKUP/RSHS
** RSPAD Gatot Subroto
Abstrak.Tiga juta penduduk Amerika terdiagnosis gagal jantung kongesti dan tidak kurang dari setengah
juta penderita baru dirawat di rumah sakit setiap tahun. Sayangnya data tentang prevalensi kasus gagal
jantung di Indonesia belum tersedia. Padahal angka kematian akibat gagal jantung cukup tinggi. Lebih
dari 50% penderita gagal jantung meninggal dalam kurun waktu 5 tahun setelah diagnosis. Penyakit
gagal jantung dijuluki pula sebagai heart cancer karena risikonya setara dengan bahaya penyakit kanker.
Insidensi gagal jantung diastolik meningkat sesuai pertambahan umur; oleh karena itu, 50% pasien yang
berusia >65 tahun dengan gagal jantung mempunyai ”Isolated Diastolic Dysfunction (IDD)”. Gagal jantung
diastolik diperkirakan 40-60% dari pasien gagal jantung kongesti, pasien ini mempunyai prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan gagal jantung sistolik. Gagal jantung diastolik adalah suatu sindroma
klinis yang ditandai dengan keluhan dan tanda gagal jantung di mana fungsi sistolik ventrikel kiri normal
(ejeksi fraksi >45%) dengan fungsi diastolik yang abnormal. Membedakan gagal jantung diastolik
dari sistolik penting sebab terdapat perbedaan patogenesis, prognosis dan penanganannya. Terapi
farmakologi yang merupakan pilihan untuk gagal jantung diastolik adalah angiotensin converting enzyme
inhibitors, angiotensin reseptor blockers, diuretics dan beta blockers.
Kata kunci: Gagal jantung diastolik, gagal jantung sistolik, ejeksi fraksi
Pendahuluan Tiga juta penduduk Amerika terdiagnosis gagal jantung
kongesti dan terdapat 500.000 kasus baru tiap tahun.
Diagnosis tersebut paling sering ditemukan pada
pasien dengan usia >65 tahun.15 Gagal jantung diastolik
diperkirakan terjadi pada 40-60% dari pasien gagal jantung
kongesti, pasien ini mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan gagal jantung sistolik.13
Insidensi gagal jantung diastolik meningkat sesuai
pertambahan umur. Lima puluh persen pasien yang berusia
>65 tahun dengan gagal jantung mempunyai ”Isolated Diastolic
Dysfunction (IDD)”. Dengan diagnosis dini dan penanganan
yang tepat, prognosis disfungsi diastolik lebih baik daripada
disfungsi sistolik.12 Baik disfungsi diastolik maupun sistolik
dapat menyebabkan gagal jantung kongesti. Oleh karena itu,
pasien tidak hanya mempunyai gagal jantung sistolik murni.
Meskipun penyakit kardiovaskular tertentu seperti hipertensi
dapat menyebabkan disfungsi diastolik tanpa disertai
disfungsi sistolik.17 Terapi farmakologi yang menjadi pilihan
untuk gagal jantung diastolik adalah angiotensin converting
enzyme inhibitors, angiotensin reseptor blockers, diuretik dan beta
blocker.12
Gagal jantung diastolik tidak dapat dibedakan dari
gagal jantung sistolik baik secara klinis dan radiografi, oleh
karena itu perlu pemeriksaan penunjang lainnya, seperti
ekokardiografi dua dimensi (alat noninvasif terbaik untuk
menegakkan diagnosis)/radionuclide angiography (digunakan
pada pasien yang secara teknis sulit dilakukan ekokardiografi),
namun kateterisasi jantung tetap merupakan metode yang
disarankan untuk mendiagnosis disfungsi diastolik.11,12
Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang dokter
untuk mengenali perbedaan gagal jantung diastolik dan
gagal jantung sistolik, serta memperbaiki penatalaksanaan
pengobatan pada pasien gagal jantung diastolik.
Definisi dan Kriteria Diagnosis
Gagal jantung diastolik adalah suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan keluhan dan tanda gagal jantung (dyspnea on
exertion, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, pulmonary
edema, jugular venous distension, rales, third or fourth heart
sounds, edema perifer, kardiomegali) di mana fungsi sistolik
ventrikel kiri normal (efeksi fraksi >45%) dengan fungsi
diastolik yang abnormal.2,3,12,18
Suatu penelitian menyarankan para dokter mengkombinasikan
informasi klinis dan ekokardiografi untuk
mengkategorikan pasien gagal jantung diastolik berdasarkan
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 197
tingkat kepastian diagnostik (tabel 1).16
Tabel 1. Kriteria diagnostik gagal jantung diastolik16
* Pasien yang memiliki bukti definitif gagal jantung kongesti
dan bukti objektif fungsi sistolik ventrikel kiri normal pada saat
kejadian CHF, mempunyai kemungkinan gagal jantung diastolik
setelah penyakit katup mitral, cor pulmonale, primary volume
overload dan penyebab di luar jantung telah disingkirkan.
** Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis, radiografi toraks yang
mendukung dan respon klinis yang spesifik terhadap diuretik
dengan atau tanpa peningkatan tekanan pengisian ventrikel
kiri atau indeks jantung yang rendah.
F Ejeksi fraksi ventrikel kiri lebih besar sama dengan 50% dalam
72 jam kejadian CHF
Y Relaksasi/pengisian/peregangan ventrikel kiri abnormal merupakan
indikator kateterisasi jantung.
Prevalensi dan Etiologi
40% pasien gagal jantung mempunyai fungsi sistolik yang
baik.14 Insidensi gagal jantung diastole meningkat dengan
pertambahan umur, dan lebih banyak ditemukan pada wanita
lansia.1,9 Hipertensi dan penyakit jantung iskemik merupakan
penyebab tersering gagal jantung diastolik. Faktor presipitasi
tersering meliputi kelebihan volume; takikardi; hipertensi;
iskemik; stressor sistemik (seperti anemia, demam, infeksi,
tirotoksikosis); arritmia (seperti atrial fibrilasi, AV blok);
meningkatnya konsumsi garam dan penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid.12
Patofosiologi
Diastol merupakan proses dimana jantung kembali
pada keadaan relaksasi. Secara konvensional, diastol dapat
dibagi menjadi 4 fase: isovolumetric relaxation, ditandai oleh
penutupan katup aorta sampai pembukaan katup mitral;
early rapid ventricular filling, setelah pembukaan katup mitral;
diastasis, merupakan suatu periode aliran lambat selama middiastol;
dan late rapid filling selama kontraksi atrial.6 Secara
luas isolated diastolic dysfunction dapat didefinisikan sebagai
gangguan relaksasi isovolumetrik ventrikular dan penurunan
compliance ventrikel kiri. Dengan disfungsi diastolik, jantung
dapat memenuhi kebutuhan metabolik tubuh baik saat
istirahat atau selama bekerja, tetapi dengan peningkatan
tekanan pengisian. Transmisi tekanan akhir diastolik yang
tinggi ke sirkulasi pulmonal menyebabkan kongesti pulmonal.
Dengan disfungsi ringan, late filling meningkat sampai volume
akhir diastolik ventrikel kembali ke normal. Pada kasus yang
berat, ventrikel menjadi kaku sehingga otot atrium gagal
mengkompensasi dan volume akhir diastolik tidak dapat
dinormalisasi dengan peningkatan tekanan pengisian. Proses
ini mengurangi stroke volume dan cardiac output, sehingga
menyebabkan effort intollerance.8
Tabel 2. Patofisiologi gagal jantung diastolik8
Diagnosis
Gagal jantung dapat menyebabkan kelelahan, dyspnea on
exertion, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, distensi vena
jugularis, ronki, takikardi, bunyi jantung tiga atau empat,
hepatomegali dan edema. Kardiomegali dan kongesti vena
pulmonalis sering ditemukan pada rontgen toraks. Namun
penemuan klinis ini tidak spesifik dan sering ditemukan
pada penyakit di luar jantung seperti penyakit paru, anemia,
hipotiroidisme dan obesitas. Lebih jauh lagi sulit untuk
membedakan gagal jantung diastolik dari gagal jantung
sistolik hanya berdasarkan klinis saja.12
Test serum brain natriuretic peptide (BNP) dapat
membedakan secara akurat gagal jantung dari penyakit di
luar jantung pada pasien dengan sesak nafas, namun tidak
dapat membedakan gagal jantung diastolik dari sistolik.7
Tabel 3. Keakuratan kadar BNP dalam mendiagnosis gagal jantung7
BNP= Brain Natriuretic Peptide; LR+= positive likelihood ratio; LR-=
negative likelihood ratio
ARTIKEL PENELITIAN
Kriteria Definitif Kriteria Probable* Kriteria Possible
Bukti definitif gagal jantung kongesti**
Dan Dan Dan
Bukti objektif fungsi sistolik ventrikel kiri normal Φ
Ejeksi fraksi ventrikel kiri ≥50%
tidak dalam 72 jam kejadian CHF
Dan Dan Dan
Bukti objektif disfungsi
diastolik ventrikel kiri Ψ
normal Φ
Tidak ada informasi yang menyimpulkan fungsi diastolik
ventrikel kiri
Kelebihan tekanan
iskemia
Disfungsi
diastolik
Abnormalitas
diastolik
Gagal jantung
diastolik
Toleransi aktivitas fisik dan
tanda-tanda gagal jantung
Fibrilasi atrium dan
curah jantung
Kekakuan
Hipertrofi infark otot
jantung
Toleransi
aktivitas fisik
Tekanan paru-paru
selama aktivitas fisik
Tekanan pengisian
ventrikel kiri
Relaksasi abnormal
dan Kekakuan
Toleransi aktivitas
fisik normal
Pengisian awal
abnormal
Relaksasi abnormal
Tekanan dan ukuran
