Senin, 23 April 2012

Histamin

Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekarboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksida nya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin.
Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari.
Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma (bronchiale).


Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selaput lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.

Alergi

Bilamana suatu protein tertentu dimasukkan ke dalam aliran darah kita, maka zat asing ini mengakibatkan terbentuknya protein-protein spesifik, yang disebut “antibodies”. Apabila kemudian protein yang sama itu, yang disebut “antigen”, masuk lagi ke dalam tubuh kita maka terjadilah reaksi antara antibody dan antigen. Sebagai akibat dari reaksi ini, histamin yang berada diantara sel-sel dalam keadaan inaktif dibebaskan, mungkin dibawah pengaruh “serotonin”, suatu hormon saraf yang banyak terdapat didalam sel-sel. Dengan demikian kadar histamin dalam darah naik secara mendadak, sehingga mengakibatkan efek-efek farmakologi seperti diuraikan diatas.
Keadaan ini dinamakan “alergi” dan gejala-gejalanya berkisar dari gatal-gatal (urticaria, eczema) yang bersifat ringan hingga demam, muntah-muntah, diarrea dan “reaksi-reaksi anafilaksi” yang hebat dan mematikan (ana = tanpa, phylaxis = perlindungan; dalam arti kata, bahwa pemberian protein yang pertama meninggalkan badan tanpa perlindungan terhadap pemberian protein selanjutnya).
Dalam pada ini termasuk juga gejala hebat yang disebut “shock”, dan disebabkan antara lain oleh cedera-cedera besar dan luka-luka terbakar hebat. Shock ini diakibatkan oleh pengaruhnya histamin yang dilepaskan oleh jaringan-jaringan mati.
Pada umumnya zat-zat yang berkhasiat sebagai antigen dan dengan demikian menimbulkan sensibilisasi (sensitasi) adalah protein-protein, tetapi juga polisakarida dan lemak-lemak yang bermolekuler tinggi dapat menyebabkan alergi. Begitu pula obat-obat kimiawi dengan berat molekul rendah, kadang-kadang mempunyai kerja antigenik, misalnya alkohol, penisilin dan sulfonamida-sulfonamida. Obat-obat ini diperkirakan berlaku sebagai “hapten”, yaitu bagian dari antigen yang menentukan spesifitas imunologinya, yang setelah bersenyawa dengan suatu protein darah dapat mendorong terbentuknya “antibodies” itu.

Tiap-tiap protein dapat menimbulkan sensibilisasi, misalnya protein-protein yang dimakan (udang, ikan dan sebagainya) atau yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas (debu). Setelah sensibilisasi ini terjadi, maka hanya jumlah yang sangat kecil saja dari antigen spesifik yang sama, misalnya bekas-bekas protein dalam bentuk rambut hewan yang selalu ada dalam debu, dapat menimbulkan reaksi-reaksi alergi dan anafilaksi. Kini diterima oleh umum, bahwa kecenderungan akan sensibilasi adalah sifat yang turun-temurun.

Obat-obat anti-alergi

Dalam mencari obat-obat yang dapat memusnahkan atau melawan efek-efek histamin pada alergi, maka pertama-tama telah digunakan enzim histaminase yang terdapat dijaringan paru-paru, selaput lendir usus, hati dan terutama didalam plasenta. Kadar histaminase ini dalam tubuh menurun pada keadaan-keadaan alergi. Hasil pengobatan dengan enzim ini mengecewakan, karena dengan sendirinya mudah terurai.
Kemudian digunakan obat-obat simpatomimetic yang dalam khasiatnya merupakan antagonis dari histamin yang dapat dianggap sebagai suatu zat parasimpatolitic seperti asetilcholin. Ternyata bahwa obat-obat ini, yaitu efedrin, fenilpropanolamin dan terutama adrenalin manjur sekali untuk menghilangkan gejala dari reaksi-reaksi alergi dan anafilaksi.
Akhirnya baru ditemukan zat-zat antihistaminik yang sangat berguna untuk meringankan gejala gejala alergi.

Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika

Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminica yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.

Penggunaan

Pada pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi, antihistaminica dapat menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala tanpa melenyapkan sebab-sebab utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu lengkap dan cepat seperti adrenalin atau aminofilin, namun obat-obat antihistaminic kini banyak digunakan untuk mengobati keadaan-keadaan alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan penyakit serum (“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum asing. Juga untuk mencegah atau mengurangi reaksi-reaksi alergi, seringkali diberikan antihistaminica satu jam sebelum dilakukan penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin). Untuk mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu berkhasiat, karena hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya.
Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan rasa mual dan muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”) dan selama hamil (“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum).
Untuk maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat daripada persenyawaan-persenyawaan induknya.
Disamping peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika juga memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi. Berdasarkan hal ini antihistaminika seringkali digunakan untuk meringankan gejala “common cold” misalnya selesma, dengan atau tanpa dikombinasi dengan analgetika. Begitu pula banyak sirop batuk mengandung obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan.
Antihistaminica juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan jalan menekan kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian dalam telinga dan merintangi kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini antihistaminica yang sering digunakan adalah sinarizin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.
Antihistaminica dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik. Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 - 30 menit, sedangkan pada umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali promethazin, meklizin dan buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih kurang 16 jam).
Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk obat-obat ini adalah sangat individual; suatu antihistaminica yang manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil, mungkin sama sekali tidak ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.

Dosis

Pada umumnya antihistaminica diberikan oral 3 – 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet, kapsul). Hanya pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan 1 – 2 dosis sehari. Untuk pheniramina dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 3 - 4 kali sehari 2 - 4 mg.

Efek – sampingan

Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka efek sampingan yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkan. Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada diphenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai amphetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan.
Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat parasimphatoliticnya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tenggorokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.

Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2

Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui jenis reseptor tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang disebut reseptor-reseptor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya simetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).

Penggolongan

Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
A. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
B. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin.
Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
C. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin.
Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin. Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogenic ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.


