Rabu, 27 Januari 2010

Chronic Obstructive Pulmonal Disease (COPD)

Askep COPD

Chronic Obstructive Pulmonal Disease (COPD)


A. Pengertian

COPD adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005), COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.

Askep COPD


B. Klasifikasi

Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Asma Bronkhial: dikarakteristikan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.

  2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.

  3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus.

Askep COPD


C. Etiologi

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999) adalah :
  1. Kebiasaan merokok
  2. Polusi udara
  3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
  4. Riwayat infeksi saluran nafas.
  5. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.
Askep COPD


D. Tanda dan gejala

Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
  1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
  2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
  3. Dispnea.
  4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
  5. Anoreksia.
  6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
  7. Takikardia, berkeringat.
  8. Hipoksia, sesak dalam dada.
Askep COPD


D. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Anamnesis :
    Riwayat penyakit ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-faktor penyebab.

  2. Pemeriksaan fisik :
    • Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter anteroposterior dada meningkat).
    • Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
    • Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang.
    • Suara nafas berkurang.

  3. Pemeriksaan radiologi
    • Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
    • Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.

  4. Tes fungsi paru :
    Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.

  5. Pemeriksaan gas darah.

  6. Pemeriksaan EKG

  7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.
Askep COPD


E. Komplikasi

Infeksi yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrosit karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas, dan kor pulmonal.


F. Penatalaksanaan
  1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.

  2. Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :

    • Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
      • Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x 0,5 g/hari.

      • Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih kuat.

    • Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.

    • Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

    • Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk didalamnya golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan sulbutamol 5 mg dan atau protropium bromide 250 g diberikan tiap 6 jam dengan rebulizer atau aminofilin 0,25 – 05 g IV secara perlahan.

  3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
    • Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25 – 0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
    • Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif fungsi foal paru.
    • Fisioterapi.
    • Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
    • Mukolitik dan ekspekteron.
    • Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas Tip II dengan PaO2 <>
    • Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b) Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.
Askep COPD



Asuhan Keperawatan pada pasien dengan COPD


A. Pengkajian
  1. Identitas klien
    Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga Negara, bahasa yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama, alamat, hubungan dengan klien.

  2. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
    Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang membuat status kesehatan klien menurun.

  3. Pola nutris metabolik.
    Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan dan minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun adanyaterapi intravena, penggunaan selang enteric, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan, lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh gambaran status nutrisi.

  4. Pola eliminasi.
    • Kaji terhadap rekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output setiap sift.
    • Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
      kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat bantu/intervensi dalam Bab.

  5. Pola aktivitas dan latihan
    Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang dan juga penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain. Tanyakan kepada klien tentang penggunaan waktu senggang. Adakah keluhanpada pernapasan, jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan lemah.

  6. Pola tidur dan istirahat
    Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur siang. Apakah klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca, minum susu, menulis, memdengarkan musik, menonton televise. Bagaimana suasana tidur klien apaka terang atau gelap. Sering bangun saat tidur dikarenakan oleh nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.

  7. Pola persepsi kogniti
    Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan, pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien mengatasi tak nyaman : nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti pengelihatan kabur, pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi terhadap tempat waktu dan orang.

  8. Pola persepsi dan konsep diri
    Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.

  9. Pola peran hubungan dengan sesama
    Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien di masyarakat dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan komunikasi verbal dan gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga dan orang lain.

  10. Pola produksi seksual
    Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.

  11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
    Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri, tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan, penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.

  12. Pola system kepercayaan
    Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan kesehatan.
Askep COPD


B. Diagnosa Keperawatan
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.

  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).

  3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.
Askep COPD


C. Perencanaan Keperawatan.
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.

    Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan
    individu.

    Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas
    bersih/jelas.

    Intervensi
    1. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
      Rasional :
      Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi.

    2. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
      Rasional :
      Peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan menggunakan gravitasi. Namun pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.

    3. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya : mengi, krokels dan ronki.
      Rasional :
      Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius, misalnya : penyebaran, krekels basah (bronchitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi napas (asma berat).

    4. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
      Rasional :
      Disfungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misalnya infeksi dan reaksi alergi.

    5. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
      Rasional :
      Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.