atrium kiri
Gagal jantung kongesti vs nonkongesti Gagal jantung sistolik vs nonsistolik
Kadar BNP
(pg per mL)
Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
LR+ LRSensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
LR+ LR-
100 90 73 4.5 0.12 95 14 1.1 0.36
200 81 85 5.4 0.22 89 27 1.2 0.41
300 73 89 6.6 0.3 83 29 1.4 0.44
400 63 91 7 0.41 74 50 1.48 0.52
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200198 6
Sebagai tambahan untuk memperoleh informasi tentang
chamber size, ketebalan dinding dan pergerakan, fungsi sistolik,
katup dan perikardium, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler dapat digunakan untuk mengevaluasi karakteristik
transmitral diastolik dan pola aliran vena pulmonalis.10
Pada ekokardiografi, kecepatan puncak aliran darah
melewati katup mitral selama early diastolic filing dinyatakan
sebagai gelombang E dan kontraksi atrial dinyatakan sebagai
gelombang A. Oleh karena itu ratio E/A dapat dihitung. Pada
keadaan normal, E lebih besar dari A dan ratio E/A mendekati
1,5.12
Pada disfungsi diastolik awal, relaksasi terganggu dengan
kontraksi atrial kuat, ratio E/A menurun sampai <1. Selama
perjalanan penyakit, compliance ventrikel kiri berkurang,
di mana terdapat peningkatan tekanan atrial dan akhirnya
terdapat peningkatan early left ventricular filling selain
gangguan relaksasi. Keadaan ini disebut pseudonormalisasi.
Pada pasien dengan disfungsi diastolik berat, pengisian
ventrikel kiri terjadi pada awal diastol, sehingga membuat
ratio E/A>2. Kecepatan gelombang E dan A dipengaruhi
oleh volume darah, anatomi katup mitral, fungsi katup mitral
dan atrial fibrilasi, hal ini membuat standard ekokardiografi
kurang dapat dipercaya. Pada kasus ini, tissue doppler imaging
sangat berguna untuk mengukur mitral annular motion
(pengukuran aliran transmital bergantung pada faktor-faktor
yang telah disebutkan).12
Kateterisasi jantung tetap merupakan metode yang
disarankan untuk mendiagnosis disfungsi diastolik. Namun
dalam prakteknya, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler merupakan alat noninvasif terbaik untuk menegakkan
diagnosis. Walaupun sangat jarang, radionuclide angiography
digunakan pada pasien yang secara teknis sulit dilakukan
ekokardiografi.12
Penatalaksanaan
Pencegahan primer gagal jantung diastolik meliputi
berhenti merokok dan penanganan agresif hipertensi,
hiperkolesterolemia dan penyakit arteri koroner. Modifikasi
gaya hidup seperti penurunan berat badan, berhenti merokok,
perubahan pola makan, pembatasan asupan alkohol dan
olahraga, efektif dalam mencegah gagal jantung diastolik dan
sistolik. Disfungsi diastolik dapat muncul beberapa tahun
sebelum terdapat bukti klinis.8
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam
mencegah perubahan struktural ireversibel dan disfungsi
sistolik. Namun tidak ada obat tunggal yang murni lusitropic
properties (selektif meningkatkan relaksasi otot jantung tanpa
menghambat fungsi atau kontraktilitas ventrikel kiri). Oleh
karena itu, terapi medis untuk disfungsi diastolik dan gagal
jantung diastolik sering empiris dan tidak sebaik terapi gagal
jantung sistolik. Pada permukaan tampaknya terapi farmako
untuk gagal jantung sistolik dan diastolik tidak berbeda jauh.12
American College of Cardiology dan American Heart
Association mengeluarkan panduan yang menyarankan
dokter untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung,
pengurangan volume darah sentral dan mengurangi iskemia
otot jantung. Target panduan ini adalah untuk mengatasi
faktor-faktor penyebab, meningkatkan fungsi ventrikel kiri dan
mengoptimalkan hemodinamik.5 Adapun tujuan penanganan
gagal jantung diastolik dapat dilihat pada tabel 4.12
Tabel 4. Tujuan penanganan gagal jantung diastolik12
ACE= Angiotensin-Converting Enzyme;
ARB= Angiotensin Receptor Blocker
Memperbaiki Fungsi Ventrikel Kiri
Ketika menangani pasien dengan disfungsi diastolik,
penting untuk mengontrol denyut jantung dan mencegah
takikardi untuk memaksimumkan periode pengisian
diastolik. Beta bloker berguna untuk tujuan ini, namun
tidak secara langsung menyebabkan relaksasi otot jantung.