1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 - 50 mg, i.v. 10-50 mg
• Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros).
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 - 100 mg, i.m. 50 mg.
• Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.

2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 - 100 mg.

3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 - 100 mg

4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg

* klorfenamin (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros)
adalah derivat klor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin meningkatkan khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan.
Dosis : oral 4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.

* deksklorfeniramin (Polaramin, Schering)
adalah d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang terutama bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya.
Toksisitasnya dari campuran d-isomer ini tidak melebihi daripada campuran rasemiknya.
Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.

5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg
* meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam).
Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia.
Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.

6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkan. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui.
Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 - 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg

* primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg.
Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat.
Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat,
yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama.
Dosis : dewasa 1 tablet.

7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah.
Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya

8. Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki kegiatan yang lama (16 jam).
Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang rasa nyeri (analgetika) dan zat-zat pereda (sedativa).
Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam hari.
Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50 mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg per Kg berat badan

* promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama dengan dimenhidrinat,
tetapi tanpa efek menidurkan.

9. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat anticholinergic yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.

10. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.
Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering.
Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.

11. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminicum yang praktis tidak memiliki sifat- sifat menidurkan.
Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya

PEMERIKSAAN KEPALA

Topik :
I . Pemeriksaan Kepala
A. pemeriksaan rambut dan kulit kepala
B. pemeriksaan tulang kepala
C. pemeriksaan konjungtiva
II. Pemeriksaan Leher
A. inspeksi leher
B. palpasi leher
C. pemeriksaan trachea

I . PEMERIKSAAN KEPALA

A. PEMERIKSAAN RAMBUT DAN KULIT KEPALA

1. jelaskan pada pasien pentingnya pemeriksaan yang akan dilakukan
2. Posisi pasien sebaiknya duduk, kepala tegak lurus dan diam agar seluruh rambut dapat diperiksa dengan mudah dan rambut palsu dilepas
3. Tanyakan pada pasien apakah rambutnya mudah rontok, adanya perubahan warna, gangguan pertumbuhan rambut, penggunaan shampo atau produk lain perawatan rambut, alat pengeriting dan menjalani kemoterapi.
4. Lakukan inspeksi rambut : penyebaran, ketebalan, tekstur dan lubrikasi. Rambut biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu berminyak dan liat.
5. Lakukan palpasi dengan menggunakan sarung tangan, sisihkan rambut untuk melihat karakteristik kulit kepala.
6. Perhatikan lesi, luka , erupsi dan pustular pada kulit kepala dan folikel rambut.
7. Perhatikan adanya kutu kepala (yang tubuhnya kecil berwarna putih keabuan), kutu kepiting berkaki merah dan telur kutu (seperti partikel oval ketombe).
8. lakukan penarikan ringan pada rambut, kerontokan rambut dapat terjadi akibat penyakit kulit kepala, gangguan fungsi tubuh seperti demam, pemberian anastesi atau menerima pengobatan kemoterapi, dll.

B. PEMERIKSAAN TULANG KEPALA

1. Jelaskan pada pasien pentingnya pemeriksaan yang akan dilakukan
2. posisi pasien sebaiknya duduk, kepala tegak lurus dan diam
3. Bila memakai wig atau rambut palsu harus dilepas
4. lakukan pengamatan: ukuran, bentuk dan posisi kepala terhadap tubuh, Normal kepala tegak lurus dan digaris tengah tubuh. Tulang kepala umumnya bulat dengan tonjolan frontal dibagian anterior dan oksipital dibagian posterior
5. Lakukan palpasi kepala apakah ada nodul, tumor dengan cara merotasikan ujung jari kebawah dari garis tengah kulit kepala dengan lembut dan kemudian kesisi samping kepala.. Kulit kepala diatas tulang normalnya halus dan elastis
6. Pada neonatus palpasi ringan fontanel anterior dan posterior, ukuran, bentuk dan tekstur.
Fontanel normal datar dan berbatas jelas. Fontanel posterior tertutup pada umur 2 bulan dan fontanel anterior tertutup pada usia 12-18 bulan. Adanya deformitas tulang kepala dapat disebabkan trauma, kepala besar (makromegali) dapat disebabkan kelebihan hormon pertumbuhan. Pada bayi kepala besar dapat disebabkan kelainan Kongenital, hidrosepalus .
C. PEMERIKSAAN KONJUNGTIVA MATA

1. Posisi pasien duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau tidur telentang dengan posisi kepala lurus kedepan
2. Letakkan ujung ibu jari tangan kanan pemeriksa pada palpebra inferior kiri dan letakan jari- jari lainnya sedemikian rupa pada pipi kiri pasien
3. Tekan dan tariklah ujung ibu jari kearah inferior
4. Evaluasi warna konjungtiva, Normal warna konjungtiva kemerahan, bila warna kepucatan kemungkinan menderita anemia
II. PEMERIKSAAN LEHER

A. INSPEKSI LEHER

1. Posisi pasien duduk menghadap pemeriksa.
2. Inspeksi kesimetrisan otot-otot leher, keselarasan trakea, dan benjolan pada dasar leher serta vena jugular dan arteri karotid.
3. Mintalah pasien untuk : menundukkan kepala sehingga dagu menempel ke dada, dan menegadahkan kepala kebelakang, perhatikan dengan teliti area leher dimana nodus tersebar. Bandingkan kedua sisi tersebut.
4. menoleh ke kiri -kanan dan kesamping sehingga telinga menyentuh bahu. Perhatikan fungsi otot-otot sternomastoideus dan trapesius.
5. Minta pasien menengadahkan kepala, perhatikan adanya pembesaran pada kelenjar tiroid. Selanjutnya minta pasien menelan ludah , perhatikan gerakan pada leher depan daerah kelenjar tiroid , ada tidaknya massa dan kesimetrisan.