    6. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk pendek, basah, bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan jalan napas.
      Rasional :
      Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi dada.

    7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
      Rasional :
      Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan air hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

    8. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin), albuterol (proventil, ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol, bronkometer).
      Rasional :
      Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral, injeksi atau inhalasi. dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
      (Doenges, 1999. hal 156).


  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).

    Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
    keperluan tubuh.

    Kriteria hasil :
    • Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
    • Tanda-tanda vital dalam batas normal
    • Tidak ada tanda-tanda sianosis.

    Intervensi :
    1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius, napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang.
      Respon :
      Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan kronisnya proses penyakit.

    2. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
      Rasional :
      Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir atau danun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.

    3. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
      Rasional :
      Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan laithan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.

    4. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
      Rasional :
      Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.

    5. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
      Rasional :
      Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya sekret. Krekles basah menyebar menunjukan cairan pada interstisial/dekompensasi jantung.

    6. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
      Rasional :
      Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

    7. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
      Rasional :
      Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan ; emfisema koronis, mengatur pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin dikkeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.
      (Doenges, 1999. hal 158).


  3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.

    Tujuan : Rasa nyeri berkurang sampai hilang.

    Kriteria hasil :
    • Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
    • Ekspresi wajah rileks.

    Intervensi :
    1. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki perubahan karakter/intensitasnyeri/lokasi.
      Respon :
      Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat timbul komplikasi seperti perikarditis dan endokarditis.

    2. Pantau tanda-tanda vital.
      Rasional :
      Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda vital.

    3. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
      Rasional :
      Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.

    4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
      Rasional :
      Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan memberan mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.

    5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
      Rasional :
      Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.

    6. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
      Rasional :
      Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.
      (Doenges, 1999. hal 171).

Peritonitis

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Peritonitis
Askep Peritonitis



Peritonitis

Pengertian

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa.


Etiologi
  1. Infeksi bakteri
    • Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
    • Appendisitis yang meradang dan perforasi
    • Tukak peptik (lambung / dudenum)
    • Tukak thypoid
    • Tukan disentri amuba / colitis
    • Tukak pada tumor
    • Salpingitis
    • Divertikulitis
    • Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

  2. Secara langsung dari luar.
    • Operasi yang tidak steril
    • Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
    • Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
    • Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.

  3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

Patofisiologi

Peritonitis menimbulkan efek sistemik. Perubahan sirkulasi, perpindahan cairan, masalah pernafasan menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem sirkulasi mengalamin tekanan dari beberapa sumber. Respon inflamasi mengirimkan darah ekstra ke area usus yang terinflamasi. Cairan dan udara ditahan dalam lumen ini, meningkatkan tekanan dan sekresi cairan ke dalam usus. Sedangkan volume sirkulasi darah berkurang, meningkatkan kebutuhan oksigen, ventilasi berkurang dan meninggikan tekanan abdomen yang meninggikan diafragma.


Tanda dan Gejala

Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric.


Komplikasi
  • Eviserasi Luka
  • Pembentukan abses

Pemeriksaan Penunjang
  1. Test laboratorium
    • Leukositosis
    • Hematokrit meningkat
    • Asidosis metabolik

  2. X. Ray
    Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
    • Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
    • Usus halus dan usus besar dilatasi.
    • Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

Penatalaksanaan Medis
  1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus.

  2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat diupayakan.

  3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.

Diagnosa Keperawatan yang Muncul
  1. Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

  2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.

Intervensi

Diagnosa Keperawatan I :
Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan

Tujuan :
Persepsi klien tentang nyeri menurun, ditandai penurunan skala nyeri, dan tidak meringis.

Intervensi :
  • Kaji dan catat karakter dan beratnya nyeri setiap 1-2 jam
  • Setelah diagnosis, berikan narkotik, analgetik dan sedatif sesuai program untuk meningkatkan kenyamanan dan istirahat.
  • Pertahankan tirah baring ; istirahat, lingkungan yang tenang.
  • Pertahankan posisi nyaman ; semifowler.

Diagnosa Keperawatan II :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.

Tujuan :
Nutrisi pasien adekuat, ditandai BB stabil, albumin serum 3,5 s/d 5,5 g/dl.