Dalam memperlambat denyut jantung, beta bloker terbukti
bermanfaat dalam mengurangi tekanan darah dan iskemia
otot jantung, mengurangi hipertropi ventrikel kiri dan
mengurangi stimulasi adrenergik berlebihan selama gagal
jantung. Beta bloker dapat memperbaiki harapan hidup
pada pasien dengan gagal jantung diastolik, khususnya bila
terdapat hipertensi, penyakit arteri koroner atau aritmia.12
Optimalisasi Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik terutama dicapai dengan
mengurangi preload dan afterload. Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor dan Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
secara langsung mempengaruhi compliance dan relaksasi otot
jantung dengan menghambat produksi atau memblok reseptor
Mengobati faktor-faktor presipitasi dan penyakit yang mendasarinya.
Mencegah dan mengobati hipertensi dan penyakit jantung iskemik.
Menghilangkan secara bedah penyakit perikardium.
Memperbaiki relaksasi ventrikel kiri.
ACE inhibitors
Calcium channel blokers
Mengurangi hipertropi ventrikel kiri(mengurangi penebalan dinding dan
menghilangkan kolagen yang berlebih).
ACE inhibitors dan ARBs
Aldosterone antagonists
Beta blocker
Calcium channel blockers
Menjaga sinkronikasi atrioventrikular dengan menangani takikardi (takiaritmia).
Beta blocker (pilihan)
Calcium channel blockers (obat golongan kedua)
Digoksin (kontroversial)
Ablasi nodus atrioventrikular (kasusnya jarang)
Optimalisasi volume sirkulasi (hemodinamik).
ACE inhibitors
Aldosterone antagonists (bermanfaat secara teoritis)
Pembatasan garam dan air
Diuresis, dialisis, atau plasmapheresis
Meningkatkan harapan hidup.
Beta blocker
ACE inibitors
Mencegah relaps dengan menekankan follow-up pada pasien rawat jalan.
Kontrol tekanan darah
Konsultasi gizi (garam)
Memonitor status volume (daily weights dan diuretic adjustment)
Program aktivitas fisik (olahraga) oleh suatu institusi
ARTIKEL PENELITIAN
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 199
ARTIKEL PENELITIAN
angiotensin II, dengan cara mengurangi cadangan kolagen
interstitial dan fibrosis. Manfaat tidak langsung dari optimalisasi
hemodinamik meliputi perbaikan pengisian ventrikel kiri
dan mengurangi tekanan darah. Lebih penting lagi, terdapat
perbaikan kapasitas kerja dan kualitas hidup.12,19
Diuretik efektif dalam penanganan optimal volume
intravaskular dan mengurangi sesak nafas dan mencegah
gagal jantung akut pada pasien dengan disfungsi diastolik.