B. PALPASI LEHER

1. pasien posisi duduk santai dan pemeriksa dibelakangnya
2. pasien menundukan kepala sedikit atau mengarah kesisi pemeriksa untuk merelaksasikan jaringan dan otot-otot.
3. palpasi lembut dengan 3 jari tangan masing-masing nodus limfe dengan gerakan memutar. Periksa masing-masing nodus limfe dengan gerakan memutar. Periksa tiap nodus dengan urutan sebagai berikut :
• nodus oksipital pada dasar tengkorak,
• nodus aurikel poterior diatas mastoideus,
• nodus preaurikular tepat didepan telinga,
• nodus tonsiliar pada sudut mandikula,
• nodus submaksilaris, dan nodus sunmental pada garis tengah dibelakang ujung mandibula.
4. Bandingan kedua sisi leher, Periksa ukuran, bentuk, garis luar, gerakan, konsistensi dan rasa nyeri yang timbul.
5. Jangan gunakan tekanan berlebihan saat mempalpasi karena nodus kecil dapat terlewati.
6. Lanjutkan palpasi nodus servikal superfisial, nodus servikal posterior, nodus servikal profunda, dan nodus supraklavikular yang terletak pada sudut yang dibentuk oleh klavikula dan otot sternomastoideus
7. Palpasi trakea terhadap posisi tengahnya dengan menyelipkan ibujari dan jari telunjuk di masing-masing sisi pada cekungan suprasternal. Bandingkan ruang sisa antara trakea dan otot sternokleidomastoideus
8. Untuk memeriksa kelenjar tiroid dengan posisi dari belakang. lakukan palpasi ringan dengan 2 jari dari tangan kanan kiri dibawah kartilago krikoid.
9. Beri pasien segelas air, minta pasien menundukan dagu dan mengisap sedikit air dan menelannya, rasakan gerakan istmus tiroid.
10. Dengan lembut gunakan dua jari untuk menggerakkan trakea kesatu sisi dan minta pasien untuk menelan lagi. Palpasi badan lobus utama dan kemudian palpasi tepi lateral dari kelenjar.
11. Ulangi prosedur untuk lobus yang berlawanan.
12. informasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan catat pada status

Pembesaran nodus limfe dapat menandakan infeksi setempat atau sistemik. Nodus yang membesar dengan cepat dan seharusnya diperiksa lebih teliti. Nodus limfe kadang-kadang tetap membesar setelah adanya infeksi tetapi biasanya tidak nyeri. Kelenjar Tiroid pada dasar terlebar berkisar 4 cm, pembesaran kelenjar tiroid mengindikasikan adanya disfungsi atau tumor kelenjar tiroid. pembesaran tiroid yang nyeri tekan menandakan infeksi. Perubahan posisi lateral trakea mungkin akibat dari suatu massa dalam leher atau mediastinum atau kelainan paru-paru.

C. PEMERIKSAAN TRAKHEA

1. Posisi pasien duduk tegak menghadap lurus kedepan dengan leher terbuka
2. Posisi pemeriksa di depan pasien agak kesamping.
3. Leher pasien sedikit fleksi sehingga otot sternokleidomastoideus relaksasi.
4. Posisi dagu pasien harus digaris tengah.
5. Perhatikan bagian bawah trachea sebelum masuk dalam rongga dada, bagian ini paling mudah bergerak.
6. Pemeriksa dengan menggunakan ujung jari telunjuk yang ditekankan lembut kedalam lekukan suprasternal tepat dimedial dari sendi sternoklavikularis bergantian dikedua sisi trachea
7. Keadaan normal bila ujung jari hanya menyentuh jaringan lunak disebelah menyebelah trakhea.
8. Bila ujung jari menyentuh tulang rawan trakhea tidak digaris median maka deviasi trakhea kearah tersebut, sedangkan sisi lain hanya menyentuh jaringan lunak.
9. informasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan catat pada status

PEMERIKSAAN KEPALA DAN LEHER

PEMERIKSAAN KEPALA

Topik :
I . Pemeriksaan Kepala
A. pemeriksaan rambut dan kulit kepala
B. pemeriksaan tulang kepala
C. pemeriksaan konjungtiva
II. Pemeriksaan Leher
A. inspeksi leher
B. palpasi leher
C. pemeriksaan trachea

I . PEMERIKSAAN KEPALA

A. PEMERIKSAAN RAMBUT DAN KULIT KEPALA

1. jelaskan pada pasien pentingnya pemeriksaan yang akan dilakukan
2. Posisi pasien sebaiknya duduk, kepala tegak lurus dan diam agar seluruh rambut dapat diperiksa dengan mudah dan rambut palsu dilepas
3. Tanyakan pada pasien apakah rambutnya mudah rontok, adanya perubahan warna, gangguan pertumbuhan rambut, penggunaan shampo atau produk lain perawatan rambut, alat pengeriting dan menjalani kemoterapi.
4. Lakukan inspeksi rambut : penyebaran, ketebalan, tekstur dan lubrikasi. Rambut biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu berminyak dan liat.
5. Lakukan palpasi dengan menggunakan sarung tangan, sisihkan rambut untuk melihat karakteristik kulit kepala.
6. Perhatikan lesi, luka , erupsi dan pustular pada kulit kepala dan folikel rambut.
7. Perhatikan adanya kutu kepala (yang tubuhnya kecil berwarna putih keabuan), kutu kepiting berkaki merah dan telur kutu (seperti partikel oval ketombe).
8. lakukan penarikan ringan pada rambut, kerontokan rambut dapat terjadi akibat penyakit kulit kepala, gangguan fungsi tubuh seperti demam, pemberian anastesi atau menerima pengobatan kemoterapi, dll.