Intervensi :
  • Pertahankan pasien puasa sesuai program selama fase akut.
  • Bila mengalami ileus, selang NG akan dipasang untuk dekompresi abdomen.
  • Berikan cairan secara bertahap bila motilitas telah kembali, dibuktikan bising usus, penurunan distensi dan pasase flatus.
  • Bila diprogramkan dukung pasien dengan nutrisi parenteral.
  • Berikan pengganti cairan, elektrolit dan vitamin sesuai program.

Kejang Demam

Kejang Demam

Pengertian

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)


Etiologi

Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :
  1. Obat – obatan
    racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan

  2. Ketidak seimbangan kimiawi
    hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis

  3. Demam
    paling sering terjadi pada anak balita

  4. Patologis otak
    akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik

  5. Eklampsia
    hipertensi prenatal, toksemia gravidarum

  6. Idiopatik
    penyebab tidak diketahui

Tanda dan Gejala

Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :
  1. Kejang demam sementara
    • Umur antara 6 bulan – 4 tahun
    • Lama kejang lebih dari 15 menit
    • Kejang bersifat umum
    • Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam
    • Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium
    • Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang

  2. Kejang demam komplikata
    • Diluar kriteria tersebut diatas

Komplikasi
  1. Kejang berulang
  2. Epilepsi
  3. Hemiparese
  4. Gangguan mental dan belajar

Pemeriksaan Diagnostik
  1. Darah
    Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
    BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
    Elektrolit : K, Na
    Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
    Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
    Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

  2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.

  3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi

  4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.

  5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

  6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

Penatalaksanaan Medik
  1. Pemberian diazepam
    • dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan)
    • bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit.

  2. Turunkan demam
    • anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis
    • kompres air biasa

  3. Penanganan suportif
    • bebaskan jalan nafas
    • beri zat asam


Asuhan Keperawatan Pasien Anak Dengan Kejang Demam


Pengkajian

Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :
  1. Data subyektif
    • Biodata/Identitas
      Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
      Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.

    • Riwayat Penyakit
      1. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan : Apakah betul ada kejang ?
        Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak

      2. Apakah disertai demam ?
        Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.

      3. Lama serangan
        Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.

      4. Pola serangan
        • Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
        • Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
        • Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
        • Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
          Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.

      5. Frekuensi serangan
        Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.

      6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
        Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?

      7. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
        Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.

      8. Riwayat penyakit dahulu
        • Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
        • Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.

      9. Riwayat kehamilan dan persalinan
        Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.

      10. Riwayat imunisasi
        Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.

      11. Riwayat perkembangan
        Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
        • Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
        • Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
        • Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
        • Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.

      12. Riwayat kesehatan keluarga.
        • Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan)
        • Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya?
        • Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.

      13. Riwayat sosial
        • Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak?
        • Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?

      14. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
        • Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
        • Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
          • Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
          • Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
          • Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.

      15. Pola nutrisi
        • Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?

        • Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?

      16. Pola eliminasi
        • BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
        • BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?

      17. Pola aktivitas dan latihan
        • Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya?
        • Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
        • Aktivitas apa yang disukai?

      18. Pola tidur/istirahat
        • Berapa jam sehari tidur?
        • Berangkat tidur jam berapa?
        • Bangun tidur jam berapa?
        • Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

  2. Data Obyektif
    • Pemeriksaan Umum
      Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.

    • Pemeriksaan Fisik
      1. Kepala
        Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?

      2. Rambut
        Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.

      3. Muka/ wajah
        Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

      4. Mata
        Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?

      5. Telinga
        Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.

      6. Hidung
        Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?

      7. Mulut
        Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?

      8. Tenggorokan
        Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?

      9. Leher
        Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?

      10. Thorax
        Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?

      11. Jantung
        Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?

      12. Abdomen
        Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?

      13. Kulit
        Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?

      14. Ekstremitas
        Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?

      15. Genetalia
        Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?


Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang

  2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi


Intervensi

Diagnosa Keperawatan I :
Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang

Tujuan : Risk detection.

Kriteria Hasil :
  • Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
  • Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
  • Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
  • Pengetahuan tentang risiko
  • Memonitor faktor risiko dari lingkungan

Rencana Tindakan : NIC : Pencegahan jatuh
  • Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
    Rasional : meminimalkan injuri saat kejang

  • Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
    Rasional : meningkatkan keamanan klien.

  • Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
    Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.

  • Letakkan klien di tempat yang lembut.
    Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.

  • Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
    Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.

  • Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
    Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.


Diagnosa Keperawatan II :
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan : Thermoregulation

Kriteria Hasil :
  • Suhu tubuh dalam rentang normal
  • Nadi dan RR dalam rentang normal
  • Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Rencana Tindakan : NIC : Fever treatment
  • Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
    Rasional : Mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.

  • Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
    Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.

  • Pertahankan suhu tubuh normal
    Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.

  • Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
    Rasional : Proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.

  • Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
    Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.

  • Atur sirkulasi udara ruangan.
    Rasional : Penyediaan udara bersih.

  • Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum
    Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.

  • Batasi aktivitas fisik
    Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.

Askep Delirium

Askep Delirium


Pengertian

Delirium adalah sindroma otak organik karena fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yan menghambat mnetabolisme otak.


Gejala

Gejala utama ialah kesadaran menurun. Kesadaran yang menurun ialah suatu keadaan dengan kemampuan persepsi perhatian dan pemikiran yan berkurang secara keseluruhan (secara kuantitatif).

Gejala-gejala lainnya penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik, adanya klien yan terutama halusinasi dan ada yang hanya berbicara komat-kamit dan inkohern.

Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya.


Psikopatologi

Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkan sudah sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya). Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya. Jika disebabkan oleh proses yang langsung menyerang otak , bila proses itu sembuh maka gejala-gejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang ditinggalkan gejala-gejala neurologik dan atau gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi. Bisa juga didapatkan adanya febris. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.


Penatalaksanaan
  1. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.

  2. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia.

  3. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.

  4. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain.

  5. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.

  6. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)

A. Pengertian

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Kuman batang tanhan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen , tettapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 μm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.


B. Etiologi

Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu mycobacterium tuberkulosis dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 1,3 – 0,6 um, termasuk golongan bakteri aerob gram positif serta tahan asam atau basil tahan asam.


C. Patofisiologi

Penularan terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar menjadi droflet nuklei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 – 2 jam, tergantung ada atau tidaknya sinar ultra violet. dan ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari – hari bahkan berbulan, bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang yang sehat akan menempel pada alveoli kemudian partikel ini akan berkembang bisa sampai puncak apeks paru sebelah kanan atau kiri dan dapat pula keduanya dengan melewati pembuluh linfe, basil berpindah kebagian paru – paru yang lain atau jaringan tubuh yang lain.
Setelah itu infeksi akan menyebar melalui sirkulasi, yang pertama terangsang adalah limfokinase, yaitu akan dibentuk lebih banyak untuk merangsang macrofage, berkurang tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah macrofage. Karena fungsinya adalah membunuh kuman / basil apabila proses ini berhasil & macrofage lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan tubuhnya akan meningkat.
Tetapi apabila kekebalan tubuhnya menurun maka kuman tadi akan bersarang didalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel (biji – biji kecil sebesar kepala jarum).
Tuberkel lama kelamaan akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama timbul perkejuan ditempat tersebut.apabila jaringan yang nekrosis dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk darah (hemaptoe).


D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada klien secara obyektif adalah :
  1. Keadaan postur tubuh klien yang tampak etrangkat kedua bahunya.
  2. BB klien biasanya menurun; agak kurus.
  3. Demam, dengan suhu tubuh bisa mencapai 40 - 41° C.
  4. Batu lama, > 1 bulan atau adanya batuk kronis.
  5. Batuk yang kadang disertai hemaptoe.
  6. Sesak nafas.
  7. Nyeri dada.
  8. Malaise, (anorexia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, berkeringat pada malam hari).

E. Pemeriksaan Penunjang
  1. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
  2. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
  3. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
  4. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
  5. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
  6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.
  7. Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa menunjukan nekrosis.
  8. Elektrosit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex ;Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
  9. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).