Meskipun diuretik mengontrol tekanan darah, memperbaiki
hipertropi ventrikel kiri dan mengurangi kekakuan ventrikel
kiri, beberapa pasien dengan gagal jantung diastolik sensitif
terhadap pengurangan preload dan dapat mengakibatkan
hipotensi dan azotemia prerenal berat. Diuretik intravena
seharusnya hanya digunakan untuk mengurangi gejala akut.12
Hormon aldosteron menyebabkan fibrosis jantung
dan berperan dalam kekakuan diastolik. Efek antagonis
aldosteron, spironolactone (Aldactone®) pada gagal jantung
sistolik menunjukkan penurunan angka mortalitas, sedangkan
efeknya pada disfungsi diastolik tidak jelas.12 Calcium channel
blockers telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi
diastolik secara langsung dengan mengurangi konsentrasi
kalsium sitoplasmik dan menyebabkan relaksasi otot
jantung atau secara tidak langsung mengurangi tekanan
darah, mencegah atau mengurangi iskemik otot jantung,
mengurangi hipertropi ventrikel kiri dan memperlambat
denyut jantung. Bagaimanapun juga nondihydropyrimidine
calcium channel blockers (seperti verapamil (Calan®)),
diltiazem (Cardizem®) seharusnya tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan disfungsi ventrikel kiri. Long-acting
dihydropyrimidine (seperti amlodipine (Norvasc®) seharusnya
hanya digunakan untuk mengontrol irama dan angina ketika
beta bloker kontraindikasi atau tidak efektif. Akhirnya pada
penelitian random terkontrol berskala besar, calcium channel
blockers belum terbukti menurunkan angka kematian pada
pasien dengan isolated diastolic dysfunction.4,12
Vasodilator (seperti nitrat, hydralazine (Apresoline®))
mungkin berguna karena menurunkan preload dan efek
antiiskemik, khususnya ketika ACE inhibitor tidak dapat
digunakan. Vasodilator digunakan secara hati-hati karena
penurunan preload dapat memperburuk cardiac output.
Tidak seperti obat lain yang digunakan untuk gagal jantung
diastolik, vasodilator tidak mempunyai efek regresi ventrikel
kiri. Penelitian gagal jantung dengan vasodilator tidak
menunjukkan manfaat harapan hidup yang signifikan pada
pasien gagal jantung diastolik.12
Peranan digoksin masih kontroversial dalam penanganan
pasien dengan gagal jantung diastolik. Pada pasien dengan
ejeksi fraksi normal, digoksin dapat merusak fungsi jantung
dengan meningkatkan kontraktilitas dan konsumsi oksigen,
dimana oksigen menghambat kalsium klirens intraselular saat
diastolik sehingga mengganggu relaksasi diastolik. Digoksin
berperan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien atrial
fibrilasi atau flutter.12
Kesimpulan
Terdapat perbedaan patogenesis, prognosis dan
penanganan antara gagal jantung diastolik dan gagal jantung
sistolik. Dokter perlu mengkombinasikan informasi klinis dan
ekokardiografi untuk mengkategorikan pasien gagal jantung
diastolik. Gagal jantung diastolik diperkirakan 40-60% dari
pasien gagal jantung kongesti, pasien ini mempunyai prognosis
yang lebih baik dibanding gagal jantung sistolik. Terapi
farmakologi yang merupakan pilihan untuk gagal jantung
diastolik adalah angiotensin converting enzyme inhibitors,
angiotensin reseptor blockers, diuretics dan beta blockers.
Daftar Pustaka
1. Ahmed A, Nanda NC, Weaver MT, et al. Clinical correlates of isolated
left ventricular diastolic dysfunction among hospitalized older
heart failure patient. Am J Geriatr Cardiol 2003;12:82-9
2. Braunwald E, Michael JG, Wilson SC. Clinical aspect of heart failure.
In: Heart Disease: Textbook of Cardiovascular Medicine 6th edition.