B. PEMERIKSAAN TULANG KEPALA

1. Jelaskan pada pasien pentingnya pemeriksaan yang akan dilakukan
2. posisi pasien sebaiknya duduk, kepala tegak lurus dan diam
3. Bila memakai wig atau rambut palsu harus dilepas
4. lakukan pengamatan: ukuran, bentuk dan posisi kepala terhadap tubuh, Normal kepala tegak lurus dan digaris tengah tubuh. Tulang kepala umumnya bulat dengan tonjolan frontal dibagian anterior dan oksipital dibagian posterior
5. Lakukan palpasi kepala apakah ada nodul, tumor dengan cara merotasikan ujung jari kebawah dari garis tengah kulit kepala dengan lembut dan kemudian kesisi samping kepala.. Kulit kepala diatas tulang normalnya halus dan elastis
6. Pada neonatus palpasi ringan fontanel anterior dan posterior, ukuran, bentuk dan tekstur.
Fontanel normal datar dan berbatas jelas. Fontanel posterior tertutup pada umur 2 bulan dan fontanel anterior tertutup pada usia 12-18 bulan. Adanya deformitas tulang kepala dapat disebabkan trauma, kepala besar (makromegali) dapat disebabkan kelebihan hormon pertumbuhan. Pada bayi kepala besar dapat disebabkan kelainan Kongenital, hidrosepalus .
C. PEMERIKSAAN KONJUNGTIVA MATA

1. Posisi pasien duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau tidur telentang dengan posisi kepala lurus kedepan
2. Letakkan ujung ibu jari tangan kanan pemeriksa pada palpebra inferior kiri dan letakan jari- jari lainnya sedemikian rupa pada pipi kiri pasien
3. Tekan dan tariklah ujung ibu jari kearah inferior
4. Evaluasi warna konjungtiva, Normal warna konjungtiva kemerahan, bila warna kepucatan kemungkinan menderita anemia
II. PEMERIKSAAN LEHER

A. INSPEKSI LEHER

1. Posisi pasien duduk menghadap pemeriksa.
2. Inspeksi kesimetrisan otot-otot leher, keselarasan trakea, dan benjolan pada dasar leher serta vena jugular dan arteri karotid.
3. Mintalah pasien untuk : menundukkan kepala sehingga dagu menempel ke dada, dan menegadahkan kepala kebelakang, perhatikan dengan teliti area leher dimana nodus tersebar. Bandingkan kedua sisi tersebut.
4. menoleh ke kiri -kanan dan kesamping sehingga telinga menyentuh bahu. Perhatikan fungsi otot-otot sternomastoideus dan trapesius.
5. Minta pasien menengadahkan kepala, perhatikan adanya pembesaran pada kelenjar tiroid. Selanjutnya minta pasien menelan ludah , perhatikan gerakan pada leher depan daerah kelenjar tiroid , ada tidaknya massa dan kesimetrisan.

B. PALPASI LEHER

1. pasien posisi duduk santai dan pemeriksa dibelakangnya
2. pasien menundukan kepala sedikit atau mengarah kesisi pemeriksa untuk merelaksasikan jaringan dan otot-otot.
3. palpasi lembut dengan 3 jari tangan masing-masing nodus limfe dengan gerakan memutar. Periksa masing-masing nodus limfe dengan gerakan memutar. Periksa tiap nodus dengan urutan sebagai berikut :
• nodus oksipital pada dasar tengkorak,
• nodus aurikel poterior diatas mastoideus,
• nodus preaurikular tepat didepan telinga,
• nodus tonsiliar pada sudut mandikula,
• nodus submaksilaris, dan nodus sunmental pada garis tengah dibelakang ujung mandibula.
4. Bandingan kedua sisi leher, Periksa ukuran, bentuk, garis luar, gerakan, konsistensi dan rasa nyeri yang timbul.
5. Jangan gunakan tekanan berlebihan saat mempalpasi karena nodus kecil dapat terlewati.
6. Lanjutkan palpasi nodus servikal superfisial, nodus servikal posterior, nodus servikal profunda, dan nodus supraklavikular yang terletak pada sudut yang dibentuk oleh klavikula dan otot sternomastoideus
7. Palpasi trakea terhadap posisi tengahnya dengan menyelipkan ibujari dan jari telunjuk di masing-masing sisi pada cekungan suprasternal. Bandingkan ruang sisa antara trakea dan otot sternokleidomastoideus
8. Untuk memeriksa kelenjar tiroid dengan posisi dari belakang. lakukan palpasi ringan dengan 2 jari dari tangan kanan kiri dibawah kartilago krikoid.
9. Beri pasien segelas air, minta pasien menundukan dagu dan mengisap sedikit air dan menelannya, rasakan gerakan istmus tiroid.
10. Dengan lembut gunakan dua jari untuk menggerakkan trakea kesatu sisi dan minta pasien untuk menelan lagi. Palpasi badan lobus utama dan kemudian palpasi tepi lateral dari kelenjar.
11. Ulangi prosedur untuk lobus yang berlawanan.
12. informasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan catat pada status

Pembesaran nodus limfe dapat menandakan infeksi setempat atau sistemik. Nodus yang membesar dengan cepat dan seharusnya diperiksa lebih teliti. Nodus limfe kadang-kadang tetap membesar setelah adanya infeksi tetapi biasanya tidak nyeri. Kelenjar Tiroid pada dasar terlebar berkisar 4 cm, pembesaran kelenjar tiroid mengindikasikan adanya disfungsi atau tumor kelenjar tiroid. pembesaran tiroid yang nyeri tekan menandakan infeksi. Perubahan posisi lateral trakea mungkin akibat dari suatu massa dalam leher atau mediastinum atau kelainan paru-paru.