F. Penatalaksanaan

Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
  1. Jangka pendek.
    Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3 bulan.
    • Streptomisin inj 750 mg.
    • Pas 10 mg.
    • Ethambutol 1000 mg.
    • Isoniazid 400 mg.
    Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
    Therapi TB paru dapat dilakkukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis :
    • INH.
    • Rifampicin.
    • Ethambutol.
    Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6-9 bulan.

  2. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
    • Rifampicin.
    • Isoniazid (INH).
    • Ethambutol.
    • Pyridoxin (B6).

DOWNLOAD ASKEP TB PARU Klik Di Sini




A. Pengkajian
  1. Aktivitas / istirahat.
    Gejala :
    • Kelelahan umum dan kelemahan.
    • Nafas pendek karena bekerja.
    • Kesulitan tidur pada malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat.
    • Mimpi buruk.

    Tanda :
    • Takhikardi, tachipnoe, / dispnoe pada kerja.
    • Kelelahan otot, nyeri dan sesak (pada tahap lanjut).

  2. Integritas Ego.
    Gejala :
    • Adanya faktor stres lama.
    • Masalah keuanagan, rumah.
    • Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
    • Populasi budaya.

    Tanda :
    • Menyangkal. (khususnya selama tahap dini).
    • Ancietas, ketakutan, mudah tersinggung.

  3. Makanan / cairan.
    Gejala :
    • Anorexia.
    • Tidak dapat mencerna makanan.
    • Penurunan BB.

    Tanda :
    • Turgor kulit buruk.
    • Kehilangan lemak subkutan pada otot.

  4. Nyeri / kenyamanan.
    Gejala :
    • Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

    Tanda :
    • Berhati-hati pada area yang sakit.
    • Perilaku distraksi, gelisah.

  5. Pernafasan.
    Gejala :
    • Batuk produktif atau tidak produktif.
    • Nafas pendek.
    • Riwayat tuberkulosis / terpajan pada individu terinjeksi.

    Tanda :
    • Peningkatan frekuensi nafas.
    • Pengembangan pernafasan tak simetris.
    • Perkusi dan penurunan fremitus vokal, bunyi nafas menurun tak secara bilateral atau unilateral (effusi pleura / pneomothorax) bunyi nafas tubuler dan / atau bisikan pektoral diatas lesi luas, krekels tercatat diatas apeks paru selam inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekels – posttusic).
    • Karakteristik sputum ; hijau purulen, mukoid kuning atau bercampur darah.
    • Deviasi trakeal ( penyebaran bronkogenik ).
    • Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata, perubahan mental ( tahap lanjut ).

  6. Keamanan.
    Gejala :
    • Adanya kondisi penekana imun, contoh ; AIDS, kanker, tes HIV positif (+)

    Tanda :
    • Demam rendah atau sakit panas akut.

  7. Interaksi sosial.
    Gejala :
    • Perasaan isolasi / penolakan karena penyakit menular.
    • Perubahan pola biasa dalam tangguang jaawab / perubahan kapasitas fisik untuk melaksankan peran.

  8. Penyuluhan / pembelajaran.
    Gejala :
    • Riwayat keluarga TB.
    • Ketidakmampuan umum / status kesehatan buruk.
    • Gagal untuk membaik / kambuhnya TB.
    • Tidak berpartisipasi dalam therapy.

B. Diagnosa keperawatan Yang Muncul
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.

C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
  • Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
  • Mendemontrasikan batuk efektif.
  • Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
Intervensi :
  • Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
    R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
    R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
  • Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
    R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
  • Lakukan pernapasan diafragma.
    R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
  • Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
    R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
  • Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
    R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
  • Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
    R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
  • Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
    R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian expectoran, pemberian antibiotika, konsul photo toraks.
    R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Diagnosis Keperawatan 2. :
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
  • Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
  • Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
  • Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
  • Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
    R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
  • Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
    R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
  • Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
    R/Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
    R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
    R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian antibiotika, pemeriksaan sputum dan kultur sputum, konsul photo toraks.
    R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

SIROSIS HEPATIS

Kumpulan Asuhan Keperawatan
Kumpulan Askep
Asuhan Keperawatan
Askep


SIROSIS HEPATIS

1. Pengertian

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

2. Etiologi

Ada 3 tipe sirosis hepatis :

  • Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
  • Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
  • Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).