Philadelphia:Saunders; 2001.p.534-62
3. Grossman W. Defining diastolic dysfunction. Circulation 2000;101:2020-1
4. Gutierrez C, Blanchard DG. Diastolic heart failure: challenges of
diagnosis and treatment. Am Fam Physician 2004;69:2609-16
5. Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the
adult: executive summary. A report of the american college of
cardiology/american heart association task force on practice
guidelines. J Am Coll Cardiol 2001;38:2101-13
6. Kovacs SJ, Meisner JS, Yellin EL. Modelling of distole. Cardiol Clin
2000;18:459-87
7. Maisel AS, McCord J, Nowak RM, et al. Bedside B-type natriuretic
peptide in the emergency diagnosis of heart failure with reduced
or perseved efection fraction. Results from the breathing not
properly multinational study. J Am Coll Cardiol 2003; 41:2010-7
8. Mandinov L, Eberli FR, Seiler C, et al. Diastolic heart failure.
Cardiovascular Research 2000;45:813-25
9. McCullough PA, Philbin EF, Spertus JA, et al. Confirmation of a heart failure
epidemic: findings from the resource utilization among congestive
heart failure (REACH) study. J Am Coll Cardiol 2000;39:60-9
10. Naqvi TZ. Diastolic function assessment incorporating new techniques
in doppler echocardiography. Rev Cardiovasc Med 2003;4:81-99
11. Philbin EF, Hunsberger S, Garg R, et al. Usefulness of clinical information
to distinguish patients with normal from those with low ejection
fractions in heart failure. Am J Cardiol 2002;89:1218-21
12. Satpathy C, Mishra TK, Satpathy R, et al. Diagnosis and management
of diastolic dysfunction and heart failure. Am Fam Physician 2006;
73:841-6
13. Senni M, Redfield MM. Heart failure with preserved systolic function.
A different natural history? J Am Coll Cardiol 2001;38:1277-82
14. Tecce MA, Pennington JA, Segal BL, et al. Heart failure: clinical implications
of systolic and diastolic dysfunction. Geriatrics 1999;54:24-8, 31-3
15. van Kraaij DJ, van Pol PE, Ruiters AW, et al. Diagnosing diastolic heart
failure. Eur J Heart Fail 2002;4:419-30
16. Vasan RS, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Congestive heart failure in
subjects with normal versus reduced left ventricular efection
fraction: prevalence and mortality in a population-based cohort. J
Am Coll Cardiol 1999;33:1948-55
17. Vasan RS, Levy D. Defining diastolic heart failure: a call for standardized
diagnostic criteria. Circulation 2000;101:2118-21
18. Warner JG, Metzger DC, Kitzman DW, et al. Losartan improves exercise
tolerance in patients with diastolic dysfunction and a hypertensive
response to exercise. J Am Coll Cardiol 1999;33:1567-72
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 207
Berkibarlah Merah Putih-Ku
SEKILAS DEXA MEDICA GROUP
Dexa Media. Keheningan saat merah putih dikibarkan oleh
petugas upacara, seolah meneguhkan kembali tingginya rasa
nasionalisme warga Dexa Medica Group (DXG). Diiringi
lagu Indonesia Raya, sang Merah Putih berkibar, melambai
ditiup sang bayu…!
Gelanggang Olah Raga Ragunan Jakarta, 17 Agustus 2006,
pukul 08.10 WIB, menjadi saksi kebersamaan warga Dexa
Group di dalam memperingati HUT Proklamasi Republik
Indonesia yang ke-61. Sekitar 650 warga DXG dari kantor
pusat dan perwakilan Jabotabek berbaris berbanjar, khidmat
mengikuti prosesi upacara bendera.Usai upacara bendera,
dilanjutkan pertandingan DXG CUP II, yang berjalan meriah
dan penuh persaudaraan.
Bapak Ir. Ferry A. Soetikno, MSc,MBA, Corporate
Managing Director DXG, selaku Pembina Upacara, pagi
itu tampil mempesona, selaras dengan kostum para petugas
upacara bendera yang tampil gagah layaknya pasukan
pengibar bendera.
Dalam amanatnya, Pak Ferry mengingatkan agar warga
DXG terus berkarya demi nusa dan bangsa. “Setiap niatan
yang baik, dan diproses dengan baik akan memberikan hasil
yang baik,” demikian salah satu amanat yang penting dari
Pak Ferry Soetikno. Karyanto
Dexa Media. Pada hari Rabu, tanggal 20 September 2006, Tim OGB
Dexa di seluruh Indonesia mengadakan perhelatan bertajuk “Sehari
Bersama OGBdexa”.
Sejak pagi hari itu, kesibukan rekan-rekan Tim OGB Dexa di tiap-tiap
cabang mulai bergulir. Sekitar pukul 8.30, rekan-rekan Tim OGB Dexa
bergerak menuju Rumah Sakit Umum, baik swasta maupun pemerintah
yang telah ditetapkan.
Kegiatan di tiap lokasi diawali dengan membagi brosur “Kenali OGB”
kepada pasien dan pegawai apotek di Rumah Sakit. Tim OGB Dexa
juga melakukan survei dengan mewawancarai pasien untuk mengetahui
awareness masyarakat terhadap obat generik berlogo dan sekaligus
mengenalkan brand OGBdexa di kalangan awam.
Secara keseluruhan acara berjalan lancar dan mendapatkan respon
positif dari Rumah Sakit maupun masyarakat luas. OGBdexa: Segitiga
Merahnya, Bikin Hemat. Natalia
OGBdexa, Segitiga Merahnya, Bikin Hemat
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200208 6
SEKILAS DEXA MEDICA GROUP
Dexa Media. Komitmen Dexa Medica Group untuk terus
mengembangkan produk-produk non-konvensional semakin
nyata. Hal ini dibuktikan dengan peluncuran Toxilite di Hard
Rock Café Jakarta, 12 September 2006.