C. PEMERIKSAAN TRAKHEA

1. Posisi pasien duduk tegak menghadap lurus kedepan dengan leher terbuka
2. Posisi pemeriksa di depan pasien agak kesamping.
3. Leher pasien sedikit fleksi sehingga otot sternokleidomastoideus relaksasi.
4. Posisi dagu pasien harus digaris tengah.
5. Perhatikan bagian bawah trachea sebelum masuk dalam rongga dada, bagian ini paling mudah bergerak.
6. Pemeriksa dengan menggunakan ujung jari telunjuk yang ditekankan lembut kedalam lekukan suprasternal tepat dimedial dari sendi sternoklavikularis bergantian dikedua sisi trachea
7. Keadaan normal bila ujung jari hanya menyentuh jaringan lunak disebelah menyebelah trakhea.
8. Bila ujung jari menyentuh tulang rawan trakhea tidak digaris median maka deviasi trakhea kearah tersebut, sedangkan sisi lain hanya menyentuh jaringan lunak.
9. informasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan catat pada status

BAB VII. PEMERIKSAAN EKSTREMITAS

Topik :
A. Pemeriksaan reflekss
B. Pemeriksaan keseimbangan
C. Pemeriksaan fungsi koordinasi

A. PEMERIKSAAN REFLEKS

1. PEMERIKSAAN REFLEKS OTOT BISEPS

1. Posisi pasien tidur terlentang dan siku kanan yang akan diperiksa, diletakan diatas perut dalam posisi fleksi 60 derajat dan rileks.
2. Pemeriksa berdiri dan menghadap pada sisi kanan pasien.
3. Carilah tendon biseps dengan meraba fossa kubiti, maka akan teraba keras bila siku difleksikan
4. Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot biseps.
5. Ayunkan hammer refleks sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan, diatas jari telunjuk kiri pemeriksa.
6. Terlihat gerakan fleksi pada siku akibat kontraksi otot biseps dan terasa tarikan tendon otot biseps dibawah telunjuk pemeriksa.

2. PEMERIKSAAN REFLEKS OTOT TRISEPS

1. Posisi pasien tidur terlentang
2. Bila siku tangan kanan yang akan diperiksa, maka diletakan diatas perut dalam posisi fleksi 90 derajat dan rileks.
3. Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien
4. Carilah tendon triseps 5 cm diatas siku ( proksimal ujung olecranon )
5. Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot triseps
6. Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan diatas jari telunjuk kiri pemeriksa
7. Terlihat gerakan ektensi pada siku akibat kontraksi otot triseps dan terasa tarikan tendon otot triseps dibawah telunjuk pemeriksa

3. PEMERIKSAAN REFLEKS TENDON PATELA

1. Posisi pasien tidur terlentang atau duduk
2. Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien
3. Bila posisi pasien tidur terlentang, lutut pasien fleksi 60 derajat dan bila duduk lutut fleksi 90 derajat
4. Tangan kiri pemeriksa menahan pada fossa poplitea
5. Carilah 2 cekungan pada lutut dibawah patela inferolateral/ inferomedial ,
6. Diantara 2 cekungan tersebut terdapat tendon patela yang terasa keras dan tegang
7. Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan diatas tendon patela
8. Terlihat gerakan ektensi pada lutut akibat kontraksi otot quadriseps femoris

4. PEMERIKSAAN REFLEKS TENDON ACHILES

1. Pasien tidur terlentang atau duduk.
2. Bila pasien tidur terlentang pemeriksa berdiri dan bila pasien duduk pemeriksa jongkok disisi kiri pasien.
3. Bila pasien tidur terlentang lutut fleksi 90 derajat dan disilangkan diatas kaki berlawanan, bila pasien duduk kaki menggelantung bebas.
4. Pergelangan kaki dorsofleksikan dan tangan kiri pemeriksa memegang/ menahan kaki pasien
5. Carilah tendon achiles diantara 2 cekungan pada tumit yang terasa keras dan makin tegang bila posisi kaki dorsofleksi.
6. Ayunkan refleks hammer diatas tendon achiles.
7. Terasa gerakan plantar fleksi kaki yang mendorong tangan kiri pemeriksa dan tampak kontraksi otot gastrocnemius.
BAB V. PEMERIKSAAN DADA (TORAKS)

Topik :
A. inspeksi dinding dada
B. palpasi dada
C. perkusi dada
D. auskultasi dada

Pemeriksaan dada adalah untuk mendapatkan kesan dari bentuk dan fungsi dari dada dan organ di dalamnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Pada pemeriksaan dada yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Posisi pasien diusahakan duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau berbaring tergantung bagian mana yang akan diperiksa.
2. Daerah dada yang akan diperiksa harus terbuka
3. Usahakan keadaan pasien santai dan relaksasi untuk mengendorkan otot-otot, terutama otot pernapasan
4. Usahakan pemeriksa untuk tidak kontak langsung dengan pernapasan pasien, untuk menghindari penularan melalui pernapasan, caranya dengan meminta pasien memalingkan muka ke arah samping

A. INSPEKSI DINDING DADA

1. Posisi pasien duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau berbaring
2. Bila pasien duduk, pemeriksaan pada dada depan, kedua tangan pasien diletakkan di paha atau pinggang. Untuk pemeriksaan bagian belakang dada, kedua lengan disilangkan didepan dada atau tangan kanan dibahu kiri dan tangan kiri dibahu kanan.
3. Bila pasien berbaring posisi lengan pada masing- masing sisi tubuh
4. Secara keseluruhan perhatikan bentuk dan ukuran dinding dada, deviasi, tulang iga, ruang antar iga, retraksi, pulsasi, bendungan vena dan penonjolan epigastrium.
5. Pemeriksaan dari depan perhatikan klavikula, fossa supra/infraklavikula, lokasi iga pada kedua sisi
6. Pemeriksaan dari belakang perhatikan vertebra servikalis 7, bentuk skapula, ujung bawah skapula setinggi v. torakalis 8 dan bentuk atau jalannya kolumna vertebralis

B. PALPASI DADA

1. PALPASI GERAKAN DIAFRAGMA

1. Posisi pasien berbaring terlentang menghadap pemeriksa.
2. Posisi lengan pasien disamping dan sejajar dengan badan.
3. Letakan kedua telapak tangan pemeriksa dengan merenggangkan jari-jari pada dinding dada depan bagian bawah pasien.
4. Letakkan sedemikian rupa sehingga kedua ujung ibu jari pemeriksa bertemu di ujung tulang iga depan bagian bawah.
5. Pasien diminta bernapas dalam dan kuat
6. Gerakan diafragma normal, bila tulang iga depan bagian bawah terangkat pada waktu inspirasi .