  • 3. Patofisiologi

    Minuman yang mengandung alkohol dianggap sebagai factor utama terjadinya sirosis hepatis. Selain pada peminum alkohol, penurunan asupan protein juga dapat menimbulkan kerusakan pada hati, Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
    Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
    Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.


    4. Tanda dan Gejala

    Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
    Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
    Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.


    5. Pemeriksaan penunjang
    • Pemeriksaan Laboratorium
      1. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
      2. Kenaikan kadar enzim transaminase - SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
      3. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
      4. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.
      5. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
      6. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
      7. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.
      8. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.

    http://www.komisiGRATIS.com
    http://KlubPulsa.com
    http://www.mlmku.com
    http://www.galesus.com
    http://5fcc.com/?ref=11130
    http://www.reviews16.com
    http://cbclickbank.com


    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

    1. Pengkajian
      • Riwayat Kesehatan Sekarang
      • Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
      • Riwayat Kesehatan Sebelumnya
        Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.
      • Riwayat Kesehatan Keluarga
        Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
      • Riwayat Tumbuh Kembang
        Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.
      • Riwayat Sosial Ekonomi
        Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
      • Riwayat Psikologi
        Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).
      • Pemeriksaan Fisik
        • Kesadaran dan keadaan umum pasien
          Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
        • Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala - kaki
          TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
          1. Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
          2. Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :
            -Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)
            -Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
          3. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.


    2. Masalah Keperawatan yang Muncul
      1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
      2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
      3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.


    3. Intervensi
      Diagnosa Keperawatan 1. :
      Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)
      Tujuan : Status nutrisi baik
      Intervensi :
      • Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.
        Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
      • Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
        Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
      • Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
        Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
      • Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.
        Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
      • Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.
        Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
      • Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
        Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
      • Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
        Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
      • Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.
        Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
      • Kolaborasi pemberian antiemetik
        Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.


      Diagnosa Keperawatan 2. :
      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
      Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
      Intervensi :
      • Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
        Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
      • Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
        Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
      • Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
        Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
      • Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
        Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.


      Diagnosa Keperawatan 3. :
      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
      Tujuan : Integritas kulit baik
      Intervensi :
      • Batasi natrium seperti yang diresepkan.
        Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
      • Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
        Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
      • Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
        Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
      • Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
        Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
      • Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
        Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
      • Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
        Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.

    DAFTAR PUSTAKA

    Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
    Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
    Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
    Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
    Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
    Alexander, Fawcett, Runciman. (2000). Nursing Practice Hospital and Home the Adult, Second edition, Toronto. Churchill Livingstone.

    Aritmia




    Custom Search

    Aritmia

    Friday, January 30, 2009 · 0 comments

    1. Pengertian

    Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999).

    Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).



    2. Etiologi

    Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
    • Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi)
    • Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
    • Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti aritmia lainnya.
    • Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia).
    • Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung.
    • Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
    • Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis).
    • Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme).
    • Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung.
    • Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi jantung).


    3. Manifestasi Klinis

    Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.

    Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.

    Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah

    Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.

    demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan.



    4. Pemeriksaan Penunjang

    EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.

    Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.

    Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup

    Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.

    Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia.

    Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.

    Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.

    Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.

    Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.

    GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.


    5. Penatalaksanaan Medis
    1. Terapi medis
      Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu :

      • Anti aritmia Kelas 1 : sodium channel blocker

        • Kelas 1 A
          Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.
          Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi yang menyertai anestesi.
          Dysopiramide untuk SVT akut dan berulang.

        • Kelas 1 B
          Lignocain untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel takikardia.
          Mexiletine untuk aritmia entrikel dan VT.

        • Kelas 1 C
          Flecainide untuk ventrikel ektopik dan takikardi

      • Anti aritmia Kelas 2 (Beta adrenergik blokade)
        Atenolol, Metoprolol, Propanolol : indikasi aritmi jantung, angina pektoris dan hipertensi

      • Anti aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)
        Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang

      • Anti aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)
        Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia


    2. Terapi mekanis
      • Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur elektif.

      • Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat darurat.

      • Defibrilator kardioverter implantabel : suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.

    ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GAGAL NAFAS

    ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GAGAL NAFAS

    PENGERTIAN
    Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan CO2 dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (Heri Rokhaeni, dkk, 2001)
    Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel tubuh sehingga menyebabkan PO2 <>2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C Susane, 2001)
    ETIOLOGI
    Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan
    o Luka di kepala
    o Perdarahan / trombus di serebral
    o Obat yang menekan pernafasan
    o Gangguan muskular yang disebabkan
    o Tetanus
    o Obat-obatan
    o Kelainan neurologis primer
    Penyakit pada saraf seperti medula spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuskular yang terjadi pada pernafasa sehingga mempengaruhi ventilasi.
    o Efusi pleura, hemathorak, pneumothorak
    Kondisi ini dapat mengganggu dalam ekspansi paru
    o Trauma
    Kecelakakan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan hidung, mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas dan depresi pernafasan
    o Penyakit akut paru
    Pneumonia yang disebabkan bakteri dan virus, asma bronchiale, atelektasis, embolisme paru dan edema paru
    TANDA DAN GEJALA
    Tanda
    a. Gagal nafas total
    o Aliran udara di mulut, hidung tidak terdengar / dirasakan
    o Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengemabngan dada pada inspirasi
    b. Gagal nafas partial
    o Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing dan wheezing
    o Ada retraksi dada
    Gejala
    o Hiperkapnia yaitu peningkatan kadar CO2 dalam tubuh lebih dari 45 mmHg
    o Hipoksemia terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis atau PO2 menurun
    PEMERIKSAAN PENUNJANG
    a. BGA
    Hipopksemia
    o Ringan : PaO2 <>
    o Sedang : PaO2 <>
    o Berat : paO2 <>
    b. Pemeriksaan rontgen dada
    Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
    c. Hemodinamik: tipe I terjadi peningkatan PCWP
    d. EKG
    o Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
    o Disritmia
    PENGKAJIAN
    a. Airway
    o Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)
    o Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing
    b. Breathing
    o Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea
    o Menggunakan otot asesoris pernafasan
    o Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis
    o Pernafasan memakai alat Bantu nafas
    c. Circulation
    o Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi
    o Sakit kepala
    o Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental (ansietas, cemas)
    PENATALAKSANAAN MEDIS
    a. Terapi oksigen: pemberian oksigen rendah nasal atau masker
    b. Ventilator mekanik dengan memberikan tekanan positif kontinu
    c. Inhalasi nebulizer
    d. Fisioterapi dada
    e. Pemantauan hemodinamik / jantung
    f. Pengobatan: bronkodilator, steroid
    g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
    DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
    a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir
    Tujuan: jalan nafas efektif
    Kriteria hasil:
    o Bunyi nafas bersih
    o Secret berkurang atau hilang
    Intervensi:
    a. Catat karakteristik bunyi nafas
    b. Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum
    c. Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental
    d. Berikan humidifikasi pada jalan nafas
    e. Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan
    f. Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas
    g. Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket
    h. Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh
    i. Berikan fisioterapi dada
    j. Berikan bronkodilator
    b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan
    Tujuan; pertukaran gas adekuat
    Criteria hasil:
    o Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran
    o BGA dalam batas normal
    o Bebas distres pernafasan
    Intervensi:
    o Kaji status pernafasan
    o Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan ketidaknyaman dalam pernafasan
    o Catat adanya sianosis
    o Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia
    o Berikan oksigen sesuai kebutuhan
    o Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik
    o Kaji seri foto dada
    o Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)
    c. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik
    Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik
    Intervensi:
    o Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan
    o Observasi tanda dan gejala barotrauma
    o Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal
    o Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift
    o Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi
    o Berikan sedasi bila perlu
    o Monitor terhadap distensi abdomen
    d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah
    Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial
    Intervensi:
    o Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan
    o Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
    o Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan
    o Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam
    o Lakukan pembersihan oral tiap shift
    o Monitor tanda vital terhadap infeksi
    o Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier
    o Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan prinsip steril
    o Pantau keadaan umum
    o Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas
    o Pantau pemberian antibiotik
    e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan peroral
    Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh
    Intervensi:
    o Kaji status gizi klien
    o Kaji bising usus
    o Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi
    o Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi
    o Periksa laborat darah rutin dan protein
    DAFTAR PUSTAKA
    1. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
    2. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993
    3. Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach (Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997
    4. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
    5. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)
    6. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC, 1998
    7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;