Penyanyi Dellon dan presenter Novita Angie, menjadi
bintang tamu yang menghangatkan suasana. Toxilite
mengandung bahan–bahan alami seperti ekstrak Curcuma
xanthorizza (100 mg), Lecithin(25 mg), dan Vitamin E (100
mg). Toxilite bekerja membantu memperbaiki sel-sel hati
(liver), sehingga dapat mengoptimalkan fungsi detoksifikasi
yang dilakukan oleh hati terhadap toxin (racun) yang diserap
tubuh. Toxin tersebut bisa berasal dari lingkungan disekitar kita,
seperti: asap rokok, obat serangga, zat pengawet, zat pewarna,
pestisida, alkohol, ataupun polusi kendaraan bermotor.
Grand Launching Toxilite dikemas atraktif, dihadiri perwakilan
outlet wilayah Jabodetabek, rekan-rekan Dexa Medica
Group, dan sekitar 30 media cetak dan elektronik. Sebelum
grand launching digelar, diawali dengan Konferensi Pers.
Rekan-rekan media diajak berbagi wawasan mengenai
Kiat Menetralkan Racun dalam Tubuh Secara Sehat dan
Alami. Saat itu, Bapak Ferry A. Soetikno, Corporate
Managing Director Dexa Medica Group, dan Ibu Sylvia
A. Rizal, Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medica
sebagai narasumber, dipandu Bapak Karyanto, Corporate
Communications Manager DXG.
Menjelang puncak acara, Novita Angie selaku MC,
mengundang sejumlah dancer untuk menyajikan komposisi
tarian unik dari Toxic Dancers. Dalam tarian itu digambarkan
toxin–toxin itu akhirnya mati, berguguran, saat Toxilite
menggempur mereka.
Sebelum Delon menampilkan sejumlah lagu-lagu
manis, talkshow singkat digelar dengan topik mengenai
apa dan bagaimana Toxilite bekerja memkasimalkan proses
penetralan racun tubuh. Serta keunggulan Toxilite. Talkshow
menampilkan Bapak Raymond R. Tjandrawinata, Director
of Scientific Affairs & Corporate Development Dexa
Medica, dan dokter spesialis Hepatologi, Dr. Rino A Gani,
Sp.PD,KGEH. Indriana
Delon Semarakkan
Peluncuran TOXILITE
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006 211
PROFIL
Pembaca yang budiman,
Mulai edisi ini Dexa Media melayani permintaan penelusuran jurnal hanya dengan
melalui Tim Promosi Dexa Medica Group, apabila tidak melalui Tim Promosi Dexa
Medica Group, kami tidak melayani permintaan. Di bawah ini akan diberikan daftar
isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon
halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda p dan dikirimkan ke alamat
redaksi.
Avian influenza: Preparing for a pandemic. American Academy of Family Physicians 2006;74:783-90
Cognitive impairment in bipolar II disorder. British Journal of Psychiatry 2006;189:254-9
Effect of celecoxib on cardiovascular eventsand blood pressure in two trials for the prevention of
colorectal adenomas. Circulation 2006;114:1028-35
Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes:Physiology, pathophysiology, and management.