2. PALPASI POSISI TULANG IGA ( KOSTA )

1. Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa
2. Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3. Lakukan palpasi dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan
4. Palpasilah mulai dari cekungan suprasternalis ke bawah sepanjang tulang dada
5. Carilah bagian yang paling menonjol (angulus lodovisi) kira- kira 5 cm dibawah fossa suprasternalis yaitu sudut pertemuan antara manubrium sterni dan korpus sterni dimana ujung tulang iga kedua melekat.
6. Dari angulus lodovisi, tentukan pula letak tulang iga pertama kearah atas/ superior dan untuk tulang iga ketiga dan seterusnya kearah bawah/ inferior.

3. PALPASI TULANG BELAKANG ( VERTEBRA )

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang sambil menundukkan kepala dan pemeriksa dibelakang pasien
2. Pemeriksa melakukan palpasi dengan jari tangan kedua dan ketiga sepanjang tulang belakang bagian atas (leher bawah)
3. Rasakanlah bagian yang paling menonjol pada leher bagian bawah, inilah yang disebut prosesus spinosus servikalis ketujuh.(C7)
4. Dari prosesus servikalis spinosus ketujuh (C7), kearah superior yaitu prosesus spinosus servikalis keenam dan seterusnya. Bila kearah inferior yaitu prosesus spinosus thorakalis pertama, kedua dan seterusnya.

4. PALPASI IKTUS JANTUNG

1. Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa
2. Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3. Tentukan ruang antar iga ke-5 kiri yaitu ruang antara tulang iga ke-5 dan ke-6.
4. Tentukan garis midklavikula kiri yaitu dengan menarik garis lurus yang memotong pertengahan tulang klavikula kearah inferior tubuh.
5. Tentukan letak iktus dengan telapak tangan kanan pada dinding dada setinggi ruang antar iga ke-5 digaris midklavikula
6. Apabila ada getaran pada telapak tangan, kemudian lepaskan telapak tangan dari dinding dada.
7. Untuk mempertajam getaran gunakan jari ke-2 dan ke-3 tangan kanan
8. Tentukan getaran maksimumnya, disinilah letak iktus kordis.

5. PALPASI SENSASI RASA NYERI DADA

1. Posisi pasien duduk atau tidur terlentang dan berhadapan dengan pemeriksa
2. Bila duduk posisi kedua tangan pasien dipaha atau dipinggang, bila tidur terlentang posisi kedua tangan disamping dan sejajar dengan badan.
3. Tentukan daerah asal nyeri pada dinding dada
4. Dengan menggunakan ujung ibu jari tangan kanan tekanlah dengan perlahan tulang iga atau ruang antar iga dari luar menuju tempat asal nyeri
5. Rasa nyeri akan bertambah akibat tekanan ibu jari, nyeri dapat disebabkan fraktur tulang iga, fibrosis otot antar iga, pleuritis local dan iritasi akar syaraf

6. PALPASI PERNAPASAN DADA

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang berhadapan dengan pemeriksa
2. Letakkan kedua telapak tangan pemeriksa pada dinding dada pasien sesuai posisi yaitu telapak tangan kanan pemeriksa ke dinding dada kiri pasien, sedangkan telapak kiri pemeriksa pada dinding dada kanan pasien
3. Letakkan jari telunjuk dibawah tulang klavikula dan jari- jari lainnya disebar sedemikian rupa sehingga masing- masing berada di tulang iga berikutnya
4. Pasien diminta bernapas dalam dan kuat dan perhatikan gerakan jari- jari

Pada orang muda jari-jari akan terangkat mulai dari atas disusul oleh jari- jari dibawahnya secara berturut-turut seperti membuka kipas. Sedangkan pada orang tua semua jari-jari bergerak bersama-sama

7. PALPASI GETARAN SUARA PARU (FREMITUS RABA)

1. Posisi pasien duduk untuk pemeriksaan dada depan dan posisi duduk kedua tangan dipaha atau dipinggang.
2. Sedangkan posisi pasien tidur miring untuk pemeriksaan dada belakang sesuai dengan keadaan pasien. Pada posisi tidur terlentang/miring kedua tangan disamping dan sejajar dengan badan
3. letakkan sisi ulnar tangan kanan pemeriksa di dada kiri pasien dan sebaliknya
4. Minta pasien mengucapkan kata-kata seperti satu, dua, … dst berulang-ulang
5. Pemeriksaan dilakukan mulai dari dada atas sampai dada bawah
6. Perhatikan intensitas getaran suara dan bandingkan kanan dan kiri
Normal getaran kedua sisi sama, kecuali apeks kanan karena letaknya dekat dengan bronkus. Fremitus raba meningkat apabila terdapat konsolidasi paru, fibrosis paru selama bronkus masih tetap terbuka . Fremitus suara menurun bila ada cairan/ udara dalam pleura dan sumbatan bronkus

C. PERKUSI DADA

Tujuan untuk mengetahui batas, ukuran, posisi dan kualitas jaringan di dalamnya. Perkusi hanya menembus sedalam 5 – 7 cm, sehingga tidak dapat mendeteksi kelainan yang letaknya dalam. Lakukan perkusi secara sistimatis dari atas ke bawah dengan membandingkan kanan dan kiri.

1. PERKUSI DADA DEPAN

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan berhadapan dengan pemeriksa
2. Lakukan perkusi secara dalam pada fossa supraklavikula kanan, kemudian lanjutkan kebagian dada kiri .
3. selanjutnya lokasi perkusi bergeser kebawah sekitar 2- 3 cm, Begitulah seterusnya kebawah sampai batas atas abdomen
4. Mintalah pasien untuk mengangkat kedua lengan untuk melakukan perkusi aksila dari atas kebawah di kanan dan kiri
5. Bandingkan getaran suara yang dihasilkan oleh perkusi
normal suara dada/ paru adalah sonor. Bila redup kemungkinan adanya tumor, cairan, sekret. Suara hipersonor akibat adanya udara dalam pleura.

2. PERKUSI DADA BELAKANG

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan membelakangi pemeriksa
2. Lakukan perkusi secara dalam pada supraskapula dada belakang kanan, kemudian lanjutkan kebagian dada kiri .
3. selanjutnya lokasi perkusi bergeser kebawah sekitar 2- 3 cm, Begitulah seterusnya kebawah sampai batas atas abdomen
4. Bandingkan suara yang dihasilkan oleh perkusi dada kanan dan kiri
Suara sonor paru kanan bila diperkusi kebawah akan lebih cepat menghilang, karena adanya keredupan hati.

3. PERKUSI BATAS PARU DAN HATI

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan disamping tubuh dan berhadapan dengan pemeriksa .
2. Lakukan perkusi pada dada kanan depan dari atas kebawah secara sistimatis.
3. posisi pasien dirubah sehingga membelakangi pemeriksa, selanjutnya lakukan perkusi pada bagian dada belakang dari atas kebawah secara sistimatis
4. Pada daerah batas paru dan hati terjadi perubahan suara, dari sonor menjadi pekak/ redup. Normal batas paru bagian depan terletak antara kosta 5 dan 6, sedangkan paru bagian belakang setinggi prosesus spinosus vertebra torakalis 10 atau 11.

D. AUSKULTASI DADA

1. AUSKULTASI PARU

Tujuan pemeriksaan auskultasi paru adalah untuk menentukan adanya perubahan dalam saluran napas dan pengembangan paru. Dengan auskultasi dapat didengarkan suara napas, suara tambahan, suara bisik dan suara percakapan.
Suara napas adalah suara yang dihasilkan aliran udara yang masuk dan keluar paru pada waktu bernapas. Pada proses pernapasan terjadi pusaran/ eddies dan benturan/ turbulensi pada bronkus dan percabangannya. Getaran dihantarkan melalui lumen dan dinding bronkus. Pusaran dan benturan lebih banyak pada waktu inspirasi/ menarik napas dibanding ekspirasi/ mengeluarkan napas, hal inilah yang menyebabkan perbedaan suara antara inspirasi dan ekspirasi. Suara napas ada 3 macam yaitu suara napas normal/ vesikuler, suara napas campuran/ bronkovesikuler dan suara napas bronkial. Suara napas vesikuler bernada rendah, terdengar lebih panjang pada fase inspirasi daripada ekspirasi dan kedua fase bersambung/ tidak ada silent gaps. Suara napas bronkial bernada tinggi dengan fase ekspirasi lebih lama daripada inspirasi dan terputus/ silent gaps. Sedangkan kombinasi suara nada tinggi dengan inspirasi dan ekspirasi yang jelas dan tidak ada silent gaps disebut bronkovesikuler/ vesikobronkial.
Suara napas vesikuler pada kedua paru normal dapat meningkat pada anak, orang kurus dan latihan jasmani,. Bila salah satu meningkat berarti ada kelainan pada salah satu paru. Suara vesikuler melemah kemungkinan adanya cairan, udara, jaringan padat pada rongga pleura dan keadaan patologi paru.
Suara napas bronkial tidak terdengar pada paru normal, baru terdengar bila paru menjadi padat, misalkan konsolidasi.
Suara napas asmatik yaitu inspirasi normal/ pendek diikuti ekspirasi lebih lama dengan nada lebih tinggi disertai wheeze.
Suara tambahan dari paru adalah suara yang tidak terdengar pada keadaan paru sehat. Suara ini timbul akibat dari adanya secret didalam saluran napas, penyempitan dari lumen saluran napas dan terbukanya acinus/ alveoli yang sebelumnya kolap. Karena banyaknya istilah suara tambahan, kita pakai saja istilah “ Ronki” yang dibagi menjadi 2 macam yaitu ronki basah dengan suara terputus- putus dan ronki kering dengan suara tidak terputus.
Ronki basah kasar seperti suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada saluran napas besar bila terisi banyak secret. Ronki basah sedang seperti suara gelembung kecil yang pecah, terdengar bila adanya secret pada saluaran napas kecil dan sedang, biasanya pada bronkiektasis dan bronkopneumonia. Ronki basah halus tidak mempunyai sifat gelembung lagi, terdengar seperti gesekan rambut, biasanya pada pneumonia dini.
Ronki kering lebih mudah didengar pada fase ekspirasi, karena saluran napasnya menyempit. Ronki kering bernada tinggi disebut sibilan, terdengar mencicit/squacking, ronki kering akibat ada sumbatan saluran napas kecil disebut wheeze. Ronki kering bernada rendah akibat sumbatan sebagaian saluran napas besar disebut sonourous, terdengar seperti orang mengerang/ grouning,.
Suara tambahan lain yaitu dari gesekan pleura/ pleural friction rub yang terdengar seperti gesekan kertas, seirama dengan pernapasan dan terdengar jelas pada fase inspirasi, terutama bila stetoskop ditekan.

a. AUSKULTASI PARU DEPAN

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan berhadapan dengan pemeriksa
2. tempelkan stetoskop pada dinding dada
3. Mintalah pasien menarik napas pelan-pelan dengan mulut terbuka
4. Dengarkan satu periode inspirasi dan ekspirasi
5. Mulailah dari depan diatas klavikula kiri dan teruskan kesisi dinding dada kanan
6. selanjutnya geser kebawah 2-3 cm dan seterusnya, sampai kedada bagian bawah
7. Mintalah pasien mengangkat lengan nya untuk pemeriksaan di daerah aksila kanan dan kiri
8. Bandingkan suara napas kanan dan kiri, serta dengarkan adanya suara napas tambahan

b. AULKULTASI PARU BELAKANG

1. Posisi pasien duduk dengan kedua tangan dipaha atau dipinggang dan membelakangi pemeriksa
2. tempelkan kepala stetoskop pada supraskapula dada belakang kiri, dan dengarkan dengan seksama, kemudian lanjutkan kebagian dada kanan .
9. selanjutnya geser kebawah 2-3 cm dan seterusnya, sampai kedada bagian bawah
3. Mintalah pasien mengangkat lengan nya untuk auskultasi pada aksila posterior kanan dan kiri
4. Bandingkan getaran suara kanan dan kiri, dengarkan adanya suara napas tambahan