Clinical Diabetes 2006; 24(3):115-21
Ferritin and transferrin are both predictive ofthe onset of hyperglycemia in men and women over
3 years. Diabetes Care 2006; 29:2090-4
Effect of weight loss with lifestle intervention on risk of diabetes. Diabetes Care 2006;29:2102-7
Oral anticoagulations in development. Focus on thromboprophylaxis in patients undergoing
orthopaedic surgery. Drugs 2006; 66(11):1411-29
Pharmacological approaches to the management of cognitive dysfunction in schizophrenia. Drugs
2006;66(11):1465-73
Risk for tuberculosis among children. Emerging Infectious Diseases 2006;12(9):1383-8
Clinical events in high-risk hypertensive patients randomly assigned to calcium channel blocker
versus angiotensin-converting enzyme inhibitor in the antihypertensive and lipid-lowering
treatment to prevent heart attack trial. Hypertension 2006;48:374-84
Topical ciprofloxacin/dexamethasone superior to oral amoxicillin/clavulanic acid in acute otitis
media with otorrhea through tympanostomy tubes. Pediatrics 2006;118:561-9
Mycoplasma genitalium as a sexually transmitted infection: implications for screening, testing,
and treatment. Sexually Transmitted Infections 2006;82:269-71
Role of minimally invasive surgery in gynecologic cancers. The Oncologist 2006;11:895-901
Celecoxib for the prevention of sporadic colorectal adenomas. The New England Journal of Medicine
2006;355(9):873-84
Cerebral aneurysms. The New England Journal of Medicine 2006;355(9):928-39
PENELUSURAN JURNAL
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 200212 6
KALENDER PERISTIWA
1) Biennial Symposium DIGM: “Geriatri Update 2006”
Tempat: Hotel Le Meridien, Jakarta
Tanggal: 04-05 November 2006
Sekretariat: Global Medica Communications, Jakarta
E-mail: globalmedica@cbn.net.id
Telp: 021-30042089
Faks: 021-30041027
2) XVIII FIGO World Congress of Gynecology and
Obstetrics
Tempat: Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia
Tanggal: 5-10 November 2006
Sekretariat: AOS Convention & Events Sdn Bhd
No. 39240, Jl. Mamandan 9, Ampang Point 68000,
Ampang Kuala Lumpur - Malaysia
E-mail: consec@figo2006kl.com
Telp: +60 3 4252 9100
Faks: +60 3 4257 1133
Website: http://www.figo2006kl.com
3) The 6th Asian & Oceanian Epilepsy Congress
Tempat: Kuala Lumpur, Malaysia
Tanggal: 16-19 November 2006
Sekretariat:
ILAE/IBE Congress Secretariat 7 Priory Hall, Stillorgan,
Dublin 18, Ireland
Telp: +353 1 2059720
Faks: +353 1 2056156
Website: http://www.epilepsykualalumpur2006.org
4) World Menopause Day: Menopause and Aging
Quality of Life and Sexual
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Tanggal: 16-19 November 2006
Sekretariat: Yayasan Sehat Wanita Indonesia PERMI
Jl. Saharjo 120 Jakarta 12960 Indonesia
E-mail: permijakarta@yahoo.com
Telp: 021-8292672 / 8312378
Faks: 021-830190
Contact person: Nelly Hutajulu, SKM
5) The 2nd International Symposium Jakarta for Healthy
Travellers
Tempat: Jakarta
Tanggal: 18-19 November 2006
Sekretariat: Global Medica Communications, Jakarta
E-mail: globalmedica@cbn.net.id
Telp: 021-30042089
Faks: 021-30041027
6) WFAS International Symposium on Acupuncture
Tempat: Sanur Paradise Plaza, Sanur, Bali
Tanggal: 22-26 November 2006
Sekretariat:
Pacto Convex Lagoon Tower, Level B-1 Jakarta Hilton
Int’l, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270
E-mail: convex1@indosat.net.id
Telp: 62-21-5705800 ext 420
Faks: 62-21-5705798
Contact: Reny Yetri
7) Kongres I PERKAPI (Perhimpunan Kedokteran Anti
Penuaan Indonesia) Anti Aging: New Challenge in
Medicine
Tempat: Jakarta Convention Center, Jakarta
Tanggal: 24-25 November 2006
Sekretariat:
Sekretariat Kongres Nasional I PERKAPI Perkantoran
Kebun Jeruk Baru Blok A No. 13-14 Jl. Arjuna Selatan,
Jakarta 11530
E-mail: hospex@cbn.net.id
Telp: 021-5367 7981-82
Faks: 021-5367 7983
8) Seminar & Workshop PASTI (Perkumpulan Awet Sehat
Indonesia) Restoring Youthful Hormone Level
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Tanggal: 25 November 2006
Sekretariat:
PASTI Jl. Sultan Iskandar Muda No. 30 A-B
Jakarta 12240
Telp: 021-729 0623
Faks: 021-7289 5871
Contact: dr. Fredy Wilmana / dr. Arjati Daud
9) 11th Asian Symposium on Rhinology
Tempat: Kuala Lumpur, Malaysia
Tanggal: 02-04 Desember 2006
Sekretariat:
Academy of Medicine
E-mail: acadmed@po.jaring.my
10) PIN PAPDI
Tempat: Hotel Mercure, Ancol - Jakarta
Tanggal: 15-17 Desember 2006
Sekretariat:
E-mail: pb_papdi@indo.net.id
Telp: 021-3910294, 31931384, 3193808 pswt: 6703
Faks: 021-3148163