2. AUSKULTASI DAERAH JANTUNG

1. Posisi pasien berbaring dengan sudut 30 derajat
2. Mintalah pasien relak dan bernapas biasa
3. tempelkn kepala stetoskop pada ictus cordis dengarkan suara dasar jantung
4. Bila auskultasi dengan corong stestokop untuk daerah apek dan ruang interkosta 4 dan 5 kiri kearah sternum. Dengan membran untuk ruang interkosta 2 kiri kearah sternum
5. Perhatikan irama dan frekuensi suara jantung
6. Bedakan irama systole, diastole dan intensitasnya
7. Perhatikan suara tambahan yang mungkin timbul
8. Gabungkan auskultasi dengan kualitas pulsus (denyut nadi)
9. Tentukan daerah penjalaran bising dan titik maksimumnya

BAB III . PEMERIKSAAN TANDA VITAL TUBUH

Topik :
1. Tanda Vital Tubuh
2. Pemeriksaan Tanda Vital: suhu, tekanan darah, frekwensi denyut nadi, frekwensi pernapasan, berat badan, tinggi badan dan elastisitas kulit

1. TANDA VITAL TUBUH

Tanda vital merupakan tanda yang sangat penting dalam perawatan pasien. karena mempunyai nilai akurasi yang sangat tinggi. Perubahan dari tanda vital tersebut berarti menandakan terjadi gangguan fungsi dari tubuh atau perubahan dari kondisi pasien, hal ini perlu mendapat perhatian dengan seksama dan perlu penanganan segera. Tiap individu mempunyai variasi tanda vital yang berbeda, seperti adanya perubahan cuaca, umur, keadaan emosional, olahraga, makan, dsb.

2. PEMERIKSAAN TANDA VITAL
Beberapa pemeriksaan Tanda vital yang sering digunakan dan relatif lebih mudah dikerjakan, seperti pemeriksaan

A. SUHU TUBUH

Suhu tubuh merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas dan hilangnya panas dari tubuh ke lingkungan. Produksi panas yang dihasilkan tubuh antara lain berasal dari :
a. Metabolisme dari makanan (Basal Metabolic Rate)
b. Olahraga
c. Shivering atau kontraksi otot skelet
d. Peningkatan produksi hormon tiroksin (meningkatkan metabolisme seluler)
e. Proses penyakit infeksi
f. Termogenesis kimiawi (rangsangan langsung dari norepinefrin dan efinefrin atau dari rangsangan langsung simpatetik)
Sedangkan hilangnya panas tubuh terjadi melalui beberapa proses yaitu :
1. Radiasi adalah pemindahan panas dari satu benda ke benda lain tanpa melalui kontak langsung, misalnya orang berdiri didepan lemari es yang terbuka
2. Konduksi adalah pemindahan panas dari satu benda ke benda lainnya melalui kontak langsung, misalnya kontak langsung dengan es
3. Konveksi adalah pemindahan panas yang timbul akibat adanya pergerakan udara, misalnya udara yang berdekatan dengan badan akan menjadi hangat
4. Evaporisasi adalah pemindahan panas yang terjadi melalui proses penguapan, misalnya pernapasan dan perspiration dari kulit. Misalnya keringat meningkatkan pengeluaran panas tubuh.
Suhu tubuh terjaga konstan meskipun adanya perubahan kondisi lingkungan. Hal ini disebabkan karena adanya proses pengaturan suhu melalui negatif feedback sistim (mekanisme umpan balik). Organ pengatur suhu yang utama adalah hipotalamus. Untuk regulasi panas tubuh diperlukan konsentrasi sodium dan kalsium yang cukup, terutama didalam dan disekitar Hipotalamus posterior. Variasi suhu orang yang sehat berkisar 0.7 derajat Celcius dari normal (1.4 F).

Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh yaitu antara lain :
1. Umur :
Bayi yang baru lahir sangat dipengaruhi keadaan lingkungan sekitarnya, maka dari itu harus dilindungi dari perubahan iklim yang dapat berubah dengan cepat. Anak- anak mempunyai suhu yang lebih labil dari pada orang dewasa.

UMURSUHU (Celcius)SUHU (Fahrenheit)
Bayi baru lahir36,1 – 37,797 – 100
2 tahun37,298,9
12 tahun3798,6
Dewasa3696,8

2. Aktifitas tubuh
Aktifitas otot dan proses pencernaan sangat mempengaruhi suhu tubuh. Pada pagi hari jam 04.00 – 06.00 suhu tubuh paling rendah, sedangkan sore hari sekitar jam 16.00 – 20.00 yang paling tinggi, perubahan suhu berkisar antara 1.1 – 1.6 C (2 – 3 F).

3. Jenis Kelamin
wanita lebih efisien dalam mengatur suhu internal tubuh dari pada pria, hal ini disebabkan karena hormon estrogen dapat meningkatkan jaringan lemak. Meningkatnya progesteron selama ovulasi akan meningkatkan suhu wanita sekitar 0.3 – 0.5 C (0.5 – 1 F), sedangan estrogen dan testoteron dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate

4.Perubahan emosi
Emosi yang meningkat akan menambah kadar Adrenalin dalam tubuh sehingga metabolisme meningkat dan suhu tubuh menjadi naik.

5. Perubahan Cuaca
Perubahan cuaca, Iklim, atau musim mempengaruhi Evaporasi, radiasi, konveksi, konduksi, sehingga mempengaruhi metabolisme dan suhu tubuh.

6. Makanan, minuman, rokok, dan lavemen
Makanan, minuman dan rokok dapat merubah suhu oral, misalkan Minum air es dapat menurunkan suhu oral sekitar 0.9 C (1.6 F). Untuk itu dianjurkan mengukur suhu oral sekitar 30 menit setelah makan, minum atau merokok, sedangkan temperatur rectal diukur setelah 15 menit melakukan lavemen/ enema.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar